Mungkin buat sebagian besar publik, respon Ahok ini tak mengagetkan. Salah satu tipikal kepemimpinan Ahok memang cenderung lugas, terbuka, dan tak mempedulikan gaya berkomunikasi. Berkali-kali dalam berbagai kesempatan Ahok menggunakan diksi yang tak biasa muncul dari pejabat pada umumnya. Perdebatan gaya kepemimpinan Ahok ini akhirnya meluas di publik seakan-akan membelah publik pada dua sisi berhadapan.
Yang mendukung Ahok mengatakan, Ahok terbukti membawa perubahan pada kualitas pelayanan publik di DKI. Dengan segala kerumitan, korupsi, dan kultur birokrasi Jakarta yang buruk, kepemimpinan ala Ahok justru tepat. Di sisi lain yang menolak mengatakan, gaya kepemimpinan dan komunikasi Ahok tak pantas sebagai kepala pemerintahan yang harus melayani semua warga dan strata sosial dengan baik.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Transformasi Komunikasi Publik
Setidaknya dalam 5 tahun terakhir, kita disuguhi fenomena baru yang mengubah cara publik berinteraksi dengan organisasi baik korporasi maupun pemerintah. Internet hampir mencapai puncak terbaiknya dalam menghubungkan para pihak. Blog, mikro blog seperti Twitter, juga Facebook dan aplikasi media sosial lainnya menjadi gelombang baru yang mengubah arah dan gaya komunikasi publik.
Pemimpin organisasi akhirnya harus menyesuaikan cara pandangnya atas obyek-obyek kepemimpinannya. Paling tidak ada dua hal yang mendasari perlunya penyesuaian ini. Pertama, adalah publik (konsumen) semakin mudah mencari informasi atas apa yang sedang terjadi. Kedua, menguatnya kesadaran dan gerakan kolektif merespons kebijakan yang mempengaruhi ruang publik. Situasi ini membuat komunikasi searah menjadi semakin tak relevan.
Ruang publik bukan lagi lorong sempit searah, tetapi ruang terbuka tempat saling bersahut gagasan. Organisasi harus terus menerus menangkap gagasan dan merespons dengan menempatkan diri pada kepentingan kelompok-kelompok terdampak. Pemaksaan gagasan oleh organisasi berisiko hilangnya dukungan. Publik dan konsumen terus bergerak mencari pemimpin, organisasi, dan produk yang mau mendengar dan mengerti apa yang mereka inginkan.
Mantra Baru: Empati
"Tempatkanlah konsumen bukan hanya sebagai orang yang akan membeli layananmu, tetapi seseorang yang berharap dunia menjadi tempat yang baik untuk tinggal di dalamnya. Apa yang Anda lakukan untuk menunjukkan bahwa Anda peduli?" ( Philip Kotler, 2014)
Philip Kotler menekankan pentingnya kepedulian dalam melayani konsumen. Konsumen dapat diartikan dalam skala yang lebih luas bagi organisasi sebagai publik. Publik dengan bantuan berbagai saluran komunikasi terus ingin didengar aspirasinya. Bukan hanya sekedar didengar, lebih jauh dari itu mereka ingin mendapat respons yang menunjukkan kepedulian atas masalah yang mereka hadapi.
Apa yang dituliskan oleh Philip Kotler ini sejatinya adalah dorongan untuk berempati, yaitu kemampuan untuk merasakan atau menempatkan diri dalam posisi orang lain. Kemampuan berempati menjadi penting untuk dimiliki para pemimpin agar dukungan publik tidak bergeser. Empati menjadi mantra baru untuk terus bertahan di era serba interaktif ini.
Menolak mememenuhi aspirasi kelompok terdampak, bahkan menolak sekedar mendengarkan aspirasinya tentu berisiko bagi organisasi. Pemimpin yang tak berempati bisa menimbulkan persepsi negatif bagi organisasinya. Publik sering mengidentifikasinya sebagai organisasi yang pragmatis. Hanya mau mendengar ketika aspirasi datang dari kelompok yang berpotensi menguntungkan dan sebaliknya menolak jika kelompok yang datang berbeda pendapat atau tak membawa keuntungan.
Apa yang ditunjukkan Gubernur Ahok kepada perwakilan nelayan di Balai Kota tentu tak lagi tepat di era sekarang. Akan lebih baik jika Gubernur Ahok meluangkan waktu untuk menerima dan mendengarkan aspirasi mereka. Penting bagi pemerintah DKI untuk mengetahui dampak terhadap reklamasi untuk para nelayan. Jika reklamasi tidak bisa dibatalkan maka dialog mungkin bisa menghasilkan solusi untuk membantu nelayan menyelamatkan pekerjaan dan kehidupan mereka.
Apa yang dilakukan Volvo bisa menjadi contoh. Sebagai merk mobil yang terkenal dengan keamanan untuk pengemudinya, Volvo mempelopori produk pelapis cat yang bisa digunakan untuk berbagai jenis material. Pelapis cat yang terang ini tidak mengubah warna, tetapi membuatnya menyala di saat gelap.
Volvo ingin keamanan berkendara bukan hanya untuk pengendara mobil semata tetapi juga untuk semua pengguna jalan, pejalan kaki, pengendara sepeda, dll. Mereka menciptakan produk yang dinamai LifePaint. LifePaint merupakan contoh bahwa organisasi perlu memiliki empati bahkan kepada kelompok yang tak berhubungan dengan mereka dan memberinya keuntungan secara langsung.
*) Sumantri Suwarno adalah Penikmat Isu-Isu Publik, Ketua Bidang EKonomi PP GP Ansor (nwk/nwk)











































