Tapi, coba tanyakan tentang lembaga rumah penyimpanan benda sitaan negara (Rupbasan), hanya segelintir penegak hukum dan masyarakat yang mengetahuinya. Masyarakat yang mengetahui pun pemahaman nya sangat sederhana, Rupbasan merupakan lembaga tempat menampung benda rongsokan terkait benda sitaan negara yang terkait dengan suatu tindak pidana.
Pemahaman sederhana tersebut bukan suatu hal yang mengejutkan. Selama lebih dari tiga puluh tahun KUHAP dilaksanakan, Rupbasan hilang dari radar sistem peradilan pidana terpadu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Das Sollen, Rupbasan merupakan lembaga yang dicita-citakan pembentuk undang-undang sebagai penopang tiang-tiang keadilan. Karenanya dalam ketentuan Pasal 44 KUHAP dinyatakan:
(1) Benda sitaan disimpan dalam rumah penyimpanan benda sitaan negara;
(2) Penyimpanan benda sitaan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dan tanggung jawab atasnya ada pada pejabat yang berwenang sesuai dengan tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan dan benda tersebut dilarang untuk dipergunakan oleh siapapun juga.
Ruang lingkup ketentuan Pasal 44 tersebut pada hakikatnya bertujuan agar benda sitaan, baik itu dalam wujudnya sebagai "corpora delicti" atau menjadi sasaran tindak pidana (misalnya: barang-barang yang dicuri, ditipu dsb), hasil dari tindak pidana (uang palsu, mobil mewah atau alat kesehatan hasil korupsi, dsb), atau benda-benda yang dipergunakan untuk melakukan tindak pidana (instrumenta delicti), dapat dipelihara dan dipergunakan secara baik sesuai tahapan pemeriksaan, baik untuk kepentingan penyidikan, penuntutan dan pembuktian persidangan.
![]() |
Lebih lanjut, pembentuk undang-undang juga sudah memprediksi bahwa ada benda sitaan yang akan lekas rusak atau yang membahayakan, oleh karenanya dalam ketentuan Pasal 45 KUHAP dinyatakan bahwa benda tersebut dapat dilelang dengan persetujuan tersangka atau terdakwa dan hasilnya dipakai sebagai barang bukti.
Kebiasaan selama ini, ketentuan Pasal 45 diartikan secara suka-suka sesuai selera aparat penegak hukum. Sehingga ketentuan Pasal 44 KUHAP diabaikan. Padahal kedua ketentuan tersebut merupakan satu rangkaian yang sistematis terkait pengaturan lembaga Rupbasan di dalam KUHAP.
Buktinya, dalam Pasal 30 ayat (3) Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana dinyatakan "tanggung jawab secara fisik atas benda sitaan tersebut ada pada Kepala RUPBASAN". Di mana dalam Pasal sebelumnya, yakni Pasal 28 ayat (1) secara tegas dinyatakan "Penggunaan benda sitaan bagi keperluan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan, harus ada surat permintaan dari pejabat yang bertanggung jawab secara juridis atas benda sitaan tersebut" . Lebih lanjut, dalam ketentuan tersebut juga dinyatakan bahwa pengeluaran barang rampasan harus dilakukan oleh jaksa secara tertulis dan apabila barang rampasan tersebut dimusnahkan, pemusnahan oleh jaksa harus disaksikan oleh kepala Rupbasan. (Pasal 28 ayat (2) dan (3) Peraturan Pemerintah No 27 Tahun 1983)
Pertanyaannya kemudian, kenapa tanggung jawab secara fisik benda sitaan diberikan kepada Kepala Rupbasan? Karena dengan terjaga secara fisiknya (kualitas) benda sitaan dalam Rupbasan, diharapkan korban tindak pidana tidak terlalu dirugikan (khususnya secara ekonomi) dan pada saat yang bersamaan kepentingan tingkat pemeriksaan terlayani dengan baik.
Dalam kerangka tersebut, menjadi logis apabila dalam ketentuan Pasal 46 KUHAP dinyatakan bahwa benda sitaan "harus" dikembalikan kepada orang atau kepada mereka yang disebut dalam putusan tersebut sebagai wujud tanggung jawab negara memberikan keadilan bagi korban tindak pidana.
Ilustrasi terhadap hal tersebut dapat dilihat dari kasus pencurian emas. Dalam setiap tingkat pemeriksaan, barang bukti emas dalam wujudnya sebagai "corpora delicti" dipergunakan untuk kepentingan pembuktian. Selanjutnya, apabila kepentingan pembuktian sudah selesai, melalui vonis hakim yang kemudian dieksekusi oleh Jaksa, emas tersebut dikembalikan kepada korban.
Lalu bagaimana apabila korbannya bukan orang perorangan? Sama. Dalam konteks negara yang menjadi korban (utamanya terkait dengan tindak pidana di bidang ekonomi dan korupsi) jaksa dalam tuntutannya akan meminta benda tersebut dirampas untuk negara, selanjutnya apabila hakim mengabulkannya, dalam vonis akan dinyatakan "benda sitaan tersebut dirampas untuk negara".
