Dalam kaitan dengan perombakan kabinet jilid II yang mungkin akan dilakukan Presiden dalam waktu dekat, penulis mengajak untuk melihat apa yang ingin dilakukan Presiden dengan menggunakan mata, namun membacanya dengan memakai hati. Kita beruntung, Presiden telah memberi kita pengalaman bagaimana menggunakan hati kita dengan melihatnya dari lima pengambilan keputusan Presiden berkaitan dengan penyusunan kabinet jilid I, pengangkatan Kapolri Badrodin Haiti, perombakan kabinet jilid I, pengangkatan Kapolri Tito Karnavian, dan pengangkatan Kepala BNPT Suhardi Alius.
Terlepas dari besar kecilnya tekanan dari sana-sini, kita harus mengatakan, berdasarkan bacaan mata hati kita, Presiden kita yang sabar ini memang seorang pengambil keputusan dengan pendekatan thinking out of the box. Karena berpikir out of the box itulah Presiden akhirnya bisa keluar dari tekanan dengan mulus dan bahkan keputusannya pun pada akhirnya bisa diterima oleh pihak yang semula menekannya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selama ini, bila menggunakan nurani kita (membaca dengan hati), kita melihat Presiden, sembari memberi teladan dan memotivasi kita, telah menjalankan revolusi mental yang beliau gagas. Misalnya, di tengah kelaziman pejabat memanfaatkan jabatannya, termasuk berbagai fasilitas yang melekat pada jabatannya, sekurang-kurangnya sudah dua kali beliau menggunakan pesawat komersial sekadar untuk menyadarkan kita bagaimana memisahkan kepentingan pribadi dengan kepentingan bangsa dan negara.
Karena itu pada tempatnya kini kita tidak hanya membiarkan beliau menjalankan revolusi mental dengan "ing ngarso sung tulodho" (di depan memberi contoh-red) dan bekerja keras tak kenal lelah sebagai wujud dari "ing madyo mangun karso" (di tengah memberi semangat-red), namun dengan tut wuri handayani (di belakang memberi dorongan-red) kita seyogianya juga mendukung (dan mendorong) beliau memenuhi amanat hati nurani rakyat dengan menjalankan konsep Trisakti Bung Karno melalui sembilan agenda prioritas (nawa cita) yang beliau canangkan bersama Jusuf Kalla.
Bukan Politik Transaksional
Usai pemberian mandat PDIP kepada Joko Widodo pada 14 Maret 2014, tidak sedikit orang yang meragukan ketulusan Megawati. Di masa kampanye pun, partai-partai pendukung (Koalisi Indonesia Hebat) rajin membantah soal ketidaktulusan ini. Mereka menyebut, mereka tidak sedang menjalankan politik transaksional. Lebih dari sekadar keraguan atas ketulusan Megawati, ketika itu banyak pihak meramalkan Joko Widodo sulit menjadi the real president bila terpilih.
Pasca pembacaan pemberian mandat oleh Puan Maharani, penulis menyatakan dalam akun di Facebook bahwa pemberian mandat oleh Megawati sebagai Ketua Umum PDIP itu dilakukan oleh seorang negarawan kepada seseorang yang diyakini bisa menjalankan konsep Trisakti Bung Karno. Pentingnya menjalankan konsep ini telah diingatkan oleh Buya Syafii Maarif saat Joko Widodo (ketika itu masih menjadi calon presiden) mengunjungi tokoh Muhammadiyah itu di rumahnya di Yogyakarta 3 Mei 2014.
Hingga saat ini penulis berkeyakinan, Megawati adalah seorang negarawan. Sebagai negarawan yang notabene anak biologis dan ideologis Bung Karno, beliau tidak hanya hafal luar kepala bunyi Trisakti, yang salah satunya berdaulat secara politik, tetapi beliau juga mengamalkannya secara penuh. Beliau pasti menyadari sepenuhnya, mustahil bagi Presiden melaksanakan konsep Trisakti jika Presiden sendiri tidak berdaulat secara politik dalam merombak kabinetnya. Bagi penulis, hak prerogatif dan berdaulat secara politik ibarat dua sisi mata uang.
Jika sebelum 14 Maret 2014, penulis dan mayoritas orang Indonesia menunggu pemberian mandat itu dilakukan oleh Megawati, kini pun orang menanti perombakan kabinet yang lahir dari seorang Presiden yang sungguh-sungguh menjalankan konsep Trisakti Bung Karno secara penuh yang ia mulai dari dirinya. Bagi penulis, seperti telah penulis ungkapkan di muka, inilah saatnya bagi Megawati dan partai-partai pengusung dan pendukung, termasuk PAN dan Partai Golkar, untuk membuktikan bahwa mereka tidak sedang menjalankan politik transaksional dan makan siang yang mereka sajikan adalah hidangan ala Lebaran.
Bila partai-partai pengusung dan pendukung membiarkan Presiden merombak kabinet berdaulat secara penuh, itu berarti memberi Presiden kesempatan melunasi hutangnya kepada rakyatnya, dan itu sekaligus berarti partai-partai pengusung dan pendukung beserta para wakil rakyatnya berkesempatan pula melunasi hutang kampanye mereka.
Ibarat kata pepatah, "Sekali merengkuh dayung dua tiga pulau terlampaui". Bila partai-partai pengusung dan pendukung menolak melakukannya, itu berarti mereka telah melakukan dosa politik, yakni "politik tanpa prinsip" (satu dari tujuh dosa sosial menurut Mahatma Gandhi).
*) Henrykus Sihaloho adalah Doktor lulusan Institut Pertanian Bogor dan dosen pada Universitas Katolik Santo Thomas, Medan. (nwk/nwk)











































