Pungli terjadi tidak saja dilakukan oleh oknum di Kementerian/Lembaga atau Pemerintah Daerah bahkan juga di organisasi kemasyarakatan dan preman-preman kelas teri yang hanya bermodalkan tampang garang dan bertato di sekujur tubuhnya. Pungli sudah masuk ke semua lini kehidupan bangsa ini, termasuk oknum aparat hukum. Pungli dilakukan terang-terangan di muka publik, tanpa ada yang sanggup memberantasnya karena secara langsung atau tidak semua pihak terlibat dan menikmati.
Pada awalnya pungli memang tumbuh subur di Kementerian/Lembaga atau Pemerintah Daerah sebagai institusi pemberi izin. Sejak saat itu izin menjadi salah satu komoditi terlaris di Republik ini. Semua kasus korupsi bermula dari sebuah izin. Regulator bekerja sama dengan Legislator berusaha menerbitkan izin dengan proses yang berbelit belit. Tujuannya hanya satu, supaya banyak mengeluarkan izin dan ada banyak lubang untuk pungli. Izin merupakan salah satu cikal bakal korupsi di Indonesia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Persoalan Pungli dan Langkah Pemberantasannya
Seperti kita pahami bersama bahwa sejak komoditi yang bernama izin ini dikeluarkan oleh Kementerian/Lembaga, sebagai regulator, maka saat itulah pungli dimulai. Tanpa pungli, izin sulit diberikan oleh regulator dengan dalih: "Aturannya memang begitu". Ini dilema bagi publik karena kalau tidak mau melakukan pungli, dapat dipastikan izin yang kita perlukan akan lama atau bahkan tidak terbit. Ini tentu sangat menyulitkan publik untuk berkegiatan, seperti berusaha, sekolah, berobat, menikah, cerai, bertransaksi dengan perbankan/lembaga keuangan, dan sebagainya.
Di budaya Indonesia, ada pameo mengatakan: "jangan pernah menolak pemberian karena itu rezeki, terima saja karena itu halal". Namun pada akhirnya pemberian ucapan terima kasih atau tip bagi pelaksana pemberi izin atau aparat keamanan menjadi suatu keharusan yang harus mereka terima dari publik atau pemohon izin. Padahal sering uang terima kasih tersebut merupakan sogokan atau pungli yang dilarang bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) karena masuk dalam katagori gratifikasi, sesuai dengan UU No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Mau ambil Surat Izin Mengemudi (SIM) di Kepolisian harus ujian dan supaya dijamin lulus tanpa ujian tertulis dan praktik, kita harus gunakan calo (bisa aparat atau organisasi atau perseorangan). Dengan menggunakan calo, kita akan didahulukan untuk foto, cek kesehatan, meskipun kita datang belakangan. Dalam hitungan menit, SIM kita selesai. Demikian pula jika mau cepat mendapatkan izin berlayar atau izin terbang, izin praktik dokter, mendapatkan ruang tahanan yang nyaman, izin usaha, izin mendapatkan kamar perawatan dsb.
Contoh-contoh di atas merupakan beberapa contoh klasik dan terjadi di publik. Pungli dalam jumlah super besar dapat terjadi ketika pengusaha mau mendapatkan izin penggunaan atau pengalihan lahan, izin reklamasi, izin hak angkut BBM dalam jumlah besar, izin ekspor/impor komoditi (misalnya beras, gula, terigu, daging sapi di saat-saat menjelang Pilkada atau Pemilu).
Pungli juga berperan besar atas hancurnya sistem transportasi di Indonesia. Sebagai contoh pungli di jalan raya, yang dilakukan oleh oknum aparat, ormas dan preman jalanan, besarnya mencapai lebih dari Rp 100 triliun per tahun. Bayangkan jika dana itu untuk membangun prasarana dan sarana transportasi darat di seluruh Indonesia, pasti semua jalan dan angkutan umumnya sudah baik dan terintegrasi seperti di negara-negara maju.
Kondisi negara ini memang sudah carut marut akibat suburnya pungli. Pungli tidak lagi mengenal suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA). Pungli sudah menjadi keharusan di sistem ketatanegaraan di RI. Tanpa Pungli jangan harap urusan pelayanan publik, perizinan maupun hukuman denda bisa tertib dilaksanakan. Kerugian negara akibat pungli terus bertambah. Meskipun kurang pas, langkah yang dilakukan oleh Kementerian Perhubungan, harus saya apresiasi sebagai langkah kejut yang baik.
Pembentukan Satgas, menurut saya hanya akan menambah pengeluaran negara karena harus membayar upah petugas Satgas dan semua biaya terkait dengan pengawasan, pencegahan dan penindakan di lapangan. Selagi masih ada kontak antar manusia di proses perizinan, maka Pungli akan terus berlangsung.
Pembentukan melalui laman LAPOR di saberpungli.id atau melalui pesan singkat (sms) ke nomor 1193 atau menghubungi langsung ke Satgas Saber Pungli di nomor 193 belum tentu efektif. Layanan seperti dalam pelaksanaannya akan banyak mengalami kendala mengingat masalahnya lintas Kementerian/Lembaga yang masing-masing terikat pada aturan perundang-undangan yang berlaku di masing-masing institusi. Ingat laman LAPOR UKP4 atau Ombudsman? Proses penanganannya lama dan tidak ada pemberitahuan perkembangan kasusnya. Akhirnya laman itu ditinggalkan publik.
Langkah Pemerintah
Menurut saya satu-satunya cara mengurangi secara signifikan pungli di Indonesia saat ini adalah, melalui pelayanan online untuk semua proses perizinan. Melalui online akan mengurangi/menghindari kontak mata dan badan dengan petugas instansi pemberi izin. Semua dokumen diisi secara online begitu pula dengan pembayarannya. Verifikasi dokumen juga dilakukan secara online.
Lalu supaya sistem tidak mudah dibajak atau dirusak oleh hackers atau dibuka oleh pertugas yang tidak berwenang, maka sistem harus dikelola oleh ahlinya dan gunakan password yang secara rutin terus berubah dan hanya diketahui oleh makimal 3 orang penanggungjawab yang bekerja 24 jam secara bergantian mengawasi kerja sistem.
Langkah Pemerintah untuk memberantas pungli patut diacungi jempol. Namun dampak pelaporan oleh pejabat setingkat Menteri atas ulah anak buahnya juga harus dicermati dan dikaji ulang dampaknya, supaya pelayanan Kementerian kepada publik dan dunia usaha tidak tersendat karena turunnya etos atau semangat kerja atau bahkan mogok kerja di jajaran Kementerian. Semoga pungli segera hilang dari bumi Indonesia.
*) AGUS PAMBAGIO adalah adalah Pemerhati Kebijakan Publik dan Perlindungan Konsumen.
Halaman 2 dari 3











