Di luar dua model putusan tersebut, hakim dapat juga memutuskan agar benda tersebut dimusnahkan atau untuk dirusakkan sampai tidak dapat dipergunakan lagi. Model vonis seperti ini biasanya ditujukan terhadap benda sitaan yang berbahaya atau benda sitaan yang berpotensi untuk dipakai kembali melakukan kejahatan (misalnya mesin pencetak uang palsu).
Rupbasan Dalam Sistem Peradilan Pidana Terpadu
![]() |
Secara konseptual, dilahirkannya lembaga Rupbasan sebagai sebuah lembaga penting dalam KUHAP berpondasi diatas dua asas penting dalam KUHAP. Pertama, asas diferensiasi fungsional. Asas ini menghendaki agar dalam penegakan hukum tidak terjadi "tumpang tindih" (overlapping) dalam proses penegakan hukum. Terpenting, pemusatan suatu kewenangan terhadap salah satu institusi adalah "haram" dilakukan. Dalam konteks itu, Rupbasan hadir untuk memberikan jaminan terhadap benda sitaan sebagai bentuk perwujudan "kepastian hukum" terhadap benda sitaan.
Kedua, asas koordinasi, berupa pembagian tugas dan wewenang secara instansional dalam koridor hubungan antar instansi penegak hukum yang saling bekerjasama sekaligus pada saat yang bersamaan terbinanya suatu sistem saling mengawasi (system checking) antara sesama instansi.
Atas dasar itu, dalam Pasal 27 angka (4) PP 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP dinyatakan "Kepala Rupbasan tidak boleh menerima benda yang harus disimpan untuk keperluan barang bukti dalam pemeriksaan, jika tidak disertai surat penyerahan yang sah, yang dikeluarkan oleh pejabat yang bertanggung jawab secara juridis atas benda sitaan tersebut".
Adalah suatu fakta bahwa sekarang ini Rupbasan tak berdaya. Penyebabnya, disamping egoisme kepentingan sektoral dan pendanaan, setelah KUHAP, tidak ada instrumen hukum lain, baik itu dalam level peraturan undang-undang maupun peraturan pemerintah yang mendukung secara penuh dan komprehensif eksistensi lembaga Rupbasan.
Bandingkan dengan kepolisian yang diatur Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Kejaksaan dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia dan Lembaga Permasyarakatan dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan. Singkatnya, pemerintah alpa membuat regulasi terkait lembaga Rupbasan.
Rupbasan di Masa Mendatang
![]() |
Jangan implementasikan penegakan hukum kepada kebiasaan, tapi laksanakan penegakan hukum sesuai dengan kewenangan. Karena berbicara tentang KUHAP, pada dasarnya berbicara tentang alokasi kewenangan.
Fakta empiris membuktikan bahwa diabaikannya lembaga Rupbasan telah banyak menimbulkan ketidakadilan, penyalahgunaan kewenangan dan tidak memberikan manfaat bagi negara dan masyarakat.
Dalam kasus terkait tindak pidana ekonomi, negara seolah-olah menjadi subjek penderita yang tak kunjung putus dirundung malang. Sudah uang negara dikorupsi, harta benda hasil korupsi tidak bisa dipergunakan. Begitupun yang terjadi dalam suatu tindak pidana di mana korbannya orang perorangan.
Meskipun agak terlambat, mulai dipikirkannya penguatan lembaga Rupbasan secara hukum setelah 30 tahun lebih KUHAP disahkan merupakan suatu kemajuan. Alasannya, pemerintah mulai memahami bahwa penegakan hukum tidak hanya semata berkaitan dengan perampasan kemerdekaan semata, tetapi juga terkait dengan nilai ekonomis suatu benda sitaan yang perlu diselamatkan.
Atas dasar itu, pengaturan hukum lembaga Rupbasan mutlak untuk segera dilahirkan. Tujuannya agar keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan dari benda sitaan dapat segera diwujudkan. Untuk dapat mewujudkan hal tersebut, maka pengaturan lembaga Rupbasan ke depan mutlak harus menjangkau setidaknya tiga aspek penting:
Pertama, menertibkan semua peraturan di luar ketentuan perundang-undangan terkait dengan benda sitaan; Kedua, mendorong pengelolaan benda sitaan dalam lembaga Rupbasan yang profesional di bawah kendali kementerian yang mengurus masalah hukum dan hak asasi manusia; dan ketiga, penguatan struktur kelembagaan dan kewenangan Rupbasan.
Terakhir, penulis menyadari untuk dapat mendudukkan kembali Rupbasan sebagaimana dikehendaki oleh pembentuk undang-undang bukan pekerjaan yang mudah. Karena hal tersebut berkaitan dengan kewenangan dan kekuasaan berdasarkan "kebiasaan" yang selama ini sudah sangat mapan dalam praktik penegakan hukum. Namun begitu, hal ini bukan mustahil dilakukan, selama hal tersebut diniatkan untuk memberikan perlindungan secara lebih baik kepada korban.
*)Lucky Raspati
Staf Pengajar Bagian Hukum Pidana Universitas Andalas, Padang. (asp/asp)














































