Review Program Konektivitas Indonesia
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Catatan Agus Pambagio

Review Program Konektivitas Indonesia

Senin, 16 Mei 2016 11:11 WIB
Agus Pambagio
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Review Program Konektivitas Indonesia
Foto: Agus Pambagio (Ilustrasi: Bagus S Nugroho/detikcom)
Jakarta - Indonesia sebagai negara kepulauan akan tumbuh secara merata perekonomian maupun kehidupan sosialnya ketika keterhubungan, atau yang sering disebut sebagai konektivitas, antara satu daerah dengan lainnya, baik. Yang dimaksud dengan baik oleh publik adalah terjangkau harga tiketnya, tersedia secara berjadwal, terintegrasi, nyaman dan aman.

Konektivitas yang paling diperlukan untuk pergerakan manusia dan barang di Indonesia, adalah infrastruktur laut (pelabuhan, kapal penyeberangan, kapal barang dan sumber daya manusia di sektor pelayaran) serta infrastruktur penerbangan (Bandar udara, pesawat dan sumber daya manusia di sektor penerbangan). Jika konektivitas baik maka harga barang dan jasa di seluruh Indonesia diharapkan akan 'beti' atau beda-beda tipis. Begitu pula dengan pergerakan manusia akan lancar.

Minimnya konektivitas menyebabkan masing-masing daerah harus mengupayakan angkutan charter (udara dan laut) yang mahal karena perusahaan charter dapat menetapkan harga sesuka mereka tanpa Pemerintah dapat mengintervensi besaran tarifnya. Akibatnya harga barang dan jasa menjadi mahal di tingkat masyarakat.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tanpa konektivitas yang baik, sulit bagi daerah pinggiran dan terluar untuk bisa tumbuh ekonomi dan kehidupan masyarakatnya karena mereka terisolir secara permanen. Maka dari itu program Pemerintah yang sesuai dengan  Nawacita, yaitu membangun dari daerah pinggiran dan daerah terluar, harus terus dipercepat dan diprioritaskan, mengingat setelah reformasi pembangunan infrastruktur terus melambat.

Terkait dengan itu, mari kita pantau. Apakah sudah ada penambahan/perbaikan pelabuhan dan bandara yang signifikan di Indonesia selama lebih dari 18 bulan Pemerintahan ini berjalan? Bandara dan pelabuhan adalah modal konektivitas utama mengingat RI adalah negara kepulauan.

Konektivitas versus Pemberdayaan Masyarakat Pinggiran dan Terluar

Menurut catatan saya, pelabuhan dan bandara yang dikelola oleh Pemerintah di seluruh Indonesia ada sekitar 1.220 pelabuhan dan 237 bandara. Sejak anggaran 2015 dan 2016 sudah sekitar 125 pelabuhan dan 35 bandara yang sudah selesai dibangun/ditingkatkan kapasitas pelabuhan dan landasan dan/atau terminal serta diresmikan, khususnya yang ada di daerah terpencil dan terluar.

Indonesia dari Sabang di Propinsi DI Aceh sampai Merauke di Propinsi Papua dan dari Pulau Miangas di Kabupaten Talaud-Sulawesi Utara sampai Pulau Rote di Kabupaten Rote Ndao-Nusa Tenggara Timur tahun ini sudah akan  terkoneksi secara laut dan udara.

Pertanyaannya, apakah ketika konektivitas antar pulau di seluruh Indonesia sudah terhubung dapat menjamin bahwa harga-harga komoditi dan jasa turun serta rakyatnya akan langsung sejahtera? Tentu saja tidak, karena masih banyak faktor lain yang juga harus diupayakan oleh Kementrian/Lembaga terkait lain dan Pemerintah Daerah setempat. Namun keberadaan pelabuhan laut/sungai dan bandara dapat menjadi modal awal peningkatan ekonomi untuk menuju kesejahteraan rakyat daerah pinggiran dan terluar Indonesia.

Pemerintah Daerah harus mampu mengembangkan berbagai sumber daya ekonomi potensial setempat, termasuk sumber daya alam beserta industri pengolahannya supaya ada nilai tambah, industri pariwisata, industri perikanan dsb. Daerah Papua, Maluku, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi dll mempunyai begitu banyak potensi ekonomi di atas yang belum tergarap dengan baik, terutama industri Pariwisata. Tugas Pemerintah Daerah untuk mengembangkannya, supaya bandara dan pelabuhan ramai.

Sebagai contoh Pelabuhan Ogoamas dan Bungku di Sulawesi Tengah, Pelabuhan Wasior di Papua Barat,  Pelabuhan Matutuang di Sulawesi Utara, Pelabuhan Atapupu di NTT dsb sudah siap digunakan. Namun pelabuhan tersebut akan tidak bermanfaat untuk publik ketika daerah-daerah tersebut minim kegiatan ekonominya. Akibatnya perawatan pelabuhan tersebut akan membebani terus APBN, seperti yang selama ini terjadi.

Dari sekitar 1.220 pelabuhan, ada 112 pelabuhan yang dimiliki dan dikelola oleh BUMN (PT Pelindo). Selebihnya dibiayai dan dikembangkan oleh dana APBN porsi Kementerian Perhubungan (Kemenhub). Sedangkan dari 237 Bandara, 26 bandara dikelola oleh PT Angkasa Pura I dan II, 1 bandara oleh Pemerintah Otorita Batam dan 20 bandara  dikelola dan dikembangkan oleh Pemerintah Daerah masing-masing. Sisanya oleh Kemenhub dengan dana APBN.

Jika melihat komposisi pengelolaan,  maka porsi Pemerintah masih besar. Artinya jika bandara dan pelabuhan tersebut sepi, maka Pemerintah harus menganggarkan banyak dana untuk mensubsidi biaya operasi ratusan bandara maupun ribuan pelabuhan. Dulu Pemerintah mendorong supaya swasta ataupun BUMN yang membangun, namun ternyata pola tersebut gagal. Swasta dan/atau BUMN akan membangun jika menguntungkan. Dampaknya infrastruktur pelabuhan dan bandara, khususnya di daerah terpencil dan terluar,  tidak terbangun.

Langkah-Langkah yang Harus Segera Diambil Pemerintah

Pertama, untuk mempercepat pembangunan pelabuhan dan bandara di daerah pinggiran dan terluar, yang kegiatan ekonominya belum berkembang, memang harus dilakukan oleh Pemerintah Pusat menggunakan dana APBN, bukan oleh swasta/BUMN/BUMD. Ini memang tugas dan kewajiban Negara.

Meskipun di daerah pinggiran dan terluar, tetapi kualitas bangunan bandara dan pelabuhan harus memenuhi standar keselamatan dan kenyamanan sesuai dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku. Kualitas bandara atau pelabuhan yang dibangun oleh APBN minimal harus sama dengan bandara dan pelabuhan yang dibangun oleh BUMN/BUMD/swasta dan sudah dilakukan.

Kedua, supaya anggaran Pemerintah tidak berdarah-darah dan infrastruktur tidak hancur seperti dulu, maka beberapa bandara dan pelabuhan yang dibangun dengan dana APBN harus diubah pengelolaannya dari Unit Penyelenggara Bandar Udara (UPBU) dan Unit Penyelenggara  Pelabuhan (UPP) menjadi Badan Pelayanan Umum (BLU), minimal ada 1 UPBU atau 1 UPP di setiap regional. Saat ini proses perubahan sedang diajukan Kementerian Perhubungan kepada Kementrian Keuangan.

Ketiga, supaya ekonomi Indonesia tumbuh minimal 7% per tahun ke depan, maka sektor-sektor industri, pariwisata, pertanian, pertambangan dll di beberapa daerah pinggiran dan terluar harus mulai ditata oleh masing-masing Pemerintah Daerah dengan super cepat, supaya  konektivitas yang sudah terbangun dengan menggunakan dana APBN bisa mensejahterakan rakyat yang sebelumnya terisolir.

Berbagai kebijakan juga sudah di deregulasi, meskipun kadang harus melanggar dasar-dasar pembuatan kebijakan di UU No. 12/2011, tetapi sektor ekonomi belum terlihat tumbuh, bahkan merosot. Sudah ratusan negara bebas visa masuk ke Indonesia, perizinan kapal pesiar juga sudah dipermudah, infrastruktur jalan dan kereta api terus ditambah, insentif investasi melalui paket kebijakan terus diberikan, namun tetap saja belum mengangkat pertumbuhan ekonomi Indonesia. Terbukti Q1 tahun 2016 masih di bawah 5%. Hambatannya masih klasik, persoalan izin dan tanah.

Bulan madu pemerintah dengan rakyat dan politisi sudah selesai, ada baiknya Menteri Perekonomian segera bekerja keras supaya di Q2 dan seterusnya, ekonomi Indonesia tumbuh mendekati 6%. Bisa? Ya harus bisa.

*) AGUS PAMBAGIO adalah adalah Pemerhati Kebijakan Publik dan Perlindungan Konsumen. (nwk/nwk)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads