Razia Menutup Paksa Jendela Dunia
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Razia Menutup Paksa Jendela Dunia

Senin, 29 Agu 2016 15:46 WIB
Abdul Kadir Karding
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Razia Menutup Paksa Jendela Dunia
Foto: (dokumentasi pribadi)
Jakarta - Jendela. Bayangkan rumah tanpa jendela. Pasti pengap, tidak sehat, plus membosankan. Dan dunia, sebagai rumah besar yang dihuni sekitar 7,3 miliar jiwa ini, untungnya, kata para cerdik-cendekia, juga punya jendela, sehingga penghuninya bisa melihat keluar, tetap waras, dan jadi pintar. Namanya, buku.

Selain diakui sebagai jendela dunia, buku juga dianggap sebagai guru paling sabar. Gus Dur punya anekdot menarik soal buku. "Orang yang meminjam buku adalah orang yang bodoh. Tapi orang yang mengembalikan buku pinjaman adalah orang gila," guraunya.

Bersedia meminjamkan buku adalah perbuatan baik. Rela menyerahkan jendela dan guru paling sabar di dunia yang ada di genggamannya kepada orang lain, dengan kemungkinan, tak kembali.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dan sungguh sangat beruntung, di tengah upaya keras mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara, di Indonesia, ada orang-orang baik semacam itu. Salah satunya di Kota Bandung, Jawa Barat. Pada larut malam, ketika kebanyakan orang memilih tidur nyaman, mereka menggelar buku-buku di pinggir jalan untuk dipinjam atau baca dengan gratis, melalui perpustakaan jalanan, rutin dilakukan sejak 2010.

Menurut Walikota Ridwan Kamil, Kota Bandung tengah meningkatkan budaya literasi. Anak-anak ada kewajiban 15 menit baca sebelum belajar di kelas.

Naas. Niat baik dan orang-orang baik itu, di negeri ini, ternyata tak selalu disambut dengan baik. Sabtu 20 Agustus 2016 lalu, segerombolan aparat pertahanan negara, memaksa bubar perpustakaan jalanan yang telah berjalan selama 6 tahun itu, dengan kekerasan, yang konon mengakibatkan ketakutan dan lebam di tubuh beberapa orang.

Menyedihkan. Aparat negara adalah orang-orang baik, seharusnya. Orang yang berbagi buku, secara sukarela, juga orang baik. Sesama orang baik, selayaknya, saling dukung menggandakan kebaikan. Bila ada yang harus dimusuhi oleh orang baik adalah syak wasangka. Prasangka buruk. Ia bak rayap yang menggerogoti tiang-tiang rumah.

Syak wasangka, sering menjadi bahan bakar utama tindakan pembubaran dengan pemaksaan, razia, yang lekat dengan nuansa kekerasan. Pernyataan Kapendam Kodam III Siliwangi Letkol ARH M Desi Ariyanti yang dikirmkan ke media, ,eneguhkan itu. Curiga dengan orang yang menggelar buku pada larut malam. Curiga dengan temaram. Dan curiga dengan isi buku-buku perpustakaan jalanan. Sungguh, patut disesalkan.

Aparat tak laik bertindak hanya atas dasar syak wasangka. Mengabaikan hukum yang sebagai landasan utama, yang telah tegas menyatakan "Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat," demikian dalam UUD 1945, Pasal 28E, ayat 3.

Perpustakaan jalanan, bagian dari partisipasi warga mewujudkan hak atas informasi, budaya, pengetahuan, sesuai amanat pembukaan UUD 45, mencerdaskan kehidupan bangsa, seharusnya didukung penuh. Dan yang perlu diingat, tugas tentara adalah pertahanan negara. Soal keamanan dan ketertiban hukum, tugas Polri. TNI jangan suka ikut razia. Bahaya.

Mari buka jendela Dunia. Bangkitkan kecerdasan Bangsa.

*) Abdul Kadir Karding adalah Sekjen DPP PKB, Anggota DPR Komisi III bidang Hukum, HAM dan Keamanan. (nwk/nwk)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads