Bandar Udara atau Bandara merupakan salah satu infrastruktur terpenting di industri penerbangan, selain pesawat terbang berserta kelengkapannya. Tanpa Bandara, tidak mungkin pesawat bisa beroperasi dan berperan besar dalam memfasilitasi pergerakan manusia dan barang dengan aman, nyaman dan selamat hingga tempat tujuan.
Di industri penerbangan, peran bandara, pesawat udara, ground handling (GH), navigasi penerbangan, Bea dan Cukai, Imigrasi, karantina, serta keamanan bandara harus diatur dan diawasi oleh Otoritas Bandar Udara (Otban). Sebagai kuasa penuh Pemerintah di Bandara, dalam hal ini Kementerian Perhubungan, Otban berwenang mengatur Kementerian dan Lembaga yang mempunyai organ langsung di bandara, seperti Kementerian Keuangan, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian BUMN dan Kepolisian.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Otoritas Bandar Udara adalah lembaga pemerintah yang diangkat oleh Menteri dan memiliki kewenangan untuk menjalankan dan melakukan pengawasan terhadap dipenuhinya ketentuan peraturan perundang-undangan untuk menjamin keselamatan, keamanan, dan pelayanan penerbangan.
Jadi jelas, lolosnya pax internasional melalui terminal domestik memang menjadi tanggungjawab Otban, bukan General Manager Bandara yang bersangkutan.
Tulisan ini baru saya buat setelah memperhatikan semua reaksi para pihak terkait dalam kurun waktu sekitar 10 hari, dari sisi kebijakan publiknya. Untuk itu perlu kita ulas dengan singkat dan jelas supaya tidak lagi terulang kejadian seperti ini dan ujung-ujungnya tidak saling menyalahkan.
Permasalahan yang Terjadi di Lapangan
Kesalahan operasional memang berada di GH maskapai yang bersangkutan. Sopir bus penjemput penumpang dan petugas pengatur pax (penumpang-red) darat dari maskapai penerbangan LA di CGK dan IAA di DPS adalah pihak yang paling tahu situasi dan kondisi pax turun dari pesawat untuk naik bus (berbeda jika pax melalui garbarata) hingga sampai di gedung terminal kedatangan.
Pada proses embarkasi dan disembarkasi, petugas keamanan bandara di terminal kedatangan/keberangkatan harus diinformasikan oleh petugas GH. Jika itu penerbangan Internasional, maka selain pertugas keamanan juga petugas Custom, Immigration and Quarantine (CIQ) juga harus di infokan oleh GH maskapai penerbangan. Seluruh jalannya proses embarkasi dan disembarkasi pax tersebut harus dibawah pengawasan petugas Otban.
Patut diduga kejadian seperti ini sudah terjadi beberapa kali tetapi lolos, sama seperti misalnya kasus near miss antar dua pesawat di ruang udara atau near miss antara pesawat di taxi dengan di runway dsb. Kasus tidak muncul ke publik karena publik tidak mengetahui atau tidak sadar sebuah kejadian fatal hampir saja terjadi. Kejadian lolosnya pax internasional tanpa melalui CIQ tidak akan muncul kepermukaan, jika tidak ada pax yang menuliskan di media sosialnya.
Dalam kasus DPS, aviation security Bandara DPS cepat tanggap melakukan penanganan dan segera pax yang sudah menuju terminal kedatangan domestik bisa digiring kembali masuk terminal kedatangan internasional. Jadi tidak ada pax yang lolos seperti yang terjadi di Terminal I D, Bandara CGK. Setelah kejadian Otban DPS juga langsung melaporkan kepada Dirjen Perhubungan Udara. Jadi kemungkinan ada pertimbangan pihak Kemenhub untuk tidak langsung memberikan sanksi tegas pada Otban DPS.
Masalah pax dan barang internasional melalui bandara selain diatur oleh UU No. 1 Tahun 2009, juga diatur dalam Annex IX ICAO tentang kewajiban Otoritas Penerbangan Sipil untuk memastikan bahwa setiap maskapai penerbangan dan bandara harus memenuhi SOP yang ada untuk menyakinkan terwujudnya ketaatan dan kepatuhan setiap penumpang dan angkutan barang yang melintasi batas Negara memenuhi ketentuan CIQ.
Yang wajib melaksanakan ketentuan Annex IX ICAO itu otoritas penerbangan sipil atau di Indonesia adalah Kementerian Perhubungan cq. Dirjen Perhubungan Udara. Yang boleh mendapatkan delegasi kewenangan Dirjen Perhubungan Udara adalah Otban, bukan manajemen bandara. Jadi jika ada persoalan seperti kasus LA dan IAA, yang paling bertanggungjawab adalah Kepala Otban CGK dan DPS, bukan GM Bandara. Jadi Otban adalah penguasa bandara yang sebenarnya.
Jadi sudah tepat ketika Menteri Perhubungan langsung mengganti Otban Bandara CGK karena kelalaiannya tidak segera melaporkan kepada Direktur Jenderal Perhubungan Udara, Kementerian Perhubungan. Sehingga, otoritas penerbangan sipil baru mengetahui ada masalah ini dari media sosial, 5 hari setelah kejadian. Namun kurang tepat jika Kemenhub meminta GM Terminal I CGK dan GM Bandara DPS untuk juga bertanggungjawab dan diganti karena tupoksinya berbeda dan mereka tidak punya kapasitas tanggungjawab sesuai peraturan perundang-undangan yang ada.
Langkah Pemerintah ke Depan
Supaya persoalan lolosnya pax internasional melalui terminal domestik tidak lagi berulang, maka ada beberapa saran yang harus diperhatikan oleh para pihak yang berwenang di bandara.
Pertama, petugas GH harus bersertifikat yang setiap saat harus melalui pengujian ulang, sama seperti awak kabin dan bidang-bidang khusus lain dalam sistem penerbangan sipil. Pemegang sertifikat harus diawasi secara ketat oleh Otban.
Kedua, harus ada sanksi yang dikenakan oleh otoritas penerbangan sipil, dalam hal ini Direktorat Jenderal Perhubungan Udara, Kementerian Perhubungan, sesuai dengan tupoksi masing-masing yang diatur dalam UU No. 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan dan Annex IX dari ICAO.
Ketiga, kewenangan Otban harus kelihatan jelas di lapangan dan Otban tahu permasalahan yang muncul setiap saat , baik di airside maupun di landside, misalnya gunakan komunikasi digital yang termonitor di seluruh jajaran Otban, sehingga jika terjadi persoalan terkait safety, security dan sebagainya bisa cepat terdeteksi dan diselesaikan. Tidak merebak kemana-mana dan ditanggapi secara liar oleh para pihak yang buta pengetahuan kebandarudaraan.
*) AGUS PAMBAGIO adalah adalah Pemerhati Kebijakan Publik dan Perlindungan Konsumen. (nwk/nwk)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini