Dalam perspektif kebudayaan, apa yang terjadi di atas panggung semacam joged adalah realitas palsu. Faktanya, politisi yang joged di atas panggung, misalnya, dalam realitas kesehariannya bukanlah tukang, apalagi pakar berjoged. Mereka mungkin malah tidak pernah berjoged. Sementara sebuah motto lebih sering berubah menjadi jargon. Faktanya, sejauh ini motto "Unpad Ngahiji" tidak bisa membuat alumni Unpad menyatu. Alih-alih bersatu, hingga hari ini persoalan pemilu IKA tersebut tak terselesaikan.
Padahal, permasalahan yang muncul dalam pemilihan IKA Unpad sebenarnya simpel dan karena itu mudah diselesaikan. Seperti yang saya kemukakan sebelumnya di sini (18/04/16), masalah itu dapat diselesaikan jika Mubes bertindak tegas menganulirΒ sisa kartu suara dan mengesahkan suara yang telah dihitung sesuai DPTβbukan menyisakan sebagaimana tertulis di berita acara.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
menimbulkan aroma politik. Oleh karena itu, sebagai akademisi, saya mengusulkan penyelesaian yangβbagi politisi mungkin bisa dibilang naΓ―fβagar ketiga kandidat menolak keputusan Mubes dengan mengakui saja perolehan suara yang telah dihitung sesuai DPT. Selebihnya anggap saja suara siluman.
Sebagai organisasi anak kandung akademik, IKA harus berusaha dengan berbagai cara menolak kepentingan politik yang datang dengan berbagai cara juga. Ini juga sekaligus sebagai pembuktian bahwa IKA adalah organisasi pengabdian seperti disinyalir Hilman. Bahwa para kandidat hanya ingin mengabdi. Lain tidak.
Harus dipahami bahwa usulan tersebut tidak dalam tendensi berpihak kepada salah satu kandidat. Siapapun pemenang perolehan suara, dialah yang berhak menjadi ketua. Jika YC pemenangnya, misalnya, usulan tersebut juga tetap berlaku, demikian juga jika Dolly. Namun, karena hal itu juga tidak dilakukan, saya menafsir bahwa pemilihan IKA Unpad memang sarat dengan kepentingan politik. Jika mau jujur, tanda-tanda ke arah demikian sebenarnya bukan hanya terletak pada lebihnya kartu suara dan keputusan mubes yang bias, melainkan juga pada beberapa manuver ketika mubes berlangsung dan sesaat menjelang pemilu. Pagi-pagi sebelum pemilihan, misalnya, saya dan banyak teman lain menerima pesan singkat (sms) dari pengirim bertagar "bangga menjadi alumni Unpad".
Tidak ada permintaan memilih kandidat tertentu pada sms-blast tersebut, tapi tagar itu adalah milik salah seorang kandidat. Bagi saya, yang alumni pituin Unpad, tindakan semacam itu tidak sehat (Saya tidak mengenal satu orang pun tim sukses kandidat bertagar tersebut. Nomor telepon seluler hanya saya berikan kepada panitia untuk kepentingan pendaftaran). Meminjam sekali lagi ungkapan Hilman, cara-cara demikian bukanlah gaya anak Unpad. Siapapun dan dari pihak manapun pengirim sms tersebut sejatinya tidak bisa ditolelir. Ia telah melecehkan martabat almamater.
Saya katakan demikian karena selama menjadi mahasiswa saya juga aktivis, mulai dari himpunan di tingkat jurusan hingga Senat mahasiswa (nama saat itu) di tingkat universitas. Selepas lulus, saya pun selalu datang pada acara pemilihan ketua IKA.
Dengan pertimbangan demikian, catatan saya mengenai peristiwa seputar pemilihan Ketua IKA tempo hari itu bukanlah penghinaan terhadap almamater sebagaimana dituduhkan Hilman, melainkan otokritik. Tidak mungkin saya melecehkan diri sendiri. Tapi, sebagai seorang akademisi, saya tidak boleh berpura-pura, saya harus mengatakan apa yang saya ketahui dan menginterpretasi sesuai disiplin ilmu saya. Bagi akademisi, hemat saya, kritik adalah sebuah cara mencintai.
Terakhir, saya mendengar beberapa usulan agar masalah ini diatasi dengan cara membagikan jabatan penting IKA kepada tiga kandidat. Hal ini, katanya, sesuai dengan motto "Unpad ngahiji". Saya tidak sepakat dengan usulan ini. Bagi saya, hal itu adalah sikap kepura-puraan yang lain. Serahkan saja struktur dan manajemen kepengurusan kepada kandidat yang memenangi perolehan suara. Ngahiji bukan berarti harus bersatu, kecuali jika Anda mau menafsirkannya secara harafiah sebagai istilah formal bahasa. Tapi, jika tafsirnya begitu, saya yakin IKA Unpad kembali akan menjadi organisasi formalistik belaka. Seperti hologram: tampak tapi tidak ada!
*) Acep Iwan Saidi, pemikir kebudayaan, tak bertagar (dra/dra)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini