Michael Barnett dari Universitas George Washington mengemukakan, kemenangan Trump 'menambah tingkat ketidakpastian yang tinggi' di seluruh dunia. Kemenangan Donald Trump dalam quick count pilpres Amerika Serikat (AS) 2016 membuat dunia terkejut. Pasalnya, Trump selalu melontarkan pernyataan kontroversial dan menyingkirkan kaum minoritas di AS. Tidak hanya itu, Trump dinilai tidak paham dengan politik luar negeri.
Daniel Cooper, seorang asisten profesor ilmu politik AS, di @America, Pacific Place, Jakarta mengatakan, Trump tidak terlalu peduli dengan urusan politik luar negeri dan seiring berjalannya waktu, ini akan memengaruhi posisi AS di dunia internasional. Cooper berpendapat bahwa semua bisa berbalik terkait akan ke mana arah fokus Trump, lebih ke politik dalam negeri atau politik luar negeri.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tahun 1987, Trump mengkritik kebijakan pertahanan Amerika dan mendesak agar negara itu berhenti mengeluarkan anggaran untuk membela negara lain yang mampu membela diri sendiri. Ini sama dengan apa yang diucapkannya sekarang.
Berbeda dengan Cooper, Thomas Wright dari Brookings Institution di Washington meneliti puluhan wawancara, pidato, pernyataan serta iklan surat kabar untuk memahami pandangan Trump. Dia menemukan bahwa Trump amat tertarik pada masalah dunia tahun 1980-an dan sejak itu pandangannya tidak berubah. Wright melihat ada tiga pandangan pokok Trump yang masih sama selama tiga dasawarsa terakhir dan tidak mungkin akan berubah jika ia mulai menduduki Gedung Putih Januari 2017.
Pertama, Trump sangat kritis terhadap aliansi internasional Amerika dan ingin melepaskannya. Kedua, Trump menentang perjanjian dagang dengan negara lain dan ingin menggunakan tarif serta sanksi untuk mereformasi tata ekonomi internasional. Ketiga, Trump mempunyai kelemahan menghadapi rezim otoriter terutama Rusia.
Apa Politik Luar Negeri Trump?
Masalah luar negeri banyak juga yang harus dipikirkan Trump, antara lain persoalan di Laut China Selatan, Timur Tengah, dan lainnya, termasuk penanganan Suriah, Irak, persaingan dengan China dan Rusia. Presiden AS terpilih dari Partai Republik, Donald Trump mengemukakan kebijakan luar negeri "America First" atau Amerika Serikat yang didahulukan, sambil tidak lupa menyebut kebijakan luar negeri pemerintahan Presiden Barack Obama sebagai "bencana menyeluruh dan total". Trump tidak akan menyebut kebijakan luar negerinya sebagai "Doktrin Trump", dia bersumpah untuk menggetarkan "kebijakan luar negeri sudah karatan Amerika Serikat".
Mengenai ISIS, Trump menyatakan menangkal penyebaran Islam radikal adalah prioritas kebijakan luar negerinya. Untuk melemahkan ISIS, akses minyak kelompok militan ini harus dipotong. Trump juga mendukung teknik penyiksaan tersangka teror dengan metode waterboarding dan metode-metode keras lainnya.
"Menangkal penyebaran Islam radikal semestinya adalah tujuan kebijakan luar negeri Amerika Serikat dan dunia," kata Trump seraya berjanji untuk bekerja sama dengan sekutu-sekutu AS di Timur Tengah untuk memerangi ekstremisme.
Trump mengatakan pembahasan baru akan diadakan bersama dengan sekutu-sekutu AS di NATO demi mempertajam lagi struktur organisasi pakta pertahanan ini serta membahas penyetimbangan kembali pendanaan AS dalam pakta ini. Trump juga akan berdiskusi dengan Rusia pada landasan sepaham untuk memerangi ekstremisme kaum Islamis.
Mengenai Tiongkok, Trump berkata, "hormati kekuatan, dan dengan membiarkan mereka mengambil keuntungan ekonomi dari kita seperti yang mereka sedang lakukan, maka kita akan kehilangan hormat dari mereka". Trump menyatakan, negara-negara sekutu AS dan yang kita lindungi mesti membayar ongkos perlindungan ini. "Jika tidak, AS harus bersiap untuk membiarkan negara-negara ini melindungi diri mereka sendiri. Kita tidak punya lagi pilihan," ujar suami Melania ini.
Mengenai hubungan Jepang-AS, Trump berkata, "Jika kita diserang, mereka tidak perlu datang untuk membantu pertahanan kita, jika mereka diserang, kita harus datang untuk sepenuhnya membantu pertahanan mereka. Dan itulah masalah dasarnya."
Tiga Skenario
Pertama, skenario ekstrem atau "unstopped global uncertainty". Skenario ini terjadi jika Presiden AS, Donald Trump yang selama kampanyenya menggelorakan "Make America Great Again and America First" bersikap radikal dan ultranasionalis dalam mengatasi beberapa masalah krusial antara lain ISIS, Korea Utara, Tiongkok, Rusia, Palestina, Iran dan climate change.
Contohnya, proteksi perdagangan yang digaungkan Trump dalam kampanye lalu, agaknya menjadi momok bagi aktivitas perdagangan global. Indonesiapun berpotensi terdampak kebijakan Trump, meski tdak langsung, tapi kalau Trump lebih protektif adalah ekspor Tiongkok.
Skenario pertama erat kaitannya dengan pernyataan Trump saat kampanye Pilpres. Trump menyatakan menangkal penyebaran Islam radikal adalah prioritas kebijakan luar negerinya dan mendukung teknik penyiksaan tersangka teror dengan metode waterboarding dan metode-metode keras lainnya. Jika ini dilaksanakan Trump, maka serangan teror yang dilakukan "lone-wolf" ataupun anggota ISIS lainnya ke AS ataupun kepentingan AS di negara-negara sekutunya akan semakin intens terjadi.
Kedua, skenario moderat atau balance of power, di mana AS tidak menjadi hegemoni utama dunia, karena ada kekuatan yang mengimbanginya seperti Rusia dan Tiongkok. Terhadap kedua negara kuat ini, strategi luar negeri Trump tampaknya akan menggunakan strategi Fabian atau mengulur-ulur waktu. Indikasinya, Trump akan berdiskusi dengan Putin ataupun Xi Jinping terkait apapun landscape politik global yang akan terjadi.
Jika skenario kedua yang terjadi, maka situasi keamanan global dan regional akan diwarnai bagaimana "tabiat dan selera politik" dari para pemimpin ketiga negara utama tersebut, ditambah dengan sikap Uni Eropa, Jepang serta India. Dalam skenario yang kedua, prinsip Donald Trump tidak dapat diterapkan secara rigid, karena tergantung kualitas komunikasi dan penggalangan yang dilakukannya.
Politik luar negeri AS dibawah seorang pemimpin Republik akan cenderung lebih terfokus pada penguatan kendali AS secara global. Hal ini dapat menimbulkan beberapa perubahan yang cukup signifikan dalam pendekatan AS untuk menjalin dan menangani permasalahan dengan komunitas internasional. Terpilihnya Trump dapat membuat pendekatan AS terhadap negara lain menjadi lebih tegas dan keras dibandingan dengan pemerintahan sebelumnya, khususnya dalam hal menangani situasi konflik.
Kebijakan luar AS di tangan Trump akan terkesan lebih inward looking. Trump akan menerapkan kebijakan luar negeri yang tidak terlalu ekspansif saat dipimpin oleh Barrack Obama.
Ketiga, skenario "status-quo", dimana kemenangan Trump tidak banyak mempengaruhi kehidupan global, sehingga harus disikapi dengan wajar. Dalam skenario ini, Trump akan lebih banyak mengurus masalah perekonomian AS yang tidak kunjung membaik, sebab perbaikan ekonomi dalam negeri yang dijanjikan Trump kepada rakyat AS.
Jika skenario ini dijalankan, permintaan Amerika Serikat terhadap barang-barang China berkurang, maka permintaan China terhadap bahan mentah dan barang setengah jadi Indonesia juga akan turun. Sebagai konsekuensinya lain, barang-barang dari China akan ditujukan ke pasar lain, termasuk Indonesia. Sebagaimana diketahui, dengan skala ekonominya yang raksasa, Amerika Serikat merupakan negara importir kedua terbesar di dunia.
Sebagian besar impor Amerika Serikat berupa barang modal (29 persen) dan barang konsumsi (26 persen). Selebihnya meliputi bahan baku industri (24 persen), kendaraan bermotor dan bagian-bagiannya serta mesin (15 persen), dan makanan-minuman serta pakan (5 persen). Adapun impor Amerika Serikat terbesar berasal dari China (19 persen), disusul dari Kanada (14,5 persen), Meksiko (12 persen), Jepang (6 persen), dan Jerman (5 persen).
Pada kuartal III 2016, impor Amerika Serikat dari China turun 2,8 persen. Penurunan impor dari China mengerek turunnya impor Amerika Serikat secara total pada kuartal III 2016.
Biro Sensus Amerika Serikat melaporkan, impor Amerika Serikat turun 1,3 persen (mtm) ke level 225,6 miliar dollar AS per September 2016. Impor barang modal turun 1,7 miliar dollar AS, sedangkan impor barang konsumsi turun 800 juta dollar AS.
Ketiga skenario di atas, diperkirakan akan terus terjadi selama masa kepresidenan Donald Trump, namun kita tetap berharap skenario kedua yang lebih dominan terjadi, sehingga kehidupan dunia tidak akan terlalu panas dan bergejolak.
*) Toni Ervianto, adalah alumnus pasca sarjana Kajian Strategik Intelijen (KSI), Universitas Indonesia. (nwk/nwk)











































