Pelajaran Penting dari Brexit
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Pelajaran Penting dari Brexit

Senin, 27 Jun 2016 10:52 WIB
M Prayoga Permana
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Pelajaran Penting dari Brexit
M Prayoga Permana (Foto: dokumentasi pribadi)
Jakarta - Sekilas tidak ada yang berubah dari kehidupan sehari-hari di negara-negara anggota Uni Eropa (EU) pasca pengumuman hasil voting referendum keanggotaan Inggris dalam EU. Di Belanda, salah satu mitra dagang terbesar Inggris, belum terlihat kepanikan terjadi di pasar kendatipun mata uang pound dan Euro mulai bergejolak.

Kendatipun demikian, gejolak pasar akibat ketidakpastian perlu diwaspadai. Hasil referendum pagi ini memang menjadi dasar penting keluarnya Inggris dari UE namun sebetulnya tidak membuat Inggris keluar dari UE, dan segala konsekuensinya besok.

Inggris harus merenegosiasi ulang relasinya dengan UE seperti tertuang dalam artikel nomor 50 Treaty of Lisbon. Selama proses renegosiasi, hubungan UE dan Inggris akan tetap berjalan seperti biasa termasuk dalam sistem mobilitas keuangan dan perdagangan sebagai turunan dari proyek kerjasama Uni Eropa. Namun pasar sebetulnya menunggu dengan harap-harap cemas. Proses renegosiasi ini akan memakan waktu dan biaya yang tidak sedikit. Dalam kurun waktu tersebut pelaku pasar akan cenderung wait and see.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Selain aspek ekonomi, keluarnya Inggris dari UE sebenarnya menjadi momen pembelajaran politik penting di mana politik domestik dan internasional bergesekan satu dengan yang lain. Inggris dan Uni Eropa, dalam hal ini, gagal mengelola ekspektasi politik konstituen domestik terhadap proyek integrasi Uni Eropa.

Majalah berpengaruh Inggris The Economist menyebut, Kebijakan Uni Eropa seringkali dianggap salah perhitungan dan tidak memperhatikan aspek biaya dan manfaat. Akibatnya, skeptisisme muncul. Konstituen di aras bawah menginginkan kebijakan di sektor-sektor ekonomi vital sebaiknya ditentukan oleh masing-masing negara, bukan Uni Eropa.

Terbukti dalam sebuah polling, The Economist menunjukkan kecenderungan kuat pelaku ekonomi berbasis non ekspor dan UKM untuk mendukung Brexit. Sementara itu, perusahaan berkapitalisasi besar seperti di sektor finansial dan otomotif menjadi pihak yang pro dengan UE. Di sini terlihat, manfaat UE bagi pelaku ekonomi tidak dirasakan secara merata. Selain itu, regulasi yang dibuat UE terkadang berdampak negatif pula pada industri berbasis domestik.

Dilihat dari aspek sejarah, Inggris juga berbeda dengan negara-negara pendiri UE. Inggris baru bergabung dengan UE di tahun 1973, ketika proyek kerjasama UE mulai menunjukkan tajinya. Inggris terlihat menunjukkan sikap pragmatis terhadap UE. Sikap ini berlanjut dengan pilihan Inggris untuk bergabung dengan UE secara ala carte. Inggris memilih tidak tergabung dalam zona mata uang euro dan schengen. Keduanya merupakan lambang supremasi keberhasilan Uni Eropa yang tidak populer di mata Inggris. Inggris merasa perlu untuk meminimalisasi konsekuensi integrasi khususnya pada sektor moneter dan imigrasi.

Sentimen terhadap UE ini kemudian ditangkap betul oleh David Cameron dalam kampanyenya. Demi meraup suara yang signifikan, Cameron menjanjikan referendum keanggotaan UE. Cameron berhitung, pihak yang pro terhadap UE akan menang. Sayangnya, perhitungan tersebut meleset.

Lalu apa dampaknya bagi Indonesia? Bagi pelaku ekonomi berbasis ekspor, proses perdagangan barang dan jasa ke Inggris mungkin akan mengalami perubahan dalam jangka panjang. Hasil renegosiasi nantinya akan menentukan apakah Indonesia harus melalui UE atau dengan Inggris sendiri dalam negosiasi perdagangan.

Atau opsi lain, misalnya saja Inggris memilih pendekatan Norwegia dan Swiss. Tergabung dalam area perdagangan bebas Eropa namun tidak dalam UE. Masing-masing pilihan melahirkan konsekuensi yang berbeda. Karena itu, otoritas perdagangan dan asosiasi bisnis kita harus terampil membaca perubahan yang terjadi dari waktu ke waktu.

Selain itu, Indonesia saat ini sedang menapak jalan menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Sebuah fase integrasi ekonomi awal yang dijajaki UE puluhan tahun. Terlihat dari performanya dalam penghapusan hambatan tarif perdagangan antar negara, MEA memang cukup mengkilap. Namun dalam penghapusan hambatan non tarif, ASEAN masih kedodoran. Ketidakjelasan manfaat MEA bagi konstituen, ketakutan akan kompetisi yang asimetris membuat negara anggota ASEAN akan cenderung membentengi diri dengan hambatan non tarif.

Sebut saja misalnya dalam perdagangan jasa. Kendatipun pengakuan kualifikasi antar negara sudah setara, tetap saja mobilitas pekerja sektor profesional di negara ASEAN terhambat oleh aturan-aturan domestik. Birokrasi dalam ekonomi ASEAN yang seharusnya mampu mendorong mobilitas barang dan jasa dengan cepat, justru akan menjadi ganjalan.

Setali tiga uang dengan UE, perjalanan MEA sangat bergantung pada konsensus politik domestik. Apalagi dengan terbatasnya sumber daya dan kapasitas ASEAN sebagai organisasi regional, perjalanan MEA sangat bergantung pada sikap politik masing-masing negara. Dalam hal ini, pemerintah perlu terus meyakinkan konstituen bahwa proyek integrasi ekonomi regional memang betul-betul bermanfaat nyata agar kebijakan ASEAN dan kebijakan domestik dapat berjalan selaras.

*) M Prayoga Permana adalah kandidat doktor bidang Ekonomi Politik di University of Groningen, Belanda dan Peneliti di ASEAN Studies Center, Fisipol UGM. (nwk/nwk)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads