Tettei: Detil dan Tuntas
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom Kang Hasan

Tettei: Detil dan Tuntas

Senin, 21 Nov 2016 10:30 WIB
Hasanudin Abdurakhman
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Tettei: Detil dan Tuntas
Foto: (Dokumentasi pribadi)
Jakarta - Orang-orang dari seluruh dunia yang berkunjung ke Jepang kagum dengan ketepatan waktu kereta di sana. Menurut sebuah laporan, tingkat keterlambatan shinkansen di jalur Tokaido (Tokyo-Osaka) adalah 6 detik, selama tahun 2013. Untuk kereta reguler, setiap jalur tingkat keterlambatan rata-ratanya adalah 0,9 menit per tahun.

Dengan ketelitian yang tinggi itu mereka bisa menjaga jadwal perjalanan yang padat. Interval kedatangan kereta di sebuah stasiun pada Yamanote Line, sebuah jalur kereta yang melingkar di tengah kota Tokyo, pada jam-jam sibuk (rush hours) hanya 2,5 menit. Bisakah kita bayangkan bila semua yang terlibat dalam pengelolaan menganggap terlambat 3 menit bukan masalah? Kacau. Sistem kereta api tidak akan berjalan.

Kunci semua itu adalah disiplin yang tinggi. Semangat disiplin tinggi ini dalam bahasa Jepang disebut tettei. Tettei bermakna melakukan sesuatu secara menyeluruh, tidak setengah-setengah, dan dikerjakan dengan teliti hingga ke bagian yang paling detil. Tidak ada bagian pekerjaan yang boleh diabaikan. Mereka dengan tekun memulai sesuatu dari dasar, dan terus menjaga kebiasaan itu, meski mereka sudah sangat mahir. Kawan yang bekerja di bidang teknik bercerita, bahwa engineer Jepang selalu mengukur saat akan memotong sesuatu, tidak sekedar mengira-ngira. Ia memastikan panjang objek yang hendak dipotong, persis seperti rencana.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Waktu kuliah di Jepang dulu sesekali saya ikut bermain bulu tangkis bersama teman-teman, orang Indonesia. Kami menyewa lapangan di dalam gedung olah raga. Di situ juga ada orang Jepang yang melakukan kegiatan yang sama. Ada perbedaan menarik yang saya temukan dalam aktivitas itu. Kita orang Indonesia umumnya langsung main ketika tiba di lapangan. Apa yang dilakukan orang Jepang? Mereka pemanasan dulu, dimulai dari pelenturan. Lalu mereka melakukan senam ringan. Setelah itu, mereka melatih gerakan dasar, service, rally, dan smash. Setelah itu barulah mereka bermain. Seperti itulah, mereka selalu mulai dari dasar, dan terus menjaganya.

Tettei ini adalah kosa kata yang hidup dalam keseharian di Jepang, khususnya di tempat kerja. Tetteiteki ni yaru, laksanakan dengan tuntas. Tetteiteki ni jikkou suru, eksekusi dengan tuntas. Kalau ada masalah, tetteiteki ni chousa suru, selidiki sampai tuntas. Solusi terhadap permasalahan juga dilaksanakan dengan tuntas. Kata ini paralel dengan kata lain yaitu seikaku, yang artinya teliti (presisi). Rencana, jadwal, rancangan, dibuat secara detil dan teliti, kemudian dilaksanakan dengan tuntas. Itulah yang membentuk Jepang yang kita lihat.

Tidak hanya sampai di situ. Semangat ini diterapkan merata oleh setiap orang, menjadi gerak bersama dalam harmoni. Harmoni adalah ciri lain masyarakat Jepang. Orang enggan berperilaku lain, dalam arti berperilaku negatif, karena ia akan terlihat nyata di tengah harmoni, lalu menjadi sorotan. Prinsip tettei tadi diterapkan oleh setiap orang dalam suatu harmoni.

Bayangkan kembali sistem kereta api yang maha sibuk tadi. Berapa persen komitmen dari setiap orang, dan berapa persen dari seluruh tim harus ikut berkomitmen untuk bisa menjalankan sistem itu? Seratus persen! Bayangkan bila dalam sistem Yamanote Line tadi ada 3-4 orang masinis bandel, yang dengan enteng telat 1-2 menit dalam bekerja. Apa yang akan terjadi? Kemacetan, atau bahkan tabrakan kereta.

Pola yang sama juga terjadi pada sistem pembuangan sampah. Orang Jepang begitu disiplin membagi sampah-sampah mereka menjadi beberapa kategori, seperti sampah yang bisa dibakar, yang bisa didaur ulang, yang berbahaya (B3), serta barang-barang berukuran besar. Jadwal pembuangan juga dibagi, hanya boleh membuang sampah jenis tertentu, pada hari tertentu. Sistem ini juga menuntut komitmen menyeluruh. Bila misalnya ada 10% saja orang yang tak patuh, sistem pemilahan tidak akan berfungsi.

Sistem manajemen berbasis prinsip tettei ini diterapkan di berbagai perusahaan Jepang di Indonesia. Cukup berhasil di beberapa tempat, tapi memang tidak utuh. Banyak orang Jepang yang frustrasi melihat hasilnya ternyata tidak 100% seperti di Jepang. Dugaan saya, kegagalan itu karena mereka tidak melakukan transfer budaya dalam penerapannya.

*) Hasanudin Abdurakhman adalah cendekiawan, penulis dan kini menjadi seorang profesional di perusahaan Jepang di Indonesia. (nwk/nwk)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads