Niat Jahat (Mens Rea) dalam Kasus Suap ke Sanusi
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Niat Jahat (Mens Rea) dalam Kasus Suap ke Sanusi

Kamis, 14 Apr 2016 10:41 WIB
Reda Manthovani
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Foto: (dokumentasi pribadi)
Jakarta - Pembangunan 17 pulau buatan di Teluk Jakarta dilakukan oleh beberapa perusahaan pengembang. Para perusahaan itu membutuhkan payung hukum melalui Peraturan Daerah (Perda) tentang Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Provinsi Jakarta dan tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Jakarta Utara.

Pembahasan Rancangan Peraturan Daerah tersebut belum selesai pembahasannya di DPRD DKI. Namun ternyata dibalik belum selesainya pembahasan Raperda tersebut KPK berhasil mengungkap konspirasi ditangkapnya Ketua Komisi V DPRD DKI Jakarta Muhammad Sanusi pada Kamis (31/3) yang sedang disuap oleh Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land (Ariesman Widjaja) dan Trinanda Prihantoro selaku Personal Assistant.

Praktik suap yang melibatkan anggota DPRD DKI Jakarta dengan pengembang tersebut diduga dilatar belakangi tarik-ulur permintaan Pemerintah Daerah DKI yang mematok 15 persen dari nilai jual obyek pajak (NJOP) bila tanah reklamasi itu laku dipasarkan oleh pengembang. Infonya menurut pemberitaan dalam pembahasan raperda tersebut beberapa anggota DPRD DKI Jakarta menyetujui kewajiban pengembang hanya 5% dan Sanusi disuap diduga untuk dapat meloloskan klausula turunnya kewajiban pengembang dari 15% menjadi 5%.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Melihat fakta kejadian kasus tersebut, menimbulkan pertanyaan apakah penyuapan tersebut untuk kepentingan individu atau untuk kepentingan korporasi (Perusahaan-perusahaan)? Apakah dalam sistem hukum Indonesia ada pertanggungjawaban pidana oleh korporasi?
Β 
Simpson mengutip pendapat John Braithwaite, mendefinisikan kejahatan korporasi sebagai "conduct of a corporation, or employee acting on behalf of a corporation, which is proscribed and punishable by law". Adapun Black's Law Dictionary menyebutkan kejahatan korporasi atau corporate crime adalah any criminal offense commited by and hence chargeable to a corporation because of activities of its officers or employee (e.g. price fixing, toxic waste dumping), often referred to as "white collar crime".

Dengan demikian apabila perusahaan bisa mendapatkan keuntungan dari keahlian unsur manusiawi, maka perusahaan juga harus menanggung beban yang timbul dari kejahatan yang dilakukan manusia tersebut, bukan hanya atas dasar bahwa manusia bertindak bagi perusahaan (yang mengaitkan vicarious liability) , namun sekaligus manusia tersebut bertindak sebagai perusahaan.

Di Indonesia, pengaturan korporasi sebagai subjek hukum sudah mulai dikenal dalam:
Β 
Pasal 15 ayat (1) UU No.7 Drt Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi;
Pasal 17 ayat (1) UU No 11 PNPS Tahun 1963 tentang Tindak Pidana Subversi;
Pasal 49 Tahun 1976 tentang Narkotika;
Undang-Undang No.9 Tahun 1976 tentang Tindak Pidana Narkotika;
Pasal 1 butir 13 dan Pasal 59 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika;
Pasal 1 butir 19 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika;
Pasal 1 angka 1 dan Pasal 20 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
Pasal 116 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup;
Pasal 1 butir 20 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika;
Pasal 1 angka 10 dan 14 serta Pasal 6 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Pemidanaan terhadap perusahaan atau korporasi yang melakukan tindak pidana pernah terjadi di Indonesia yaitu dalam kasus korupsi pengelolaan tanah Pasar Induk Antasari di Banjarmasin olehΒ  PT Giri Jaladhi Wana dan berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Banjarmasin Nomor: 812/Pid.Sus/2010/PN.Bjm yang diperkuat dengan putusan Pengadilan Tinggi Kalimantan Selatan Nomor 04/PID.SUS/201 1/PT.BJM perusahaan tersebut dijatuhi pidana berupa pembubaran perusahaan dan denda.

Berdasarkan peraturan perundang-undangan di atas dan contoh putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap maka menurut hemat penulis dalam kasus suap terhadap Sanusi sebaiknya tidak hanya difokuskan kepada individu-individu penyuap melainkan diperluas kepada Korporasi oleh karena Mens Rea atau niat jahat yang terlihat dalam kasus tersebut ada di pihak Korporasi. Niat jahat dalam kasus ini yaitu adanya kepentingan untuk memasukkan pasal tertentu dalam rancangan Perda Reklamasi agar kewajiban pengembang (korporasi) turun dari 15% menjadi 5%.

*) Dr. REDA MANTHOVANI, SH, LLM adalah Dosen atau pengajarΒ  hukum pidana pada Fakultas Hukum Universitas Pancasila.

(nwk/nwk)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads