Menegakkan Demokrasi di Kampus Biru
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Menegakkan Demokrasi di Kampus Biru

Rabu, 14 Sep 2016 10:02 WIB
Denny Indrayana
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Menegakkan Demokrasi di Kampus Biru
Foto: Denny Indrayana/Dokumentasi Pribadi
Melbourne - Demokrasi adalah dialektika. Ia mensyaratkan dialog. Komunikasi timbal balik. Saling menghormati-saling menghargai. Di antara siapa? Di antara para pemangku kepentingan. Permasalahannya, kepentingan para pelaku dialog seringkali tidak sama. Niat para pendialog seringkali berbeda. Latar belakang tidak seragam. Pemahaman tidak serupa. Maka, dialog seringkali ramai. Tidak jarang hiruk pikuk. Namun, bagaimanapun, dialog harus ada kata putus. Demokrasi tidak hanya melulu soal berdiskusi, dia juga harus menjadi aksi. Maka, dalam demokrasi memang selalu harus ada forum dan otoritas yang diberi mandat membuat keputusan, pembuat kata akhir.

Masalahnya, keputusan harus diambil tanpa bertentangan dengan proses yang demokratis itu sendiri. Seorang yang diberi mandat memutuskan, tidak bisa, dan tidak boleh, memutuskan sekehendak hatinya semata. Pemimpin yang memutuskan dengan menegasikan proses, adalah pemimpin tanpa hati, jauh dari semangat demokrasi. Seharusnya, pemimpin mendengarkan aspirasi, lalu melakukan refleksi, dan memutuskan hanya dengan niat demi berbakti bagi negeri.

Proses demokrasi, mulai dari timbulnya masalah, interaksi, deliberasi, lobby hingga akhirnya eksekusi keputusan selalu berulang. Hampir tiap saat kita lakukan. Apalagi di era Indonesia pasca reformasi. Yaitu era di mana kebebasan berpendapat dan kebebasan berekspresi dihormati lebih luas, dijamin lebih leluasa. Namun, kita seringkali terjebak pada intrik demokrasi, saling menjatuhkan. Kita seringkali terperangkap pada dialog tanpa esensi. Dialog tanpa bertemu. Dialog tanpa silaturahmi. Komunikasi tanpa ketulusan. Komunikasi tanpa kejujuran. Semua didedikasikan untuk menduduki kekuasaan semata. Cara baik dinafikan. Etika ditiadakan. Batasan halal dan haram dianggap pajangan. Itulah demokrasi palsu. Demokrasi seakan-akan. Demokrasi yang seolah-olah ada itulah yang muncul (lagi) sebagai tantangan nyata pada pemilihan dekan di Universitas Gadjah Mada termutakhir.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Meskipun sedang berjarak secara fisik, karena sedang menjadi Visiting Professor di Melbourne Law School dan Faculty of Arts, University of Melbourne, psikis saya tidak pernah jauh dari Kampus Biru. Hati saya tetap bertaut dan terus menyimak erat apa yang terjadi di UGM. Inilah kampus yang menyumbang Presiden Jokowi, sebagai alumni kehutanan. Kampus yang mendidik Gubernur Gandjar Pranowo dari Fakultas Hukum. Kampus yang melahirkan Mensesneg Pratikno, sebelumnya Rektor UGM. Kampus yang menghadirkan Mendikbud Anies Baswedan, meskipun kemudian dikocok ulang. Dari Bulaksumur, bukan hanya telah lahir tokoh-tokoh nasional, tetapi sewajibnya juga hadir tauladan berdemokrasi yang seharusnya.

Sayangnya, kenyataan tidak selalu sama dengan harapan. Di Fakultas Hukum UGM contohnya. Dialektika direkayasa. Fakultas yang harusnya menjadi teladan membuat aturan, justru merekayasa hukum demi kekuasaan. Regulasi disiapkan untuk memenangkan salah satu calon. Fakta bahwa dukungan tidak ada dikesampingkan, yang penting bekingan dikuatkan.

Ada dua calon dekan di Fakultas Hukum UGM: Profesor Sigit Riyanto (SR) dan Doktor Linda Yanti Sulistiawati (LYS). Dalam proses pemilihan, SR didukung oleh delapan departemen, LYS hanya satu departemen, dari total 11 Departemen. Satu departemen yang memilih keduanya adalah Departemen Hukum Internasional, itupun LYS hanya dipilih sebagai nomor dua, di bawah SR. Itu artinya dukungan departemen kepada SR adalah 70 persen, fakta sokongan mayoritas mutlak yang tak bisa terbantahkan.

Proses selanjutnya, di Rapat Senat Fakultas Hukum UGM, yang dihadiri 38 orang anggota senat, SR didukung 25 orang dan memperoleh penilaian lebih tinggi dibandingkan LYS. Meskipun, kelompok pendukung LYS berusaha mengotak-atik cara penilaian, dan mencoba berbagai argumen jungkir balik untuk menolak adanya sistem pemeringkatan. Sekali lagi, forum Senat Fakultas menegaskan, SR dinilai lebih layak sebagai dekan ketimbang calon yang lain. Namun, pada level Tim Seleksi Universitas, hasil dari fakultas itu dinafikan begitu saja. Melalui presentasi dan tanya jawab singkat, timsel memutuskan LYS lebih layak menjadi dekan. Inilah pencideraan demokrasi.

Model pemilihan yang demokratis, seharusnya berbasis pada dua hal sekaligus: meritokrasi (kapasitas-integritas) dan dukungan keterpilihan (akseptabilitas). Dukungan kepada SR oleh 70 persen departemen, nilai tertinggi di senat fakultas, ditambah dukungan tanda tangan terbuka 65 persen dosen Fakultas Hukum UGM adalah fakta tak terbantahkan bahwa SR menang mutlak secara dukungan fakultas dibandingkan SR. Secara penilaian meritokrasi, mana yang lebih valid, penilaian senat fakultas yang sudah puluhan tahun berinteraksi dengan para calon dekan, ataukah penilaian timsel universitas berbasis presentasi maksimal satu setengah jam? Yang pasti, gelar akademik professor semestinya masih belum berubah, dan tetap lebih tinggi dibandingkan doktor bukan? Kecuali, sudah ada peraturan rektor baru yang menyatakan sebaliknya.

Rektor dan Tim Seleksi UGM silahkan menimbang semua proses itu dengan lebih bijak. Dialektika dan proses di Fakultas Hukum tentu baik dijadikan acuan. Tidaklah bijak jika demikian saja menegasikan putusan pada level fakultas, walaupun dengan argumen otoritas sekalipun. Keputusan yang hanya bersandar pada otoritas semata, adalah sikap yang otoritarian, dan pastinya anti-demokrasi. Kecuali ditemukan adanya penyimpangan, kecurangan dalam proses di Fakultas Hukum, maka sikap bijak yang tepat adalah, tidak merubah aspirasi arus bawah. Adalah konstituen fakultas yang lebih tahu, lebih paham, lebih mengenal calon dekannya sendiri.

Yang saya dengar dan percayai, karena dikatakan oleh teman-teman yang rekam jejaknya sudah saya sangat ketahui, justru intrik dan fitnah dilakukan kepada SR dan pendukungnya. Saya duga, LYS akan menyatakan klaim yang sama, dicurangi. Tapi, terhadap LYS, saya belum mendengar dan mendapatkan buktinya. Yang saya dengar dan yakini kebenarannya, ada ancaman fisik, intimidasi akademik, interogasi dan berbagai langkah tidak patut lainnya yang dilakukan kepada pendukung SR. Mendengar hal-hal demikian, saya miris dan kecewa. Mengapa demokrasi pemilihan dekan di kampus UGM menjadi tidak berbeda dengan politik tak beretika yang sering menjadi bagian kritik kami para akademisi di ruang publik. Kenapa cara kami berdemokrasi justru persis sama dengan praktik yang selama ini kami kritik.

Itulah praktik demokrasi di level pemilihan dekan di Fakultas Hukum UGM. Saya dengar masalah yang relatif sama, dengan detail yang berbeda, juga terjadi pada beberapa fakultas lainnya. Inilah saatnya pihak rektorat muncul menjadi penentu bahwa demokrasi masih hadir dan hidup subur di UGM. Bahwa kampus biru masih layak dijadikan contoh berdemokrasi yang baik dan bermartabat.

Maka izinkan saya menyampaikan saran kepada Ibu Rektor Profesor Dwikorita Karnawati Yang Terhormat. Sebagaimana para pemimpin di setiap organisasi, kata putus sangat dipengaruhi pemegang otoritas, dalam hal universitas adalah rektor. Saya yakin Ibu sudah mendengarkan dari banyak pihak. Saya harap Ibu bisa memilah dan memilih mana yang informasi, dan mana yang disinformasi. Mana data valid, mana fakta invalid. Mana masukan yang jujur, dan mana hasutan yang kabur. Pilihan dan keputusan ada di tangan dan pikiran Ibu Rektor. Saya hanya berharap, Ibu bisa mengembalikan proses pemilihan dekan di UGM kembali kepada prinsip-prinsip demokrasi. Yaitu pemilihan yang mendengarkan dialog yang sehat, tanpa intrik, tanpa manipulasi. Keputusan yang berdasarkan dialektika yang jujur dan berlandaskan hati nurani.

Menurut saya resepnya jelas, kecuali ada kecurangan dan penyimpangan dalam proses seleksi di fakultas, maka sebaiknya aspirasi fakultas itu dihargai. Kami, staf pengajar di fakultas, bersama pemangku kepentingan yang lain, karyawan dan mahasiwa, juga patut dipercaya mempunyai kemampuan untuk bisa memilih siapa calon dekan yang layak untuk memimpin Fakultas Hukum UGM ke depan. Tolong jangan kerdilkan dan singkirkan aspirasi fakultas sedemikian saja dengan tidak menjadikan calon dekan yang telah dinilai punya nilai kapasitas lebih baik, serta nilai akspetabilitas lebih tinggi, menjadi dekan terpilih di Fakultas Hukum UGM. Memilih calon dekan yang kapasitasnya telah dinilai lebih rendah, dan akseptabilitasnya hanya satu departemen di antara sebelas departemen yang ada, yang tidak didukung minimal 65 persen staf pengajar—masih ada dosen lain yang tidak terbuka menyampaikan dukungannya—sama saja dengan membuka potensi konflik tetap hadir di fakultas. Sama saja menanam kepemimpinan dekanat yang tidak efektif, karena tidak berakar di fakultas.

Saya yakin, Ibu Rektor dapat bertindak bijak, dan menggunakan otoritas yang ibu punya untuk menegakkan, dan bukan merubuhkan demokrasi di kampus biru UGM yang sama-sama kita cintai. Semoga Allah SWT meridhoi perjuangan kita bersama untuk UGM yang lebih demokratis, untuk Indonesia yang lebih baik.

Keep on fighting for the better Indonesia. (*)

Denny Indrayana

Guru Besar Hukum Tata Negara UGM
Visiting Professor Melbourne Law School Faculty of Arts University of Melbourne

(ega/ega)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads