Surat rekomendasi ini dianggap sebagian pihak penuh dengan kepentingan PT Freeport sehingga penerbitannya di era Arcandra Tahar pada saat menjadi Menteri ESDM selama dua puluh hari menambah bumbu-bumbu kekisruhan pengangkatan Achandra sebagai Menteri ESDM. Bahkan untuk mengamankan posisi Arcandra sebagai Menteri ESDM dua puluh hari saat itu, beredar di media pernyataan Luhut Binsar Panjaitan yang akan mem-buldozer setiap orang yang mengganggu Arcandra, selain pula penyataan Luhut bahwa surat rekomendasi ekspor kepada PT Freeport ditandatangani oleh Menteri ESDM pada saat dijabat oleh Sudirman Said.
Muara Polemik
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kenyataannya, ketika pada tahun 2014 atau lima tahun setelah UU Minerba diterbitkan PT Freeport belum dapat memurnikan seluruh hasil tambangnya sebelum diekspor belum juga melakukannya. PT Freeport belum membangun fasilitas pemurnian di dalam negeri untuk memurnikan hasil tambangnya. Padahal UU Minerba telah memberikan waktu lima tahun agar PT Freeport untuk membangun fasilitas ini.
Celakanya, Januari 2014 harus ada kepastian hukum agar Pasal 170 UU Minerba dilaksanakan padahal PT Freeport dkk, termasuk pemegang izin usaha pertambangan, belum menyelesaikan pembangunan fasilitas pemurnian baik secara sendiri maupun bekerja sama. Pemerintah saat itu menerbitkan PP No. 1 Tahun 2014 yang intinya mempertegas bunyi Pasal 170 UU Minerba.
Namun, melalui Peraturan Menteri ESDM Nomor 1 Tahun 2014 PT Freeport diberi jangka waktu sampai 2017 untuk tetap mengekspor mineral dengan catatan 2017 harus telah selesai membangun smelter dengan harus membayar bea keluar dengan kisaran antara 20 persen sampai dengan 25 persen dari 12 Januari-31 Desember 2014, 30 persen sampai dengan 40 persen dari 1 Januari 2015-31 Desember 2015, 50 persen sampai dengan 60 persen dari 1 Januari 2016-31 Desember 2017 sesuai Peraturan Menteri Keuangan Nomor 6 Tahun 2014. Namun, Peraturan Menteri Keuangan ini diubah dengan Peraturan Menteri Nomor 153 Tahun 2014 yang besaran bea keluarnya paling banyak sebesar 7,5 persen.
Sebagai pedoman pemberian izin ekspor mineral yang belum dimurnikan maka Menteri ESDM saat itu menerbitkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2014 tentang Tata Cara Pemberian dan Persyaratan Pemberian Rekomendasi Penjualan Mineral ke Luar Negeri Hasil Pengolahan dan Pemurnian. Peraturan Menteri ini mengatur mengenai tata cara permohonan rekomendasi kepada Menteri ESDM, persyaratan, rencana pembangunan smelter, jaminan kesungguhan, dan evaluasi oleh Menteri ESDM atas perkembangan pembangunan smelter. Dalam Peraturan Menteri ESDM ini, PT Freeport diharuskan membayar jaminan kesungguhan sebesar 5 persen dari nilai investasi baru atau 5 persen dari sisa nilai investasi yang belum terealisasi bagi pembangunan fasilitas pemurnian yang sudah berjalan.
Melalui jaminan kesungguhan ini, diharapkan PT Freeport akan membangun smelter. Dalam Peraturan inilah, surat rekomendasi ekspor kepada PT Freeport, termasuk PT Newmont dan lain-lain, muncul. Rekomendasi ekspor diberikan setiap enam bulan oleh Dirjen Minerba atas nama Menteri ESDM. Maksud pemberian rekomendasi tiap enam bulan ini untuk mengevaluasi perkembangan pembangunan smelter tiap enam bulan sekali sebelum diberikan perpanjangan 6 bulan berikutnya.
Dalam Pasal 14 Permen ESDM No. 11 Tahun 2014 diatur bahwa perpanjangan permohonan untuk enam bulan selanjutnya dapat diberikan apabila pemegang kontrak karya, dalam hal ini PT Freeport, telah memenuhi paling sedikit 60 persen pembangunan smelter dari target setiap 6 bulan. Sayangnya, melalui Peraturan Menteri ESDM Nomor 5 Tahun 2016 yang mengubah Peraturan Menteri Nomor 11 Tahun 2014, ketentuan pemenuhan paling sedikit 60 persen ini diganti menjadi berapapun target yang dipenuhi, perpanjangan ekspor dapat tetap diberikan oleh Dirjen Minerba atas nama Menteri ESDM.
Persoalan Hukum
Terdapat persoalan hukum dalam pemberian rekomendasi ekspor mineral kepada PT Freeport, yaitu:
Pertama, pemberian ekspor kepada PT Freeport menyimpangi Pasal 170 UU Minerba yang melarang mineral yang belum dimurnikan di dalam negeri, diekspor. Ekspor mineral secara terus menerus pasca 12 Januari 2014 (lima tahun sejak UU Minerba diterbitkan) ini merupakan bentuk pelecehan PT Freeport pada UU Minerba.
Kedua, penerbitan rekomendasi ekspor kepada PT Freeport telah ada sejak masa Menteri ESDM Jero wacik yang menerbitkan Permen ESDM No. 11 Tahun 2014 yang berimplikasi pada penerbitan rekomendasi ekspor mineral kepada PT Freeport.
Ketiga, tidak hanya PT Freeport yang menyimpangi kewajiban dalam Pasal 170 UU Minerba dengan tidak terbangunnya fasilitas pemurnian mineral di dalam negeri, namun Pemerintah saat itu yaitu pada tahun 2009-2014 juga tidak melakukan pembinaan dan pengawasan agar PT Freeport membangun smelter sebelum 12 Januari 2014. Akhirnya permasalahan tiadanya pembinaan dan pengawasan kepada PT Freeport menyisahkan persoalan pada Pemerintah setelah 2014.
Keempat, Pemerintah saat ini dapat dianggap pula menyimpangi UU Minerba karena tidak dapat memaksa PT Freeport untuk melakukan pemurnian di dalam negeri atas mineralnya.
Kelima, Pemerintah terlalu memberikan kemudahan kepada PT Freeport untuk dapat terus melakukan ekspor mineral yang belum dimurnikan, padahal langkah ini mempersulit Pemerintah karena harus terus menerus menyimpangi UU Minerba dan diprotes oleh DPR, termasuk masyarakat luas.
Langkah Tegas
Sebagai negara hukum sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, mau tidak mau, suka tidak suka, Pemerintah harus konsisten dengan UU Minerba. Pasal 170 UU Minerba harus ditegakkan sebagaimana mestinya.
Pemerintah harus menghentikan memberikan rekomendasi dan izin ekspor kepada PT Freeport selama PT Freeport belum membangun smelter. Substansi kewajiban mengolah dan/atau memurnikan di dalam negeri atas mineral sesungguhnya pernah diajukan uji materiil ke Mahkamah Konstitusi dalam perkara nomor 10/PUU-XII/2014.
Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Pasal 102 dan Pasal 103 mengenai kewajiban pengolahan dan/atau permunian mineral bagi pemegang Izin Usaha Pertambangan/Izin Usaha Pertambangan Khusus tidak bertentangan dengan UUD 1945. Walau subjek hukumnya berbeda, yaitu kepada pemegang IUP/IUPK, namun Pasal 170 yang memiliki kesamaan norma namun subjeknya pemegang Kontrak Karya, sehingga secara substansional kewajiban Pasal 170 pun dapat dianggap sesuai dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.
Akhirnya, PT Freeport harus memiliki itikad baik untuk melaksanakan aturan hukum nasional Indonesia sebagaimana mestinya, apalagi dalam Kontrak Karya PT Freeport dinyatakan bahwa PT Freeport akan menaati undang-undang Indonesia from time to time, dari waktu ke waktu. Kekayaan alam Indonesia ini harus memberikan sebesar-besar kemakmuran bagi rakyat Indonesia, salah satunya melalui pengolahan dan pemurnian hasil tambang PT Freeport di dalam negeri.
PT Freeport harus menghargai hukum Indonesia dan sebagai investor yang baik jangan hanya ingin untungnya dan maunya sendiri. Sumber daya alam Indonesia harus memberikan sebesar-besar kemakmuran bagi rakyat Indonesia.
*) Dr. Ahmad Redi, SH,MH adalah Pengajar di FH Universitas Tarumangara (nwk/nwk)











































