Menyoal Akal Bulus Kebijakan Holdingisasi Niaga Gas Bumi
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Catatan Agus Pambagio

Menyoal Akal Bulus Kebijakan Holdingisasi Niaga Gas Bumi

Rabu, 22 Jun 2016 12:12 WIB
Agus Pambagio
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Agus Pambagio (Fotografer: Ari Saputra)
Jakarta - ndonesia sebagai salah satu negara dengan cadangan gas terbesar ketiga di dunia (menurut Kementrian ESDM 2015 sebesar 151,33 trillion cubic feet/TCF), seharusnya bisa dimanfaatkan bagi kepentingan industri dan rumah tangga domestik secara berlimpah. Namun sayang hingga menjelang 71 tahun Kemerdekaan, kakayaan sumber daya alam domestik ini belum dapat dinikmati secara baik oleh publik.

Buruknya kebijakan hulu–hilir membuat gas ini sulit dimanfaatkan oleh publik, kecuali oleh para traders gas/makelar, sebagai sumber energi utama setelah minyak bumi menurun produksinya. Akibatnya sebagian besar gas bumi Indonesia di ekspor untuk menambal Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) setiap tahunnya.

Kebijakan harga hilir gas selama ini menjadi persoalan utama bagi kalangan industri, khususnya terkait dengan kelangsungan ketersediaan gas. Harga gas di hilir selama ini ditetapkan oleh Badan Pengatur Hilir MInyak dan Gas (BPH MIGAS). Bagi industri di Indonesia, harga gas domestik mahal dibandingkan harga gas di negara tetangga. Patut diduga ini terjadi karena banyaknya campur tangan traders/makelar melalui pengenaan toll fee berjenjang.

Kebijakan pengelolaan gas di hulu dan di hilir harus segera dikeluarkan oleh Pemerintah, supaya tidak tumpang tindih seperti sekarang. Tanpa kebijakan ini 2 BUMN migas, yaitu PT Pertamina (Persero) dan PT PGN, Tbk akan berbenturan dalam menjalankan bisnis pergasan di Tanah Air. Akibatnya kepentingan publik untuk menikmati kekayan sumber daya Indonesia terabaikan. Peran negara hilang.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Idealnya PT Pertamina (Persero) mengelola hulu gas dan PT PGN Tbk mengelola hilir gas. Semua anak perusahaan PT Pertamina yang mengelola hilir migas di merger ke PT PGN Tbk, begitu pula sebaliknya. Jangan dibalik seperti saat ini di mana PT PGN sebagai BUMN terbuka, diakuisisi oleh PT Pertagas Niaga, perusahan swasta anak perusahaan Pertamina melalui kemasan holdinghisasi. Ini merupakan akal bulus Pemerintah yang berakibat hilangnya PT PGN sebagai BUMN. Kalau ini terjadi publik harus minta pertanggungjawaban negara.

Latar Belakang Pembentukan Holding Migas

Latar belakang Kementerian BUMN membentuk holdingisasi migas, pertama dari sisi tantangan sektor energi, kebutuhan energi Indonesia diperkirakan tumbuh 7 x pada tahun 2050, di mana kebutuhan gas akan tumbuh 5 x dan minyak 3 x. Sementara cadangan gas Indonesia cukup besar, namun belum mencukupi kebutuhan gas domestik. Lalu secara geografis di Indonesia terjadi ketidakseimbangan antara sumber gas dengan sentra ekonomi. Untuk itu memerlukan infrastruktur yang terintegrasi secara end-to-end.

Kedua, Pemerintah berencana untuk menurunkan harga gas, mengoptimalisasi infrastruktur yang tumpang tindih, menurunkan impor energi, membuat blue print pengembangan infrastruktur dan koordinasi BUMN terkait pasokan listrik demi pertumbuhan ekonomi yang lebih baik.

Ketiga, perlu diperjelas peran strategis BUMN migas, supaya mereka dapat mengoptimalisasi infrastruktur yang masih tumpang tindih, juga supaya ada sinergi BUMN sehingga dapat menurunkan harga gas ke end customer, serta BUMN migas dapat berperan penting dalam ketahanan energi nasional.

Keempat, adanya efek pembentukan holding BUMN migas, diharapkan holding dapat menjamin pasokan gas, dapat meningkakan kemampuan investasi, dapat menjadi operator migas yang kuat di kawasan regional, dapat mengoptimalkan ketersediaan infrastruktur serta dapat menjamin availability, accessibility, affordability dan acceptability.

Untuk itu Kementerian BUMN mengusulkan bentuk holding migas kepada Pemerintah, di mana PT Pertamina (persero) menjadi pengendali holding melalui "pembunuhan" salah satu BUMN yang sesuai peraturan perundang undangan sudah puluhan tahun melakukan pemasaran gas bumi melalui pipa, yaitu PT PGN,Tbk.

Sebagai BUMN migas, PT Pertamina 100% sahamnya dikuasai Negara, sedangkan PT PGN hanya 57% saham yang dikuasai Negara dan sisanya 43% merupakan saham publik. Usulan Kementerian BUMN, terkait dengan holdingisasi migas, 57% saham Pemerintah dan 43% saham publik di PT PGN di inbrengkan kepada PT Pertamina melalui anak perusahaan Pertamina, yaitu PT Pertagas Niaga yang 100% swasta, bukan BUMN. Jadilah PGN menjadi 100% perusahaan swasta, bukan lagi BUMN yang berstatus terbuka (Tbk). Cerdas betul Kementrian BUMN membunuh anaknya, layaknya membunuh Indosat dahulu kala.

Awalnya sebagai BUMN terbuka yang go public, PT PGN sulit diganggu para makelar karena sebagai BUMN jika akan melakukan aksi korporasi harus melibatkan DPR-RI. Namun ketika sudah menjadi swasta murni, posisi dan kondisi PGN tidak beda dengan perusahaan swasta nasional yang rawan diganggu politisi, makelar dan pihak-pihak lain. Pada akhirnya tidak ada gunanya holdingisasi migas karena semua tujuan diatas tidak akan tercapai dan publik lagi-lagi yang akan dirugikan.

Holdingisasi migas akan membuat para rent seekers berkuasa karena peraturan perundang undangan untuk membangun infrastruktur atau pipanisasi dan perdagangan gas bumi pasti akan dikerjakan mayoritas oleh para rent seekers bukan oleh holding. Akibatnya gas sulit bisa dinikmati publik. Lupakan gas murah. Di balik semua langkah Kementerian BUMN, ternyata ada akal bulus di balik holdingisasi migas, yaitu menambah aset PT Pertamina supaya kemampuan berutangnya lebih besar. Apa tidak ada jalan lain untuk memperbesar aset selain membunuh BUMN ?

Langkah Sebenarnya yang Harus Dilakukan Pemerintah

Langkah yang dilakukan Kementerian BUMN sangat aneh dan patut diduga penuh maksud terselubung para rent seekers. Ini terlihat dari peraturan perundang-undangan yang sedang digodok (PP Tentang Penambahan Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia Dalam Modal Saham Perusahaan Perseroan). Dalam rancangan PP tersebut sama sekali tidak mengatur holdingisiasi migas.

Sebagai penguasa 76% infrastruktur jaringan pipa hilir gas bumi (4.500 Km pipa distribusi dan 2.400 Km pipa transmisi) sudah selayaknya PGN mengakuisisi aset PT Pertagas Niaga untuk digabungkan ke PT PGN supaya PT Pertamina berkonsentrasi di hulu gas saja. Sesuai dengan hasil Rapim Kementerian BUMN di KM Kelud November 2015, PT PGN mengakuisasi pipa PT Pertagas Niaga bukan sebaliknya. Kalau ini yang terjadi Indonesia tidak akan kehilangan 1 BUMN tetapi saling memperkuat. Untuk itu yang diperlukan adalah restrukturisasi sektoral bukan restrukturisasi korporat.

Selain itu sulit mengaitkan holding dengan optimalisasi aliran gas karena gas dapat diatur oleh Pemerintah tanpa holdingisasi. Selain itu jika holdingisasi dikatakan dapat menjamin ketersediaan energi gas dengan harga terjangkau juga tidak sepenuhnya benar karena harga gas lebih banyak ditentukan oleh hulu dan hulu gas tidak hanya dari Pertamina tetapi banyak kontraktor asing (K3S).

Akhir kata, jangan ada lagi pembunuhan BUMN demi kepentingan makelar tetapi kembangkan BUMN yang ada sebagai motor ekonomi yang bermanfaat untuk publik. Patut diduga holdingisasi merupakan hasil lobi para pencari rente yamg kembali akan menjerumuskan bangsa ini lebih dalam.

AGUS PAMBAGIO
Pengamat kebijakan publik (nrl/nrl)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads