Kalau mendengar kata TA, publik langsung bingung dan bertanya-tanya, siapa sebenarnya sasaran TA ini? Dari awal pembahasan UU No. 11 Tahun 2016 Tentang Pengampunan Pajak, publik tidak terlalu pusing dengan TA karena Pemerintah mengatakan bahwa UU ini ditujukan bagi para konglomerat atau orang kaya Indonesia yang memarkirkan uangnya (termasuk uang haram) di luar negeri. Sudah menjadi diskusi publik bahwa para konglomerat Indonesia sejak krisis finansial tahun 1998 berbondong-bondong melarikan uangnya ke luar negeri dengan macam-macam alasan, seperti keamanan, takut terlacak Pemerintah, menghindar pajak, dan sebagainya.
Dalam beberapa bulan terakhir, Pemerintah selalu mengkampanyekan bahwa tujuan TA adalah untuk mengajak supaya para konglomerat mau memulangkan uang mereka ke Indonesia dengan hanya dikenakan tebusan antara 4% - 10% dari nilai uang yang dipulangkan, mulai September 2016 hingga Maret 2017. Pemerintah juga tidak akan menanyakan asal usul uang itu. Dengan kata lain mereka diampuni oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Persoalan Mendasar Kehebohan TA bagi Publik
Buyung yang sehari-hari bekerja di organisasi nirlaba kebingungan ketika ia harus mendaftarkan aset/kekayaannya yang selama ini tidak dia laporkan karena aset itu merupakan warisan (berupa bangunan dan lahan) dari almarhum orang tuanya dan sampai hari ini belum dibaliknamakan. Ayahnyapun belum pernah mempunyai NPWP. Menurut petugas Pajak, warisan itu harus segera dilaporkan oleh salah satu dari penerima waris dengan membayar uang tebusan 'kerohiman' sebesar 2% - 4%.
Setelah berkonsultasi dengan petugas di kantor Pajak dan dihitung nilai warisan tersebut, ternyata angka tebusan sebesar 2% - 4% itu sangat memberatkan karena nilainya lebih dari Rp. 80 juta dan dipastikan kawan saya itu tidak akan mampu menebusnya. Maka Buyung kembali menemui petugas pajak, baik yang di Kantor Pajak maupun mal atau hadir di beberapa program sosialisasi TA. Sayangnya penjelasan petugas pajak tetap masih membingungkan.
Di sisi lain, Buyung disarankan juga oleh salah satu petugas pajak yang ia temui untuk melakukan pembetulan SPT 2015 jika tidak mampu membayar uang tebusan di TA. Melalui pembetulan SPT 2015 WP hanya dikenakan biaya Rp. 100.000. Namun kembali Buyung ragu, apakah iya hanya membayar Rp. 100.000? Biasanya kalau pembetulan SPT, petugas pajak akan memeriksa SPT WP beberapa tahun ke belakang. Ketika dia tanyakan ke petugas pajak, satu orang bilang tidak akan diperiksa SPT sebelum 2015 tetapi peugas lain mengatakan akan diperiksa. Lengkaplah kebingungan Buyung.
Selain Buyung, jutaan WNI non-konglomerat juga pusing menghadapi UU No. 11/2016 tersebut. Semua ini seharusnya tidak perlu terjadi jika Pemerintah paham tugas-tugasnya, seperti sebelum membahas Rancangan Undang Undang TA melakukan konsultasi publik yang cermat. Kemudian setelah diberlakukannya UU tersebut harus lmelakukan sosialisasi yang cukup panjang. Sayangnya dalam melakukan sosialisasi selama ini, Pemerintah tidak cermat dan terkesan 'mencla mencle'. Jadi jangan heran jika publik menganggap Pemerintah tidak serius dan sungguh sungguh.
Sampai hari ini sebagian besar publik masih menganggap bahwa TA ini ditujukan untuk para konglomerat (hitam dan putih) yang menyembunyikan uangnya di luar negeri, supaya uangnya dikembalikan ke Indonesia dan dapat digunakan untuk membangun infrastruktur. Sudah sepatutnya Pemerintah melakukan penjelasan ke publik secara baik dan benar. Tidak berbeda-beda tanpa standard operation procedure (SOP) yang jelas seperti sekarang.
Jalan Keluar yang Harus Dilakukan Pemerintah
Pertama, Pemerintah harus segera menyelesaikan semua peraturan pelaksanaan dari UU No. 11 Tahun 2016 supaya implementasi UU ini lengkap dan lancar.
Kedua, Pemerintah harus mempunyai standar materi pertanyaan dan jawaban (Q/A) yang rinci terkait dengan isi UU No. 11 Tahun 2016 beserta penjelasannya dan petunjuk pelaksanaannya jika sudah ada. Secara bersamaan, Pemerintah harus segera melakukan workshop atau Pelatihan Standar Materi Q/A bagi petugas Pajak seluruh Indonesia. Tujuannya supaya mereka mempunyai informasi dan pemahaman yang sama ketika sosialisasi dan menjawab pertanyaan WP. Perbarui terus standard Q/A dan sampaikan ke petugas lapangan secara rutin.
Ketiga, perpanjang waktu pengampunan pajak minimal hingga 3 tahun ke depan, supaya publik bisa memahami isi UU No. 11/2016 beserta peraturan pelaksanaannya secara utuh. Tidak ada negara di dunia yang seambisius RI atas TA. Pendapatan berdasarkan dashboard TA di Kementerian Keuangan pada tanggal 7 September 2016 malam, menunjukkan bahwa komposisi uang tebusan baru sebesar Rp 6,46 T, masih jauh dari target yang Rp 165 T.
Keempat, untuk bisa memaksa supaya WP mau ikut TA dan membayar uang tebusan ataupun pembetulan SPT 2015, sebaiknya seluruh petugas dan pejabat pajak harus sudah melakukan TA atau pembetulan SPT 2015 dirinya serta umumkan ke publik. Kalau tidak, sulit bagi publik untuk percaya pada kebenaran pelaksanaan TA karena petugas pajak saja belum melakukan TA.
Kelima, persoalan TA dan pembetulan SPT 2015, patut diduga bisa menjadi sumber korupsi baru. Caranya publik akan mencoba mengurangi angka tebusan dengan cara minta bantuan petugas pajak untuk bekerjasama. Sehingga pada akhirnya akan ada pengecilan nilai tebusan tetapi yang sudah termasuk fee untuk petugas pajak. Korupsi lagi.
Keenam, dengan data tersebut sebaiknya Pemerintah jangan kalap menekan publik perorangan/UKM yang nota bene bekerja dan menyimpan uangnya di bumi pertiwi, bukan uang dari merampok bangsa ini yang dilarikan ke luar negeri. Kejar mereka yang menyimpan uangnya di luar negeri, supaya Amnesti berjalan dengan baik bukan jadi Amsyong.
*) AGUS PAMBAGIO adalah adalah Pemerhati Kebijakan Publik dan Perlindungan Konsumen. (nwk/nwk)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini