Saya bukan ahli transportasi, karenanya hanya akan berbagi cerita bagaimana persoalan itu diselesaikan di Melbourne, Australia, tempat saya sekarang diundang sebagai Visiting Professor oleh Melbourne Law School dan Faculty of Arts, University of Melbourne.
Sudah jelas, konsep gerbang tol adalah sumber kemacetan. Maka berbagai kebijakan terobosan, out of the box, tentu perlu untuk mengatasinya. Saya perhatikan, di tol Jagorawi model pintu tol miring, yang memungkinkan lebih banyaknya gerbang tol, cukup menjadi solusi. Maka, saya cukup heran, kenapa konsep gerbang miring itu tidak diperbanyak di pintu tol lainnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun, di Melbourne, tidak lagi ditemukan gerbang tol. Pembayaran dilakukan dengan membeli alat yang dipasang di kendaraan yang secara otomatis memotong nilai uang setiap kali kendaraan melintas di jalan tol. Pengguna hanya perlu mengisi ulang pulsa tol tersebut. Pembelian bisa dilakukan melalui berbagai cara pembayaran elektronik seperti ATM, sms banking, dan internet banking. Tidak ada sama sekali waktu antri pembayaran setiap kali memasuki atau keluar pintu tol. Jalan tol atau tidak dibedakan dengan rambu jalan berwarna biru kuning dengan tulisan "Citilink".
Sewaktu awal di Melbourne, karena belum hapal jalan, secara tidak sengaja saya memasuki jalan tol. Lalu, bagaimana? Padahal mobil saya tidak mempunyai alat yang bisa membayar tol secara otomatis. Solusinya sederhana. Saya cukup mendatangi kedai-kedai mini market dan membayar tol sesuai tarif dengan menyertakan detail waktu dan nomor kendaraan ketika melintas pintu tol. Jika saya tidak membayar dalam rentang waktu 3 x 24 jam sejak waktu melintasi jalan tol tadi, maka tagihan dan dendanya pasti akan datang di kotak surat saya beberapa saat kemudian. Jika saya tetap tidak membayar tagihan dan denda pada waktunya, maka hal demikian dianggap pelanggaran hukum dan karenanya ditangani oleh Kepolisian Victoria, negara bagian yang melingkupi Melbourne.
Pada kasus saya tadi, setelah menyadari saya tidak sengaja memasuki pintu tol, maka saya menelepon nomor pelayanan pelanggan Citilink dan menjelaskan kejadiannya. Setelah mendengarkan alasan saya yang masih baru di Melbourne, staf Citilink memutuskan saya tidak perlu membayar. Dalam dokumentasi yang dia punya, saya itu adalah pelanggaran saya yang pertama, dan dia percaya penjelasan saya. Tentu karena kejujuran adalah hal biasa, bukan luar biasa, sehingga orang relative percaya berhubungan atas dasar kepercayaan. Memang benar tagline KPK, "Berani Jujur Itu Hebat". Maka masalah saya selesai. Problem solved, as simple as that.
Jadi, jangan membayangkan ada kemacetan atau antrian panjang pada gerbang tol di Melbourne. Karena jangankan antrian dan kemacetan, gerbang tolnya sendiri pun tidak ada. Semua pembayaran tol dilakukan secara elektronik, mudah, cepat, bebas kemacetan.
Tentu sistem pembayaran elektronik membutuhkan dukungan infrastruktur teknologi di setiap jalur keluar masuk jalan tol, dan yang juga penting, perubahan budaya pembayaran dari manual-tunai menjadi otomatik-elektronik.
Jadi, konsep tol perlu dikembalikan ke khittahnya. Tol adalah jalan berbayar tanpa macet. Bukan sebaliknya, tol adalah membayar jalan untuk macet di pintu masuk dan keluar. Atau, mungkin cara Meneg BUMN yang lama, Pak Dahlan Iskan perlu dilakukan, pintu tol yang macet, dibuka palangnya, dan kendaraan dibiarkan lewat tanpa membayar, gratis. Khususnya di masa mudik lebaran. Mengapa tidak? Apakah kita perlu menunggu dulu terjadinya kemacetan berpuluh kilo meter, dan beberapa jiwa yang melayang sia-sia karena terjebak macet di jalan tol. Jalan tol adalah jalan lancar, bukan jalan macet, apalagi merengut korban jiwa. Absurd.
*) Denny Indrayana, Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UGM, Visiting Professor pada Melbourne Law School dan Faculty of Arts, University of Melbourne Wakil Menteri Hukum & HAM (2011 β 2014) (dra/dra)











































