Jonan-Arcandra, Kabinet Penutup Malu?
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Jonan-Arcandra, Kabinet Penutup Malu?

Jumat, 14 Okt 2016 18:02 WIB
Feri Amsari
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Jonan-Arcandra, Kabinet Penutup Malu?
Foto: istimewa
Jakarta - Akhirnya, Presiden Joko Widodo memilih Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang baru. Ignasius Jonan menempati posisi kosong tersebut. Sedangkan posisi Menteri ESDM yang lama, Arcandra Tahar, direposisi menjadi Wakil Menteri mendampingi Ignasius Jonan.

Dua figur "komando" baru Kementerian ESDM itu berasal dari figur yang cukup kontroversial, meskipun berprestasi. Jonan dianggap sebagai Menteri yang kerap gaduh dan pernah diberhentikan sebagai Menteri Perhubungan karena sikap itu. Sedangkan Arcandra pernah diberhentikan karena status dwi-kewarganegaraannya. Pilihan Presiden untuk mengangkat dua figur kontroversial yang berprestasi itu perlu ditelusuri lebih jauh.

Lepas dari perdebatan apakah dua figur tersebut akan mampu bekerjasama membenahi Kementerian ESDM, pilihan Presiden harus dilihat sebagai pilihan politik untuk memberikan tempat kepada figur-figur yang dianggapnya berkompeten dalam pengelolaan energi dan sumber daya mineral. Jonan dikenal sebagai Menteri "bertangan-dingin" yang mampu melakukan perubahan signifikan terhadap lembaga yang dipimpinnya. Jejak tangan dingin Jonan itu dapat dilihat dari pengelolaan Perseroan Terbatas Kereta Api Indonesia (PT. KAI) dan Kementerian Perhubungan yang dianggap positif. Sedangkan pilihan terhadap Arcandra dianggap sebagai penempatan figur profesional dalam bidang pengeboran sumur minyak lepas pantai (offshore rig). Pilihan terhadap Arcandra tentu memiliki risiko tersendiri karena status kewarganegaraannya yang masih menimbulkan tanda-tanya.

Sebagai figur yang pernah menikmati status warga negara Amerika, Arcandra diberikan keistimewaan untuk kembali memegang status warga negara Indonesia melalui jalur khusus. Setidaknya mengenai jalur khusus itu dapat dilihat dari Peraturan Pemerintah Pasal 13 ayat (2) Nomor 2 Tahun 2007 tentang Tata Cara Memperoleh, Kehilangan, Pembatalan, dan Memperoleh Kembali Kewarganegaraan Republik Indonesia. Presiden diduga memberikan kembali status kewarganegaraan Indonesia melalui jalur khusus dengan melihat peran Arcandra dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Namun perihal jalur khusus ini memang tidak terlalu jelas dan terbuka dikemukakan oleh Istana kepada publik apakah status kewarganegaraan Arcandra memang melalui jalur khusus tersebut.

Meskipun perihal status kewarganegaraan Arcandra diperdebatkan, Presiden telah memilih langkah politis yang menjadi hak prerogatifnya dengan mengalihkan isu keabsahan status kewarganegaraan melalui penempatan posisi "kelas dua" di Kementerian ESDM kepada Arcandra. Kondisi itu juga memperjelas bahwa Presiden "bersikukuh" memilih Arcandra apapun risikonya.

Pilihan yang cukup berani itu perlu dicermati sebab dapat diartikan oleh banyak kalangan sebagai sikap:
(1) Presiden mempercayai Arcandra sebagai figur satu-satunya yang mampu menjalankan Nawacita Presiden di Kementerian ESDM; atau
(2) Presiden dianggap memilih Arcandra sebagai figur yang mampu menyingkirkan musuh-musuh politiknya di Kementerian ESDM dan memainkan "peran bisnisnya" sendiri terkait energi dan sumber daya mineral.

Tentu saja apapun langkah Presiden akan selalu diikuti dua pandangan pro dan kotra. Untuk mengkonfirmasi kebenaran dugaan-dugaan itu, perlu kiranya publik mengamati kebijakan-kebijakan pasangan Jonan-Arcandra setelah ini.

Saya sendiri tentu saja berharap bahwa duet Jonan-Arcandra akan menghasilkan kekuatan baru dalam upaya memberantas mafia bisnis energi dan sumber daya alam di Indonesia. Waktu yang tersisa bagi duet ini untuk memberikan perubahan berarti bagi Kementerian ESDM pun tidak banyak. Dalam waktu 3 tahun tersisa, Jonan-Arcandra tidak hanya harus mampu membuat Kementerian ESDM berhasil melawan mafia bisnis energi dan sumber daya mineral tetapi juga harus membuat negara mengalami keuntungan ekonomi dari kementerian yang mereka pimpin. Jonan-Arcandra jangan memperumit pilihan Presiden terhadap diri mereka dengan miskin prestasi atau bahkan menjadikan Kementerian ESDM sebagai lahan bermainnya mafia bisnis energi dan sumber daya mineral yang baru.

Jika keburukan pengelolaan Kementerian ESDM terjadi di tangan Jonan-Arcandra, bukan tidak mungkin cibiran terhadap kabinet Presiden Joko Widodo akan kian menjadi. Apalagi ada dugaan bahwa pemilihan Arcandra lebih karena sisi emosi Presiden yang sudah terlanjur malu melantik seorang Menteri berkewarganegaraan asing.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Untunglah syarat menjadi Wakil Menteri menurut undang-undang tidak mencantumkan kriteria setia kepada negara kesatuan Republik Indonesia, Pancasila, dan UUD 1945 sebagaimana syarat menjadi Menteri. Apalagi berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 79/PUU-IX/2011 yang menghapuskan syarat Wakil Menteri harus dari jalur karir yang berkaitan dengan kementerian terkait.

Posisi ketentuan tersebut memang menguntungkan Presiden dalam melantik Arcandra. Namun jauh lebih penting dari itu, duet Jonan-Arcandra harus membuktikan kerjanya. Jika tidak, pertanyaan tentang kesetiaan Arcandra kepada republik ini akan menyeruak kembali. Tuduhan bahwa pengisian posisi Menteri dan Wakil Menteri ESDM hanyalah reshuffle penutup malu kealpaan Presiden sulit dielakan. Selamat bekerja Jonan-Arcandra!

*) Feri Amsari
Dosen Hukum Tata Negara dan Peneliti Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO)
Fakultas Hukum Universitas Andalas (nwk/nwk)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads