Perdebatan Solar Bodong Vs FAME 20%
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Catatan Agus Pambagio

Perdebatan Solar Bodong Vs FAME 20%

Senin, 06 Jun 2016 10:48 WIB
Agus Pambagio
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Foto: Ari Saputra
Jakarta - Di tengah ketidakjelasan soal cetak biru energi nasional, akhir minggu ini saya dikejutkan dengan munculnya pemberitaan di Harian Kompas selama 3 hari berturut-turut yang mengulas, mengapa harga solar nonsubsidi lebih murah daripada solar bersubsidi. Suatu anomali yang menyedihkan bangsa ini, jika benar-benar terjadi.

Harga solar atau high speed diesel (HSD) nonsubsidi di seluruh Indonesia memang tidak sama tergantung titik pasoknya, mengingat harga solar nonsubsidi komponennya adalah harga solar + PPn + biaya transportasi dari terminal bahan bakar minyak (TBBM) ke lokasi konsumen, belum termasuk diskon ke konsumen. Sedangkan harga solar subsidi di seluruh Indonesia sama di setiap Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) serta Agen Pengisian Minyak dan Gas (APMS).

Sesuai dengan Peraturan Menteri ESDM No. 12 Tahun 2015 Tentang Perubahan Ketiga Atas PM ESDM No. 32 Tahun 2008 Tentang Penyediaan, Pemanfaatan, dan Tata Niaga bahan Bakar Nabati (Biofuel) Sebagai Bahan Bakar Lain, pentahapan kewajiban minimal pemanfaatan biodiesel B (100) sebagai campuran bahan bakar minyak dari Januari 2016 hingga Desember 2019 adalah 20% (untuk usaha mikro, transportasi dan pelayanan umum yang disubsidi, transportasi non subsidi, industri dan komersial) serta 30% untuk listrik.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pencampuran biodiesel ke solar diatur oleh Peraturan Menteri ESDM No. 29 Tahun 2015 Tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati (biofuel) Jenis Biodiesel dalam Kerangka Pembiayaan oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit ( BPDPKL). Jadi penggunaan biodiesel 20 atau FAME (Fatty Acid Methyl Ester-red) 20% bersifat mandatori.

Sedangkan penunjukan dan penugasan sebagai distributor jenis bahan bakar (BBM) tertentu, termasuk solar bersubsidi untuk tahun anggaran 2016 telah ditunjuk oleh BPH Migas (setelah melalui seleksi), adalah PT Pertamina (Persero) dan PT Aneka Kimia Raya (AKR) Corporindo. PT Pertamina (Persero) akan menyalurkan quota BBM bersubsidi (solar) sebesar 15,7 juta kiloliter dan PT AKR Corporindo sebesar 300 ribu kiloliter.

Kekisruhan soal harga solar bersubsidi yang lebih mahal dari harga solar nonsubsidi tentunya harus dijelaskan ke publik dengan lengkap dan mudah dipahami oleh para pihak yang terkait, seperti PT Pertamina (Persero), PT AKR Corporindo, BPH Migas, dan Kementerian ESDM. Persoalan harga persoalan sensitif di publik, untuk itu saya mencoba menjelaskan dari sisi kebijakan secara ringkas.

Rumitnya Perhitungan Penetapan Harga Solar Subsidi dan Nonsubsidi

Dampak pemberitaan di Harian Kompas tentunya mengusik publik. Sudah diberikan subsidi Rp. 1.000/liter oleh Pemerintah, mengapa harganya masih lebih mahal dari yang tidak disubsidi? Subsidi kan diberikan supaya publik tidak membeli solar (HSD) di harga keekonomian yang mahal. Perhitungan harga solar cukup rumit dan rawan manipulasi.

Terpikir oleh publik jika solar (HSD) bersubsidi yang disalurkan di tahun 2016 sebesar 16 juta kiloliter, maka dana subsidi yang digelontorkan Pemerintah untuk subsidi solar (HSD) sebesar Rp. 16.000.000 x 1.000 liter x Rp. 1.000 = Rp. 16 triliun. Lalu apa gunanya disubsidi, lebih baik uang subsidi digunakan untuk membangun infrastruktur lainnya.

Tahun ini PT Pertamina (Persero) dan PT AKR Corporindo yang ditunjuk sebagai distributor BBM bersubsidi diwajibkan untuk mencampur minyak diesel (solar) dengan 20% FAME atau fatty acid methyl ester, yang berasal dari sawit. FAME adalah biodiesel dan biaya penggunaan FAME 20% diambil dari dana BPDPKL, sesuai dengan perintah PM ESDM No. 29 Tahun 2015. Artinya setiap liter solar (baik yang nonsubsidi maupun subsidi) harus dicampur dengan biodiesel FAME 20%.

Kondisi harga jual solar (HSD) nonsubsidi lebih murah dari solar (HSD) subsidi memang pernah terjadi pada bulan Januari - Maret 2016 ketika harga index pasar (HIP) solar Rp. 4.500 per liter. Saat ini HIP solar sudah Rp. 5.500 - Rp. 6.000 per liter, sepertinya sulit jika harga solar non subsidi di bawah Rp. 5.150 per liter. Namun dari data lapangan, ternyata ada konsumen solar nonsubsidi yang bersedia membeli solar dengan FAME 20% (B-20) seharga Rp. 5.500/liter tetapi ada konsumen yang mau membeli solar nonsubsidi tanpa FAME 20% (B-20) seharga Rp. Rp. 4.500 per liter. Harga sendiri FAME Rp. 9.000/liter.

Seharusnya harga dasar solar non subsidi per liter sesuai rumus perhitungan berikut adalah 80% dari harga dasar solar + 20% x harga dasar FAME atau (0,8 x Rp. 4.500) + (0,2 x Rp. 9.000) = Rp. 5.400. Harga ini belum termasuk biaya transportasi, penyimpanan, margin usaha dan pajak.

Solar nonsubsidi selain disalurkan oleh PT Pertamina (Persero) dan PT AKR Corporindo, juga dilakukan oleh badan usaha swasta lain. Untuk periode Januari - Maret 2016, Pemerintah menetapkan harga solar bersubsidi sebesar Rp. 5.650/liter. Lalu sejak April 2016, harga solar bersubsidi diturunkan menjadi Rp. 5.150 per liter. Pemerintah menjamin tidak ada perubahan harga BBM hingga September 2016 mendatang.

Jika saat ini harga solar nonsubsidi bisa lebih murah dari harga solar subsidi, patut diduga tidak dilakukan pencampuran dengan FAME 20% atau solar (HSD) yang digunakan berasal dari pasar gelap yang ilegal. Perlakuan tersebut melanggar Pasal 14 PM ESDM No. 29 Tahun 2015, yang menyatakan bahwa badan usaha yang tidak melaksanakan pencampuran biodiesel ke dalam solar akan dikenai sanksi administratif, berupa denda hingga pencabutan izin usaha oleh Direktorat Jenderal Migas, Kementerian ESDM.

Langkah Konkret Pemerintah

Apapun alasannya persoalan anomali harga solar subsidi dan nonsubsidi perlu segera diinvestigasi mengapa hal ini bisa terjadi di lapangan dan segera diberikan sanksi bagi yang melanggar sesuai dengan peraturan yang berlaku tanpa terkecuali. BPK harus segera mengaudit sementara, mengapa terjadi anomali harga solar (HSD) ?

Pemberian jatah distribusi solar baik subsidi dan nonsubsidi ke badan usaha swasta, cukup menggerus pangsa PT Pertamina. Sebelum pemasaran BBM diliberalisasi, PT Pertamina (Persero) merupakan satu-satunya distributor dan penyalur BBM, baik subsidi maupun nonsubsidi. Kondisi anomali harga solar (HSD) sudah dilaporkan kepada Pemerintah, tetapi belum ada tanggapan hingga kini.

Selain itu sebaiknya Komisi VII DPR harus segera memanggil Pertamina dan para distributor BBM lain bersama dengan Direktorat Jenderal Migas, Kemetrian ESDM dan BPH Migas untuk mencegah anomali harga solar (HSD) berulang.

*) AGUS PAMBAGIO adalah adalah Pemerhati Kebijakan Publik dan Perlindungan Konsumen. (nwk/nwk)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads