Apa yang dikatakan Bu Suwarni, seakan menjadi olok-olok atas apa yang disampaikan oleh Presiden Jokowi dalam rapat terbatas tentang persiapan hari raya Idul Fitri 1437 Hijriah di Kantor Presiden (26/4/2016). Dalam rapat tersebut Presiden Jokowi menginginkan harga-harga komoditi seperti beras, gula, minyak, dan daging bukan hanya sekedar turun tetapi dapat dijungkirbalikan. Khusus harga daging Presiden Jokowi mengungkapkan dengan lebih jelas, "saya ingin harga (daging) itu betul-betul, paling tidak kurang dan lebih di angka Rp 87.000 (per kilogram)".
Tingginya harga-harga bahan pokok seakan menjadi ritual rutin yang harus dihadapi masyarakat menjelang Lebaran. Keinginan kuat Presiden Jokowi ternyata juga tak banyak berimbas di lapangan. Upaya menggelar operasi pasar dan impor daging pun tak banyak membantu menurunkan harga. Sejatinya, masalah kenaikan harga bahan pokok menjelang Lebaran bukan hanya dihadapi pemerintahan Presiden Jokowi. SBY dan kini Jokowi menyuguhkan kondisi yang hampir sama, pemerintah yang gagap menghadapi kenaikan harga bahan pokok menjelang Lebaran.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mengapa pemerintah gagal?
Jika melihat struktur persoalan harga bahan pokok yaitu tidak bertemunya tingkat permintaan dan pasokan pada siklus waktu yang sama, seharusnya pemerintah dapat mengantisipasinya. Tetapi ternyata hal ini terus berulang sehingga harus diajukan pertanyaan yang lebih mendasar, mengapa pemerintah gagal?
Penelitian Paul C. Light "A Cascade of Failures : Why Government Fail s, and How to Stop It" yang dipublikasikan oleh Brooking Institution, Juli 2014 dapat dijadikan rujukan untuk menjawab pertanyaan ini. Dalam penelitiannya Paul C. Light mencoba memetakan faktor-faktor yang menyebabkan pemerintah AS gagal mengatasi berbagai persoalan sepanjang tahun 2001-2014.
Paul meneliti 41 kejadian besar yang dihadapi pemerintah AS dalam rentang tahun 2001-2014. Dari serangan teroris September 2001, krisis keuangan 2008 , badai Katrina 2005, hingga penyerangan kedutaan Amerika Serikat di Benghazi -Libya tahun 2012. Pemilihan 41 kejadian didasarkan atas ketertarikan publik kepada berita peristiwa-peristiwa tersebut. Dalam penelitiannya selain menemukan pola dari berbagai persoalan yang muncul, Paul juga membuat 5 kategori yang menyebabkan pemerintah mengalami kegagalan. 5 kategori yang disebut Paul menyumbang terjadinya kegagalan pemerintah adalah, kebijakan yaitu tidak adanya kebijakan yang mendukung pemecahan masalah. Atau jika pun ada, sulit untuk dilaksanakan oleh lembaga yang ada. Sumber daya, pemerintah tidak memiliki sumber daya baik dana, aparat, maupun sistem informasi untuk menghasilkan kebijakan yang berdampak dan konsisten. Struktur, sistem organisasi yang ada menyulitkan terjadinya penyebaran informasi dan menghasilkan kebijakan yang efektif. Kepemimpinan, lemahnya kepemimpinan pada organisasi terkait yang menyebabkan rendahnya kualitas kebijakan yang diambil. Budaya, adanya misi pemerintah yang tidak dikomunikasikan secara jelas sehingga dalam pelaksanaanya mudah diselewengkan dan diwarnai perilaku koruptif
Apa yang dipotret oleh Paul C. Light dari serangkaian kegagalan pemerintahan AS ini tentu dapat juga dipakai untuk meneropong kegagalan pemerintah Indonesia dalam mengontrol harga bahan-bahan pokok. Di Indonesia terlalu banyak lembaga yang memegang kendali atas kebijakan pangan, dari Departemen Pertanian, Departemen Perdagangan, Bulog, hingga BUMN-BUMN lain yang mendapat penugasan. Persoalan menjadi semakin runyam karena setiap lembaga tersebut menggunakan data yang berbeda-beda. Ketidakjelasan kendali dan data ini membuat kebijakan menjadi tidak akurat dan membuka potensi terjadinya penyimpangan.
Impor yang seharusnya dijalankan untuk memastikan agar harga tetap terjangkau juga justru menjadi sumber uang para pencari rente. Krisis pasokan dan kenaikan harga menjadi situasi yang mereka tunggu-tunggu.
Akibatnya, impor yang seharusnya menjadi solusi sementara seolah menjadi rutinitas dan telah berjalan sekian lama. Kondisi ini menyebabkan tidak munculnya langkah komprehensif pembenahan dalam jangka panjang, yaitu memperbaiki kemampuan pasokan dalam negeri.
Presiden Jokowi telah memulai langkah bagus dengan memerintahkan penggunaan data BPS sebagai sumber kebijakan nasional. Selanjutnya tinggal mengatur kembali berbagai lembaga yang selama ini menangani bahan pokok. Perlu ada kepemimpinan kelembagaan yang jelas dan otoritatif atas kebijakan bahan pokok. Dengan pembagian otoritas yang jelas dan data yang handal, kebijakan-kebijakan seperti impor bisa dilakukan dengan tepat dan terencana dengan baik.
Penanganan masalah bahan pokok ini haruslah menjadi salah satu prioritas pemerintah. Bukan hanya untuk merespon gejolak harga setiap menjelang Lebaran, tetapi karena bahan pokok menjadi salah satu sumber stabilitas negara dalam jangka panjang. Ini perlu segera dilakukan agar kita memiliki kehandalan pasokan dalam negeri, dan harga pangan murah tak hanya berhenti menjadi angan-angan Presiden dan hanya ada di berita-berita TV saja.
Sumantri Suwarno
Penulis adalah Ketua Bidang Ekonomi Pengurus Pusat GP Ansor (erd/erd)











































