Apa Kabar Program Ketahanan Energi Pangan dan Air Indonesia?
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Catatan Agus Pambagio

Apa Kabar Program Ketahanan Energi Pangan dan Air Indonesia?

Senin, 18 Apr 2016 11:07 WIB
Agus Pambagio
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Apa Kabar Program Ketahanan Energi Pangan dan Air Indonesia?
Foto: Ari Saputra
Jakarta - Sudah hampir dua bulan ini ranah media konvensional dan sosial dipenuhi oleh berita-berita atau celotehan-celotehan yang semakin lama semakin melelahkan dan menyesatkan publik secara umum, misalnya semua hal yang terkait dengan napas dan langkah Ahok, lalu semua yang terkait dengan Panama Papers, dan persoalan pergantian anggota Kabinet atau reshuffle.

Perdebatan antara yang pendukung atau supporters  dengan pembenci atau haters Ahok berjalan selama 24 jam dan menyiksa memori gadget hingga tengah malam dan rupanya terus berlanjut hingga subuh dan matahari terbit. Melalui medsos banyak muncul analis/pengamat baru, baik yang asbun (asal bunyi) atau muncul dengan data-data yang entah dari mana asalnya.

Euforia keterbukaan informasi ternyata cukup membuat keinginan publik tentang persoalan hukum tata negara sampai politik dan pribadi pengambil keputusan tak terbendung. Ranah publik, ranah pribadi dan ranah hukum sudah bercampur. Persoalannya apakah keterbukaan telanjang bulat ini membuat kepentingan publik menjadi lebih baik dan terakomodasi oleh negara dan keberadaan negara menjadi lebh kuat di publik? Belum tentu.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kehirukpikukan  di atas, melupakan beberapa isu penting yang terkait langsung dengan keberlangsungan bangsa ini ke depan, seperti program ketahanan pangan, ketahanan energi dan ketahanan air yang sudah sangat kritis di Indonesia. Bisa dibayangkan jika 15 tahun ke depan publik kesulitan memperoleh ketiga komoditi tersebut, apa yang terjadi?

Pemerintahan ini sudah berjalan hampir 2 tahun, adakah upaya publik memperdebatkan langkah-langkah Pemerintah terkait tiga hal ini di medsos maupun media konvensional ?

Strategi Pemerintah Dalam Penanganan Energi, Pangan dan Air

Dari sisi pangan, strategi pangan masih  belum jelas. Pertama, dari sisi kebijakan, belum ada sinkronisasi kebijakan antara Kementrian/Lembaga. Sebagai contoh, kebijakan tentang pengembangan sawah/padi. Bagaimana kaitannya dengan strategi kebijakan lahan dan  pencetakan sawah/kebun di Kementerian Agraria/BadanPertanahan Nasional serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan?

Kedua,  bagaimana kaitan kebijakan pangan di Kementerian Pertanian dengan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat? Apakah pencetakan sawah baru lokasinya berdekatan dengan lokasi waduk yang ada atau lokasi pembangunan waduk baru?
 
Ketiga, terkait dengan pengembangan dan penyediaan bibit, apakah kebijakan di Kementerian Pertanian inline dengan kebijakan pengadaan pupuk di Kementerian Perindustrian dan Kementerian Perdagangan, terkait dengan rantai distribusi pupuk dan bibit unggul yang padat makelar atau rent seekers? Tanpa simplifikasi suplai pupuk dan bibit, jangan diharapkan ketersediaan pangan akan terpenuhi.

Demikian pula dari sisi energi menga  lami kendala yang sama. Sampai hari ini masih belum jelas cetak biru (blue print) energi Pemerintah. Sumber energi primer di Indonesia masih mengandalkan pada migas, sisanya pada batubara, dan energi baru terbarukan (EBT) seperti angin dan bio energi. Produksi minyak Indonesia hanya sebesar rata-rata 840 ribu barel/hari dan produksi gas bumi sekitar 8.201 mmbtu/hari, sementara kebutuhan migas domestik lebih dari 2 x produksi. Jadi bisa dibayangkan besarnya devisa yang harus dibelanjakan untuk mengimpor migas.

Sementara untuk panas bumi masih menemui kendala cukup pelik terkait dengan fungsi tanah saat ini, misalnya terkait dengan kawasan hutan lindung atau kawasan tanah adat dan sebagainya. Kebijakan Pemerintah belum bisa secara tuntas memayungi sumber daya alam ini untuk di eksplorasi lebih lanjut, seperti yang dilakukan oleh Pemerintah Selandia Baru di Rotorua.

Sedangkan untuk bio diesel, kebijakan Pemerintah lumayan maju. Melalui Peraturan Presiden No. 24 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden No.61/ 2015 Tentang Penghimpunan dan Penggunaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit, sebagian crude palm oil (CPO) harus dialokasikan sebagai bio diesel untuk menutup defisit bio diesel. Melalui Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), tahun 2016 target  20% (P 20) komponen bio diesel ada dalam setiap liter solar yang beredar di Indonesia.

Terkait dengan cetak biru air minum, baik untuk sumber daya air (SDA) maupun sistem penyediaan air minum (SPAM), Pemerintah masih belum jelas. Paska dibatalkannya UU No. 7 Tahun 2004 Tentang SDA oleh Mahkamah Konstitusi tahun lalu, Pemerintah (Kementrian PUPR) telah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 121 Tahun 2015 Tentang SDA dan PP No. 122 Tahun 2015 Tentang SPAM.

Pada PP No. 121/2015 tidak ada persoalan serius, namun pada PP No. 122/2015, muncul persoalan serius, yaitu tidak diperkenankannya investor asing melakukan investasi atau berbisnis di SPAM, kecuali hanya di hilir (pipa transmisi dari unit pengolahan air ke pelanggan). Jika investor asing dilarang berinvestasi pada SPAM, apakah Pemerintah sanggup membangun infrastruktur air minum secara masif ? Untuk wilayah DKI Jakarta saja dibutuhkan biaya sekitar Rp 20 Triliun untuk pembangunan jaringan pipa dari sumber air hingga ke pelanggan.

Nah, ternyata memang Pemerintah belum serius menata dan merencanakan kedepan 3 komoditi terpenting bagi kelangsungan hidup bangsa ini. Tanpa pangan, energi dan air yang cukup; bangsa ini bisa perang saudara berebut mendapatkannya.

Langkah yang Harus Segera Diambil Pemerintah

Dari sisa waktu sekitar 2 tahun lagi (karena satu tahun terakhir Pemerintah pasti akan disibukan dengan kegiatan politik terkait Pemilu dan Pilpres 2019), pemerintahan di bawah pimpinan Presiden Jokowi harus segera menangani persoalan ketiga komoditi tersebut tanpa campur tangan para rentenir atau makelar.

Untuk itu Pemerintah perlu segera membuat peraturan perundang undangan yang dibutuhkan supaya ketika cetak biru  energi, pangan dan air selesai bisa langsung diimplementasikan. Kalau ada yang kurang bisa dilengkapi dengan menerbitkan Peraturan Menteri saja.

Untuk energi, pastikan penggunaan EBT menjadi target utama dan untuk mengurangi tekanan dunia terhadap sawit Indonesia, sementara hentikan perluasan lahan tetapi lakukan intensifikasi supaya bisa didapat hasil yang berlipat tanpa harus merusak hutan. Kemudian kembangkan bio energi baru selain dari sawit, misalnya kemiri sunan, gas metan dari sampah dan kotoran hewan dan sebagainya.

Untuk masalah pangan pastikan pengembangan tanaman pangan lokasinya  disesuaikan dengan sifat tananam dan keterjangkauan bibit unggul, pupuk, rantai distribusi dan irigasi. Jangan kembangkan tanaman pangan di lokasi antah berantah yang supra strukturnya minim.

Untuk masalah air bersih, pastikan swasta (lokal dan asing) diberi kesempatan membangun infrastruktur air bersih karena investasinya sangat besar, kecuali negara mempunyai anggaran yang cukup. Melarang investor asing berinvestasi di sektor non Daftar Negatif Investasi (DNI) melanggar UU No. 25 Tahun 2007. Target MDG 100% publik mempunyai akses ke air bersih pada tahun 2020 harus menjadi target serius dari Pemerintah.  

*) AGUS PAMBAGIO adalah adalah Pemerhati Kebijakan Publik dan Perlindungan Konsumen. (nwk/nwk)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads