Apa perlunya anak-anak itu diajari cara naik bus? Kota-kota besar di Jepang hidup dengan berbagai moda transportasi umum sebagai urat nadinya. Setiap orang terbiasa naik kendaraan umum, termasuk orang-orang kaya atau orang dengan jabatan tinggi sekalipun. Kemauan untuk naik kendaraan umum itu dibina sejak dini, dengan cara seperti ini. Lebih dari itu, sistem transportasi itu bekerja dengan sistem. Salah satu bagiannya adalah tata cara naik bus tadi. Sistem akan berjalan kalau tata cara itu dipatuhi. Anak-anak itu sejak dini sudah diajari soal tata cara, dibiasakan untuk mengikutinya. Mereka sejak dini terbiasa untuk tahu, dan patuh. Dalam istilah pengembangan pribadi hal ini disebut practical inteligence.
Hal kecil yang saya saksikan itu adalah sebuah bentuk pendidikan karakter. Lho, kok seperti itu? Banyak orang yang terbiasa berpikir rumit soal pendidikan karakter. Orang akan mulai membuat daftar panjang soal nilai apa yang harus dibangun, kemudian ada daftar yang lebih panjang lagi soal metode pengajaran untuk membangunnya. Walhasil, pendidikan karakter di sekolah-sekolah kita menjadi wacana teori muluk yang abadi, tanpa pelaksanaan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam pelajaran PKn (Pendidikan Kewarganegaraan-red) anak-anak kita diajari soal fungsi-fungsi lembaga pemerintah, seperti kecamatan atau kelurahan. Mereka disuruh menghafal materinya. Ada berapakah guru yang mengajak murid-muridnya berkunjung ke kantor kecamatan dan kelurahan, lalu menjelaskan fungsi-fungsi dalam lembaga itu di sana? Sangat sedikit. Padahal ini soal yang mudah, tidak memerlukan biaya besar, dan tidak pula perlu menunggu perombakan kurikulum atau pergantian menteri.
Pendidikan karakter bahkan bisa dilakukan dengan cara yang lebih sederhana di lingkungan sekolah. Apakah murid-murid sudah dibiasakan untuk membuang sampah dengan benar, mematikan peralatan listrik yang tidak diperlukan, mengembalikan peralatan yang selesai dipakai?
Anak saya dulu sempat "sekolah" di Jepang dalam usia dini. Setiap pagi saya mengantarnya ke TK tempat ia belajar. Setiap anak membawa sendiri tasnya. Di gerbang sekolah guru-guru menyambut dengan sapaan yang hangat dan ramah. Anak-anak masuk ke halaman, kemudian ke gedung sekolah. Mereka diarahkan untuk membuka sepatu, menggantinya dengan sepatu khusus untuk dalam ruang kelas. Kemudian mereka meletakkan tas pada tempat yang sudah disediakan.
Di ruang kelas kursi-kursi diletakkan di pinggir ruangan, sehingga ruang kelas terbuka lapang, agar mudah dibersihkan. Anak-anak menjaga kebersihan kelas bersama. Di usia SD di mana disediakan makanan di sekolah, anak-anak diberi tugas membagi makanan. Setiap orang bertanggung jawab atas peralatan makan mereka sendiri. Mereka dibiasakan antre mengambil makanan, membersihkan peralatan makan, kemudian mengembalikannya ke tempat yang ditentukan.
Apa yang diajarkan dalam proses-proses di atas? Tertib dan mandiri. Sedihnya, ada banyak sekolah kita yang bergerak ke arah sebaliknya. Sekolah menyediakan tukang sapu atau cleaning service. Ini pun tanpa disadari adalah sebuah pendidikan karakter, dalam makna sebaliknya. Anak-anak diajar bahwa ada orang yang bertugas membersihkan kotoran yang mereka hasilkan.
Anak-anak kita sebagian juga tidak naik kendaraan umum. Mereka diantar ke sekolah dengan mobil. Di halaman sekolah, orang tua atau sopir yang mengantar saling serobot untuk mendapatkan jalan.
Pendidikan karakter di sekolah-sekolah kita adalah wacana muluk yang terus menerus dibicarakan, minim pelaksanaan. Itu terjadi karena pendidikan karakter dianggap hal yang rumit. Padahal ia sebenarnya sederhana saja.
*) Hasanudin Abdurakhman adalah cendekiawan, penulis dan kini menjadi seorang profesional di perusahaan Jepang di Indonesia.
Halaman 2 dari 2
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini