Tidak Cuti Ahok untuk Siapa?
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Tidak Cuti Ahok untuk Siapa?

Senin, 08 Agu 2016 12:10 WIB
Apung Widadi
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Foto: (dokumentasi pribadi)
Jakarta - Sebagai petahana, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) mengajukan permohonan judicial review atas ketentuan wajib cuti berkala sebagai pejabat saat masa kampanye Pilkada. Ketentuan tersebut yaitu pasal 70 dalam Undang-undang nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah.

Ahok ingin, ketentuan yang mewajibkan calon petahana cuti di masa kampanye itu dihapus. Alasan yang dikemukakan, agar sebagai Gubernur, Ahok masih dapat terlibat dalam pembahasan APBD DKI Jakarta 2017, khususnya mengamankan alokasi anggaran Pilkada 2017.

Saya menilai, sah saja Ahok sebagai pemohon menggajukan judicial review tersebut ke MK. Tetapi jika lebih cermat, aturan kewajiban cuti tersebut pernah diputus oleh MK dengan Nomor 17/PUU-XI/2008. Majelis Hakim saat itu yang diketuai oleh Prof. Jimly Asshiddiqie dalam putusannya mengharuskan petahana untuk mengambil cuti saat kampanye. Bahkan saat itu, lebih tegas dalam UU tersebut mengharuskan petahana mengundurkan diri enam bulam sebelum mencalonkan diri sebagai kepala daerah.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dan biasanya di MK, perkara sama yang sudah pernah diputus tidak akan dibahas lagi atau tidak diterima permohonannya. Saat ini kita tunggu saja apakah MK akan menerima permohonan Ahok atau menolaknya. Menanggapi upaya JR tersebut, Mendagri Tjahjo Kumolo mengingatkan Ahok untuk menghormati aturan dengan tetap mengambil cuti. Demikian juga ketua KPU DKI Jakarta, Sumarno mengatakan bahwa petahana wajib cuti sesuai dengan UU Nomor 10 tahun 2016 tentang Pilkada.

Di ruang berbeda, ada yang mendukung sikap Ahok dan menolak upaya JR tersebut. Yang mendukung tentu sepakat agar Ahok selaku gubernur sebagai pemerintah tetap untuk memimpin pembahasan APBD DKI Jakarta 2017. Pengamat Hukum Refly Harun misalnya setuju dengan langkah Ahok, "Judicial Review yang diajukan Ahok sudah tepat, kepala daerah lain yang hendak mengikuti Pilkada juga bisa melakukan hal serupa jika ingin pekerjaannya tidak terbengkalai".

Pembatasan Kekuasaan

Dari kacamata korupsi politik, dalam buku Korupsi Pemilu (Badoh,2010) petahana adalah calon yang mempunyai kesempatan tersebar untuk meraih kekuasaan kembali, pertama karena kepuasan kinerja selama memimpin. Kedua, dengan cara membajak dukungan sumberdaya birokrasi dan sumberdaya anggaran. Jika tidak dibatasi, maka penyalahgunaan wewenang (abuse of power) biasanya digunakan oleh petahana agar menjamin dapat terpilih kembali.

Abuse of power dalam buku tersebut diceritakan bahwa petahana akan membuat program populis, memanipulasi anggaran khususnya Bantuan Sosial dan Bantuan Hibah untuk mempengaruhi pemilih dan basis politik. Selain itu, birokrasi juga sering digunakan sebagai mesin politik pemenangan dari kalangan pegawai negeri sipil dan guru.

Untuk itu, agar Pilkada dapat berjalan dengan setara dan adil (fairness) maka ruang kekuasaan petahana harus dibatasi. Salah satu caranya adalah dengan, petahana wajib mundur enam bulan sebelum pemilihan (pada UU Pilkada 2004), atau aturan itu telah dipermudah menjadi wajib cuti selama masa kampanye (UU Pilkada 2016).

Faktanya, walaupun sudah dibatasi, tetap saja petahana banyak akal agar terpilih kembali. Misalnya, sebelum Pilkada, dilakukannya perombakan birokrasi agar mensolidkan dukungan politik. Selain itu, pada saat awal tahun pembahasan APBD, anggaran populis seeprti bansos, hibah dan bantuan langsung tunai mendadak diperbesar alokasi belanjanya dalam APBD. Sedangkan anggaran sektor lain seperti infrastruktur menjadi kecil.

Buktinya, MK dalam sengketa Pilgub Sumatera Selatan tahun 2012 memutus pemungutan ulang untuk beberapa Tempat Pemungutan Suara (TPS) karena terjadi pelanggaran Sistemik Terstruktur dan Masif. Yang mencengangkan dalam putusan tersebut bahwa, MK menemukan bukti adanya anggaran bantuan sosial APBD Sumsel tahun 2012 yang dialokasikan dan digunakan oleh tim sukses untuk tujuan kampanye memenangkan petahana. Walaupun akhirnya petahana kembali menang, namun ini adalah yurispudensi temuan adanya abuse of power oleh petahana dalam Pilkada.

Dominasi petahana, dalam arti positif terpilih kembali karena kinerja terjadi pada Pilkada serentak 2015. Dari 264 daerah yang melangsungkan Pilkada serentak tahap pertama tahun 2015, 151 daerah di antaranya diikuti oleh calon petahana. Calon petahana ini adalah kepala daerah atau wakil yang mencalonkan kembali. Data yang ada di www.pilkada 2015.kpu.go.id, dari 151 daerah, 97 daerah di antaranya dimenangkan oleh petahana, dan di 49 daerah petahana mengalami kekalahan.

Artinya, jika jujur saja dan kinerjanya baik selama mempimpin periode pertama, petahana potensi terpilih kembali semakin besar. Apalagi jika melakukan tindakan yang melanggar konflik kepentingan dan abuse of power maka akan terjadi persaingan yang tidak sehat.

Dalam konteks Ahok, tentu tidak boleh kita menuduh bahwa potensi abuse of powertersebut akan terjadi. Tetapi sebagai Gubernur yang mendapat penghargaan antikorupsi Bung Hatta Anticorruption Award, ada baiknya Ahok memahami substansi etika dan proses pembatasan kekuasaan petahana untuk mendorong proses demokrasi yang berintegritas.

Dengan JR Ahok ini, banyak akan berdampak pada petahana di daerah lain. Banyak petahana yang tentu akan mendukung karena potensi abuse of power semakin besar, apalagi pengawasan petahana di daerah tergolong rendah. Hal ini berbeda dengan Jakarta yang pengawasan terhadap petahana dan pemda sangat kuat dari semua pihak.

Alasan APBD

Mari coba menimbang asalan JR terkait dengan cuti petahana. Ahok mengatakan alasannya agar tetap bisa mengawal proses pembahasan APBD DKI 2017. Khususnya kekhawatiran terkait alokasi anggaran Pilkada untuk KPU DKI Jakarta. Karena, masa kampanye nanti antara bulan Februari hingga April 2016 diduga akan bertepatan dengan saat penetapan APBD 2017.

Lebih jauh ke belakang, dalam proses penetapan APBD DKI Jakarta selama dua tahun terakhir selalu mengalami keterlambatan, untuk tahun 2015 bahkan baru disahkan oleh Kemendagri sekitar bulan Juli dengan asumsi memakai APBD tahun 2014 karena terjadi deadlock antara Pemprov dengan DPRD DKI. Kedua, tahun 2016 ini juga terjadi situasi yang sama, masalah komunikasi dengan DPRD menyebabkan penetapan APBD molor hingga bulan Mei 2016. Sehingga untuk tahun 2017 tidak ada jaminan penetapan APBD akan tepat waktu, bahkan mungkin akan bersamaan dengan waktu Pencoblosan Pilkada, justru ini bisa menjadi boomerang bukan bagi petahana.

Jika saya menjadi Ahok, saya tidak akan mengajukan JR ke MK karena menghormati etika dan substansi sebagai kewjiban petahana untuk cuti. Tetapi karena komitmen sebagai Gubernur, saya akan meningkatkan kinerja dalam penyusunan APBD agar tidak molor setiap tahun. Saya akan mempercepat agar penetapan APBD sesuai Jadwal yaitu Januari 2017.

Tentu dengan cara mempercepat perencanaan, memperbaiki hubungan dengan DPRD dan menyegerakan sektor prioritas kesehatan dan pendidikan dalam APBD 2017. Sehingga saat kampanye bulan Februari hingga April tugas inti sudah selesai dan akan plong saat kampanye. Masalah terpilih lagi atau tidak,yang penting tugas utama sudah selasai. Kalaupun tidak terpilih lagi, yang jelas telah mempersiapkan APBD 2017 untuk pemerintahan berikutnya, tidak meninggalkan pekerjaan rumah untuk selanjutnya.

Pekerjaan di atas tidak mudah, bahkan cukup berat sebenarnya di tengah sorotan Presiden terhadap penyerapan APBD DKI yang rendah dan dana banyak ditampung di Bank DKI Sebesar Rp 13,5 triliun. Dari posisi warga Jakarta sebagai pemilih dalam Pilkada besok, pertimbangan molornya pembahasan APBD DKI Jakarta dan penyerapan yang rendah bisa jadi bahan pertimbangan juga untuk menilai kelayakan kinerja sebagai petahana.

Sekarang masyarakat tinggal menunggu MK, jika menerima kita lihat proses persidangannya. Jika ditolak MK, jangan jadikan MK sebagai kambing hitam karena sudah pernah memutus perkara yang sama. Apapun proses dan hasilnya nanti, jangan sampai membangkitkan gejala masif abuse of power petahana nakal.

Semoga gugatan cuti Ahok murni untuk menuntaskan pemerintahan secara khusnul khotimah, menggawal APBD sampai tuntas. Bukan sebagai upaya melanggengkan kekuasaan seperti oknum petahana dengan memanfaatkan sumberdaya birokrasi dan anggaran daerah.

*) Apung Widadi, Peminat Ekonomi Politik, Anggaran dan Antikorupsi. Aktif di Seknas FITRA dan Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) (nwk/nwk)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads