Lonceng Kematian Hakim Agung Nonkarier
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Lonceng Kematian Hakim Agung Nonkarier

Selasa, 19 Jul 2016 10:34 WIB
Dr Bayu Dwi Anggono
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Lonceng Kematian Hakim Agung Nonkarier
Dr Bayu Dwi Anggono (andi/detikcom)
Jakarta - Beberapa bulan terakhir ini publik tengah diliputi tanda tanya besar terkait tertangkapnya secara berturut-turut beberapa pejabat pengadilan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akibat perilaku yang masuk kategori abuse of power (penyalahgunaan wewenang yang dilakukan seorang pejabat untuk kepentingan tertentu). Publik bertanya apa yang sesungguhnya sedang terjadi dengan para pejabat pengadilan (hakim, panitera dan pegawai pengadilan) yang sebenarnya dituntut punya integritas lebih tinggi dibandingkan penyelenggara negara lainnya mengingat tugas mereka dalam mengemban amanah rakyat untuk menegakkan hukum dan mewujudkan keadilan.

Belum juga publik mendapat jawaban memuaskan atas pertanyaan besar itu, secara mengejutkan dua orang hakim (Binsar M. Gultom dan Lilik Mulyadi) mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang ke Mahkamah Konstitusi (constitutional review) yaitu Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yang terigistrasi dengan Perkara Nomor 53/PUU-XIV/2016. Sekilas permohonan pengujian UU ini sepertinya sama dengan pengujian UU pada umumnya yang biasa dilakukan oleh warga negara ke MK, namun, jika ditelaah sesungguhnya pengujian ini khususnya Pasal 6B ayat (2) UU MA mengandung konsekuensi yang maha dahsyat jika pada akhirnya nanti dikabulkan oleh MK. Konsekuensi tersebut adalah tereliminasinya eksistensi hakim agung non karier yang selama ini terbukti telah memberikan pengaruh positif bagi terpenuhinya rasa keadilan di masyarakat dan reformasi di tubuh MA.

Negara Tidak Pernah Membedakan
Sesungguhnya sejak lama (bahkan sebelum era reformasi) politik hukum pembentukan Undang-Undang terkait dengan susunan dan kekuasaan Mahkamah Agung tidak pernah memberikan keistimewaan bahwa yang dapat menjadi hakim agung hanyalah hakim karier semata. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1950 Tentang Susunan, Kekuasaan Dan Jalan Pengadilan Mahkamah Agung Indonesia Pasal 4 hanya mengatur:

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Untuk dapat menjadi Hakim Mahkamah Agung, Panitera Mahkamah Agung dan Jaksa Agung orang harus mempunyai ijazah penghabisan dari Perguruan Tinggi bagian hukum, kecuali jika Presiden memberi dispensasi.

Berikutnya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1965 tentang Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan Umum Dan Mahkamah Agung (yang juga mencabut UU 1/1950) menyebutkan di Pasal 41 ayat (3):

Untuk dapat menjadi Hakim Agung harus memenuhi syarat:

a. Warga Negara Indonesia;
b. Berjiwa Proklamasi 17 Agustus 1945 dan tidak pernah memusuhi Revolusi Indonesia;
c. Berjiwa dan mengamalkan Pancasila dan Manipol serta segala pedoman pelaksanaannya;
d. Sarjana Hukum;
e. Ahli Hukum-bukan Sarjana Hukum; f. Berumur serendah-rendahnya 35 tahun;
g. Berpengalaman sedikit-dikitnya 10 tahun dalam bidang hukum.

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung juga tidak membatasi hakim agung hanya dari non karier meskipun sifatnya normanya menurun menjadi fakultatif (bersifat pilihan) yaitu ketentuan Pasal 7 ayat (2) mengatur:

Dalam hal-hal tertentu dapat dibuka kemungkinan untuk mengangkat Hakim Agung yang tidak didasarkan atas sistem karier dengan syarat bahwa yang bersangkutan berpengalaman sekurang-kurangnya 15 (lima belas) tahun di bidang hukum.

Pada tahun 2004 Pasal 7 ayat (2) menjadi salah satu bagian yang diubah oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan UU 14/1985, perubahan terutama menyangkut tambahan syarat menjadi hakim agung dari jalur non karier yaitu:

Apabila dibutuhkan, hakim agung dapat diangkat tidak berdasarkan sistem karier dengan syarat salah satunya adalah berpengalaman dalam profesi hukum dan/atau akademisi hukum sekurang-kurangnya 25 (dua puluh lima) tahun.

Dibandingkan 4 Undang-Undang pendahulunya, justru pengaturan tentang hakim agung non karier dalam UU 3/2009 dapat dikatakan yang paling jelas, lengkap dan menyempurnakan kekurangan 4 UU sebelumnya mengingat tidak saja telah menyebutkan frasa 'calon hakim agung non karier', sifat normanya pun bukan lagi fakultatif melainkan imperatif (mengharuskan) yaitu Pasal 6B ayat (2) menyebutkan selain calon hakim agung berasal dari karier, calon hakim agung juga berasal dari non karier . Implikasi ketentuan Pasal 6B ayat (2) UU 3/2009 ini adalah setiap seleksi calon hakim agung yang dilaksanakan oleh lembaga yang berwenang yaitu Komisi Yudisial (KY) selain membuka pendaftaran bagi calon hakim agung yang berasal dari hakim karier, maka KY wajib membuka dan memberi kesempatan yang sama kepada calon hakim agung yang berasal dari nonkarier.

Pilihan negara untuk memberikan kesempatan yang sama bagi warga negara di luar hakim karier untuk dapat menjadi hakim agung terbukti (setidaknya sampai tulisan ini dibuat) telah menghasilkan hakim-hakim agung non karier yang turut meningkatkan kepercayaan rakyat kepada MA. Kita tentu pernah mendengar seorang terdakwa kasus mark up pembelian bus TransJakarta yang telah divonis 3 (tiga) tahun di tingkat banding dan telah mengajukan kasasi atas putusan banding tersebut buru-buru mencabut permohonan kasasi setelah mengetahui majelis kasasi yang dibentuk diketuai oleh Artidjo Alkostar (Detik.Com, 06/06/2016). Belum lagi dalam percakapan BBM antara mantan Kasubdit Perdata MA Andri Tristianto Sutrisna dengan mantan Pegawai Panitera Muda Pidana Khusus Mahkamah Agung (MA) Kosidah yang dibuka dalam persidangan kasus suap penundaan pengiriman salinan putusan kasasi terdakwa Ichsan Suhaidi.

Dalam percakapan BBM tersebut nampak secara jelas menunjukkan betapa mafia hukum sangat menghindari perkara kasasi diadili oleh AA ( yang diduga Artidjo Alkostar) melalui pernyataan kosidah 'Nanti dilacak nomor kasasinya untuk penetapan, mudah-mudahan bukan AA' (Detik.Com, 17/6/2016).

Publik tentu mengetahui bahwa Hakim Agung Artidjo Alkostar yang saat ini ditakuti oleh para pelaku tindak pidana korupsi karena tegas dalam menjatuhkan hukuman maksimal dalam kasasi di MA merupakan hakim agung yang lahir dari jalur non karier. Selain Artidjo juga masih banyak hakim agung non karier yang berani membuat terobosan di MA, salah satunya adalah hakim agung Gayus Lumbuun yang sejak awal pengangkatannya telah terang-terangan berani dan konsisten menyerukan upaya reformasi besar-besaran di tubuh MA dan pengadilan di bawahnya agar bersih dan bebas dari praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Di mana kekhawatiran Gayus Lumbuun bahwa reformasi MA berjalan lamban akhirnya terjadi dalam beberapa bulan terakhir yaitu terbongkarnya berbagai praktek mafia perkara di pengadilan.

Motivasi Pemohon

Meskipun pemohon dalam pernyataannya di media membantah bahwa mereka menggugat keberadaan hakim non karier (termasuk hakim agung non karier yang tengah bertugas di MA saat ini), melainkan mereka hanya menggugat syarat menjadi hakim agung non karier (Detik.Com, 14/7/2016), namun jika ditelaah dalam permohonan mereka maka sesungguhnya mereka memang menginginkan hakim agung non karier perlahan-lahan hilang dari MA. Pemohon dalam petitumnya meminta MK untuk menyatakan agar ketentuan Pasal 6B ayat (2) UU 3/2009 yang berbunyi "selain calon hakim agung berasal dari karier, calon hakim agung juga berasal dari non karier" dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa "selain calon hakim berasal dari hakim karier, calon hakim agung juga berasal dari non karier tidak dimaknai dalam hal-hal tertentu, dapat dibuka kemungkinan untuk mengangkat hakim agung yang tidak didasarkan atas sistem.

Atas pengujian Pasal 6B ayat (2) UU 3/2009 maka sebenarnya tergambar motivasi dan alur pikir pemohon yaitu: Pertama, ketentuan Pasal 6B ayat (2) UU 3/2009 yang sifat normanya imperatif yaitu memerintahkan agar dalam setiap seleksi hakim agung yang dilaksanakan oleh KY selalu membuka peluang dan kesempatan bagi orang-orang di luar hakim karier untuk mendaftar sepanjang memenuhi persyaratan dianggap oleh pemohon bertentangan dengan UUD 1945. Dari sini jelas tergambar bahwa pemohon resisten terhadap keberadaan hakim agung nonkarier yang keberadaannya dianggap mengurangi kesempatan bagi hakim karier menjadi hakim agung. Kedua, menurut pemohon seharusnya norma Pasal 6B ayat (2) UU 3/2009 hanya bersifat fakultatif yang ditandai dengan frasa "dapat dibuka kemungkinan untuk mengangkat hakim agung yang tidak didasarkan atas sistem karier".

Artinya menurut pemohon dalam setiap seleksi hakim agung seharusnya KY tidak perlu selalu membuka peluang pendaftaran bagi masuknya orang-orang di luar hakim karier melainkan dibuka tidaknya peluang bagi orang-orang di luar hakim karier haruslah disesuaikan dengan kebutuhan, yang dalam hal ini MA lah yang paling mengetahui kapan hakim agung non karier dibutuhkan atau tidak.

Atas dasar motivasi permohonan tersebut maka terlihat bahwa pemohon sebenarnya tidak hanya sedang menguji persyaratan untuk dapat menjadi hakim agung dari jalur non karier yang dianggap ringan dan menimbulkan diskriminasi dengan syarat hakim agung dari hakim karier sebagaimana mereka nyatakan di media, mengingat mengenai syarat hakim agung non karier diatur dalam Pasal 7 huruf b UU 3/2009 dan bukan di Pasal 6B ayat (2) UU 3/2009. Oleh karenanya jika pemohon hanya ingin ada perubahan dalam syarat menjadi hakim agung non karier yaitu menjadi berusia minimal 55 (lima puluh lima) Tahun, berpengalaman dalam profesi hukum dan/atau akademisi hukum paling sedikit 25 (dua puluh lima) tahun secara terus-menerus, memiliki pendidikan/gelar minimal Guru Besar (Professor) dan berijazah Doktor Ilmu Hukum, maka seharusnya pemohon tidak perlu menguji keberadaan Pasal 6B ayat (2) UU 3/2009 melainkan cukup menguji Pasal 7 huruf b UU 3/2009.

Kebijakan Hukum Terbuka
Keinginan Pemohon untuk mengubah Pasal 6B ayat (2) UU 3/2009 seandainya dikabulkan oleh MK akan berimplikasi hilangnya keberadaan hakim agung non karier secara perlahan-lahan. Hal ini mengingat jaminan selalu dibukanya peluang pendaftaran hakim agung nonkarier dalam setiap seleksi hakim agung adalah karena keberadaan Pasal 6B ayat (2) UU 3/2009 yang sifat normanya imperatif . Dapat dibayangkan jika Pasal 6B ayat (2) UU 3/2009 diubah sesuai keinginan pemohon menjadi norma fakultatif yaitu dapat dibuka kemungkinan untuk mengangkat hakim agung yang tidak didasarkan atas sistem karier, maka sampai kapan pun tidak akan pernah ada rekrutmen hakim agung non karier sepanjang pimpinan MA menyatakan belum membutuhkan.

Atas permohonan ini, saya secara pribadi menyakini MK tidak akan gegabah dalam memutus permohonan ini, hal ini mengingat beberapa hal:

Pertama, apabila mau obyektif memahami ketentuan UUD 1945, maka seharusnya pemohon sudah mengetahui bahwa tidak ada satu ketentuan pun dalam UUD 1945 yang memberikan hak istimewa/eksklusif kepada pemohon bahwa hakim agung harus berasal dari hakim karier.

Pasal 24A ayat (2) UUD 1945 yang mengatur tentang persyaratan hakim agung hanya menyebutkan hakim agung harus memiliki integritas dan kepribadian tidak tercela, adil, profesional, dan berpengalaman di bidang hukum. Artinya UUD 1945 tidak membatasi diri bahwa hakim agung haruslah hanya berasal dari hakim karier, melainkan mendelegasikan kepada pembentuk UU (DPR dan Presiden) untuk mengatur lebih lanjut syarat dan siapa yang dapat menjadi hakim agung. Mengingat pengaturan mengenai siapakah yang dapat menjadi hakim agung merupakan kewenangan pembentuk UU (kebijakan hukum terbuka/open legal policy) maka menjadi kewenangan penuh pembentuk UU untuk merumuskannya, yang dalam hal ini pembentuk UU memilih membuka peluang hakim agung dari jalur non karier untuk melengkapi hakim agung dari jalur hakim karier.

Kedua, untuk menguji apakah kebijakan hukum terbuka yang dalam hal ini pilihan kebijakan pembentuk UU 3/2009 yang membuka peluang hakim agung dari jalur non karier dapat dibatalkan oleh MK, maka dapat merujuk kepada beberapa putusan MK sebelumnya. Salah satunya adalah putusan MK Nomor 51-52- 59/PUU-VI/2008 yang menyatakan "MK dalam fungsinya sebagai pengawal konstitusi tidak mungkin untuk membatalkan UU atau sebagian isinya, jikalau norma tersebut merupakan delegasi kewenangan terbuka yang dapat ditentukan sebagai legal policy oleh pembentuk Undang-Undang".

Lebih lanjut dalam putusan tersebut disampaikan bahwa MK baru bisa membatalkan kebijakan hukum terbuka jika produk kebijakan hukum terbuka tersebut jelas-jelas melanggar moralitas, rasionalitas dan ketidakadilan yang intorable.

Pertanyaannya adalah apakah kebijakan pembentuk UU 3/2009 yang memberi peluang hakim agung dari jalur non karier melanggar moralitas, rasionalitas dan ketidakadilan yang intolerable?. Tentu semua sudah mengetahui bahwa keberadaan hakim agung nonkarier selama ini justru berfungsi seperti vitamin yang semakin menyehatkan tubuh MA karena keberadaannya semakin meningkatkan kepercayaan publik kepada MA dan semakin mendekatkan pada tercapainya cita-cita keadilan di negeri ini.

Akhirnya meskipun menguji UU ke MK merupakan hak setiap warga negara yang dijamin oleh UUD 1945, namun permohonan yang diajukan haruslah diletakkan dalam kerangka tidak hanya untuk kepentingan orang perorangan (individu pemohon), melainkan sebisa mungkin harus diletakkan dalam kerangka kepentingan rakyat banyak. Dimana dalam permohonan mengenai hakim agung non karier ini sangat kental suasana kepentingan individu atau kelompok yang terkesan merasa terganggu dengan kepeberadaan hakim nonkarier dan bukan kepentingan publik utamanya para pencari keadilan yang selama ini telah banyak mendapat manfaat atas keberadaan hakim agung nonkarier.

*)Bayu Dwi Anggono
Direktur Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi (Puskapsi)
Fakultas Hukum Universitas Jember (asp/asp)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads