Pembatasan kendaraan menggunakan kebijakan ganjil genap sudah pernah akan diterapkan beberapa tahun lalu, namun selalu gagal karena ini merupakan kebijakan yang tidak masuk akal untuk diterapkan. Penerapan kebijakan plat nomor kendaraan ganjil-genap (PNKGG) merupakan pengganti kebijakan three in one yang gagal total karena sering disiasati oleh pengguna dengan menggunakan joki.
Rencananya pelaksanan kebijakan PNKGG ini sebagai kebijakan perantara sebelum menerapkan kebijakan Electronic Road Pricing (ERP) yang juga sudah 10 tahun lebih terus menjadi wacana saja karena minimnya kebijakan pendukung, infrastruktur penunjang dan perebutan pengelolaan yang patut diduga melibatkan pejabat tinggi Negara saat ini. Problem klasik di Indonesia yang selalu menghambat penerapan sebuah kebijakan publik.
Kebijakan PNKGG tidak akan berhasil ketika infrastruktur pendukungnya belum ada, misalnya sarana angkutan umum di jalur ganjil-genap dan ketiadaan angkutan pengumpan atau feeder, belum adanya lahan parkir atau park and ride di titik-titik batas wilayah pengenaan kebijakan PNKGG, belum ada kebijakan Electronic Registration Identification (ERI) oleh POLRI serta elektronik KTP belum tuntas. Mengapa demikian ? Mari kita bahas secara singkat dan padat.
Persoalan Kemacetan dan Pembatasan Kendaraan di Wilayah DKI Jakarta
Kemacetan di wilayah Jabodetbek, khususnya DKI Jakarta sudah menjelang berhenti total atau gridlock karena tingginya jumlah kendaraan (baik roda dua maupun roda empat) di jalan raya dan/atau tol serta masifnya pembangunan infrastruktur transportasi umum sejak tahun 2015 lalu, seperti MRT, jalan layang dan underpass jalur bis Trans Jakarta, jalan tol dalam kota dan pembangunan jalan layang serta melingkar (Semanggi).
Kondisi ini membuat Pemerintah DKI Jakarta perlu melakukan pembatasan kendaraan masuk ke wilayah atau sentra bisnis di Jakarta, seperti jalan Sudirman, jalan Thamrin, jalan HR Rasuna Said Kuningan dan jalan Gatot Subroto setelah pembatasan kendaraan three in one dianggap gagal. Selain tidak mengurangi kemacetan juga menimbulkan dampak sosial yang mengorbankan masa depan generasi penerus.
Kebijakan PNKGG yang akan mulai berlaku mulai tanggal 1 September 2016, saya anggap sebagai kebijakan linglung nan bingung. Mengapa ? Karena kebijakan PNKGG ini tidak didukung oleh kebijakan dan infrastruktur yang mendukung tetapi sekedar penerapan kebijakan reaktif, dari pada tidak ada tindakan sama sekali untuk mengurangi kemacetan yang semakin parah ini di wilayah DKI Jakarta.
Kebijakan PNKGG tidak akan berhasil ketika persoalan e-KTP belum tuntas di wilayah Jabodetabek. Kebijakan PNKGG tidak akan berhasil ketika belum ada kebijakan Electronic Registration Identification (ERI) yang ada di Kepolisian. Kebijakan PNKGG tidak akan berhasil ketika angkutan umum di segi empat emas pengenaan PNKGG belum terkoneksi dengan angkutan feeder dan ada park and ride atau parkir di halte angkutan umum.
ERI dan e-KTP merupakan dua identifikasi elektronik yang harus selesai terlebih dahulu sebelum mengenakan kebijakan apapun yang memerlukan tindakan hukum (gakum) secara masal. Kebijakan PNKGG atau ERP atau yang lainnya, tidak akan efektif jika e-KTP belum selesai karena data real time kependudukan dan pencatatan sipil (dukcapil) belum ada. Sedangkan ERI merupakan data kepemilikan kendaraan, termasuk almat pemilik kendaraan. Jika eKTP dan ERI belum selesai maka gakum bagi pelanggar PNKGG belum bisa efektif.
Bagaimana Kepolisian dapat melakukan tindakan hukum ketika alamat pemilik kendaraan belum tertata dengan baik. Misalnya, saya hari ini menjual mobil saya pada Paimin tetapi berhubung tidak ada kebijakan yang mengharuskan Paimin melakukan balik nama kepemilikan kendaraan segera, misalnya dalam 1 x 24 jam, maka data kendaraan yang ada di kantor Samsat Pemprov DKI Jakarta dan Polda masih atas nama saya. Lalu kalau Paimin melanggar PNKGG dan tertangkap kamera atau tercatat petugas di lapangan, maka surat tilang akan dikirim ke alamat saya, padahal mobil sudah saya jual ke Paimin.
Dari pengawasan di lapangan juga menyulitkan petugas karena mereka harus mengawasi secara manual, selain menyiksa leher petugas juga mata petugas bisa juling karena berjam-jam mengawasi plat nomor kendaraan juga menambah kemacetan jika gakum dilakukan di tempat. Ini bukti kebijakan PNKGG merupakan kebijakan yang tidak manusiawi bagi petugas di lapangan.
Walupun daerah PNKGG memang sudah dilayani oleh bis Trans Jakarta (TJ), tetapi bagaiman dengan feeder nya ? Belum jelas. Lalu bagaimana dengan park and ride atau ruang parkir kendaraan di halte-halte TJ ? Belum tersedia. Lalu bagaimana pemilik kendaraan mau pindah secara masif ke angkutan umum atau TJ ketika tidak ada park and ride serta feeder yang lengkap? Artinya kebijakan PNKGG ini jauh panggang dari api. Dampaknya akan banyak beredar nomor polisi palsu atau penambahan jumlah kendaraan. Langkah Pemerintah Yang Harus Dilakukan
Sebelum Pemprov DKI Jakarta menerapkan kebijakn PNKGG, sebaiknya perlu dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Selesaikan eKTP untuk wilayah Jabodetabek (karena kendaraan di wilayah penyangga banyak yang berlalu lalang di wilyah DKI Jakarta), supaya data dukcapil teridentifikasi secara elektronik terdata real time dan memudahkan ERI dijalankan
2. Segera laksanakan kebijakan Electronik Registration Identification (ERI) supaya pengurusan BPKB dan STNK berada di satu atap tidak terpisah seperti sekarang, supaya sistem gakum termasuk tilang kendaraan dapat berjalan secara online ke pemilik kendaraan terkini bukan ke alamat terdahulu. Sehingga ketika pelanggar PNKGG lalai membayar denda tilang, saat memperpanjang STNK dapat dikenkn sanksi denda yang terberat
3. Keluarkan kebijakan baru yang mengatur proses bea balik nama kendaraan. Penjual dan pembeli harus didenda mahal ketika pengalihan kepemilikan kendaraan tidak dilakukan, misalnya dalam waktu 1 x 24 jam
4. Bangun park and ride sebanyak mungkin dengan tarif murah di pinggiran daerah/diluar PNKGG atau halte-halte angkutan feeder dan kenakan tarif parkir yang 10 x lebih mahal di wilayah PNKGG. Sehingga masyarakat akan pindah menggunakan angkutan umum secara masif
5. Terapkan 1 tarif untuk pengguna TJ atau angkutan umum yang lain di wilayah PNKGG, termasuk angkutan feeder nya
Jika ini semua belum dikerjakan maka PNKGG merupakan kebijakan bodong yang tidak efektif membuat Jakarta berkurang (bukan bebas) kemacetannya.
AGUS PAMBAGIO (faj/faj)











































