Reshuffle Kabinet dan Pembalikan Arah
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Reshuffle Kabinet dan Pembalikan Arah

Kamis, 07 Apr 2016 18:31 WIB
Sumantri Suwarno
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Reshuffle Kabinet dan Pembalikan Arah
Foto: (dokumentasi pribadi)
Jakarta - Angin reshuffle kembali berhembus kencang hari-hari ini. Sejak pemerintahan Jokowi-JK melewati masa 1 tahun, sebenarnya isu reshuffle terus muncul  hingga berpuncak dalam 2 minggu terakhir.

Banyak yang meyakini reshuffle segera terjadi, karena Presiden Jokowi dianggap telah memiliki rekaman kinerja dari kabinetnya. Pembahasan APBN-P yang akan dimulai awal Mei juga menjadi momentum yang tepat bagi para menteri baru memulai kerjanya.

Reshuffle kabinet sebenarnya peristiwa yang biasa dari sudut pandang manajemen organisasi. Ini sama nilainya dengan mutasi pejabat di korporasi, baik di level staf, manajer, hingga pucuk pimpinan perusahaan. Secara umum kocok ulang pejabat ini ditujukan untuk memastikan komposisi baru akan semakin efektif dalam mendukung tercapainya tujuan organisasi.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tetapi berbeda dengan restrukturisasi dan penataan di korporasi, reshuffle kabinet memberi gaung kegaduhan yang lebih besar. Ini dikarenakan masuknya kalkulasi politik yang selalu mewarnai penunjukan menteri-menteri baru. Berbeda dengan praktek di korporasi yang acuan kinerjanya relatif lebih jelas, reshuffle kabinet sering membuat kita terkaget-kaget dengan figur-figur baru yang menjabat.

Hak prerogatif Presiden dan akomodasi politik adalah jawaban yang sering dikemukakan atas munculnya figur-figur menteri yang kurang jelas rekam jejaknya. Kondisi ini dapat dipahami dari sudut pandang bahwa pemerintahan yang kondusif mensyaratkan adanya hubungan baik Presiden dengan partai-partai politik. Menerima perwakilan partai dalam kabinet dianggap sebagai bentuk akomodasi politik yang harus dilakukan Presiden.

Profesional atau Politisi

Karena sifatnya yang erat dengan politik, setiap kali akan terjadi pergantian kabinet selalu muncul perdebatan mengenai latar belakang dari para calon menteri. Muncul dua kategorisasi yang seolah-olah berlawanan yaitu profesional dan politisi. Profesional diartikan sebagai calon yang membangun pengalaman dan jenjang karir di dunia kerja, sementara politisi adalah calon yang banyak beraktivitas dan berlatar belakang politik.

Ada yang beranggapan Presiden lebih baik menunjuk menteri-menteri yang berlatar belakang profesional karena kompetensi sangat diperlukan untuk memimpin organisasi kementrian. Sementara kubu pro politisi beranggapan menteri adalah jabatan politik sehingga kemampuan komunikasi politik lebih diperlukan daripada sekedar kemampuan teknis.

Dari perdebatan ini seolah-olah tak muncul alternatif ketiga yaitu profesional yang memiliki kemampuan komunikasi (politik) yang bagus, atau politisi yang memiliki pemahaman teknis sektoral yang mumpuni. Menteri sebagai pemimpin tertinggi kementerian sejatinya mirip dengan pemimpin divisi bisnis dari holding besar bernama pemerintah. Pada level ini selama memiliki kemampuan komunikasi yang baik dan cepat belajar, latar belakang profesional atau politisi tak lagi menjadi penting.

Menghentikan Laju Penurunan

Apapun latar belakang menteri yang ditunjuk, jika memiliki kemampuan interpersonal yang baik sekaligus cepat belajar – akan sangat efektif memperbaiki kinerja kementerian yang dipimpinnya. Dalam waktu hampir 1,5 tahun kepemimpinan Presiden Jokowi dengan mudah kita bisa melihat kementerian-kementerian yang berkinerja baik. Susi Pudjiastuti adalah contoh menteri profesional yang cepat menyesuaikan diri di lingkungan birokrasi dan politik. Khofifah Indar Parawansa di sisi lainnya, adalah menteri politisi yang cepat belajar hal-hal teknis.

Baik Susi Pudjiastuti maupun Khofifah telah secara konsisten mendapatkan penilaian yang baik dari publik dalam berbagai survei yang digelar. Penilaian baik terhadap para menteri ini, tentu sangat membantu penilaian atas keseluruhan kinerja pemerintahan. Di sisi lain, menteri-menteri yang berkinerja buruk pasti juga akan membebani Presiden Jokowi.

Atas fenomena seperti kementerian yang dinilai berkinerja buruk ini, banyak pakar yang merekomendasikan pergantian pucuk pimpinan sebagai salah satu jalan keluar. Di antaranya seperti yang ditulis dalam Jurnal The Executive Vol. 6, No. 3 (Aug., 1992), "Curing Sick Businesses: Changing CEOs in Turnaround Efforts" penulis Gary J. Castrogiovann dkk. Ini terutama ditujukan untuk menghentikan laju penurunan kinerja, sehingga perlu dilakukan pembalikan arah.

Salah satu kisah pergantian CEO yang dianggap sebagai pembalikan arah yang sukses adalah masuknya Lea Iacocca ke Chrysler pada tahun 1978, saat Chrysler mencatatkan kerugian terbesar sepanjang sejarah korporasinya. Setelah melakukan konsolidasi sepanjang tahun 1979, Lea Iacocca berhasil membawa Chrysler kembali mencatatkan keuntungan pada tahun 1982. Kiprah Lea Iacocca di Chrysler ini dikenang sebagai salah satu (turn around) pembalikan arah yang paling fenomenal.

Dukungan Presiden

Penunjukkan dan pergantian pejabat jika dilakukan dengan analisa yang menyeluruh dan menghasilkan pejabat baru yang tepat, akan sangat membantu Presiden Jokowi meningkatkan kinerja pemerintahan. Tetapi kunci terpenting tetaplah berada di tangan Presiden sebagai pemegang hak prerogatif. Dengan kewenangan mutlak mengangkat dan memberhentikan itu, Presiden seharusnya cukup leluasa mengatur relasi antar menteri, sekaligus memberi dukungan penuh sesuai tupoksi para menteri.  

Lea Iacocca mampu secara cepat membenahi Chrysler karena dia mempunyai wewenang penuh melakukan konsolidasi, termasuk membawa beberapa kolega lamanya dari Ford. Dengan wewenangnya yang besar itu pula, Lea melakukan pembersihan beban perusahaan dengan melakukan PHK banyak pekerja, serta menjual divisi Eropa yang merugikan ke Peugeot.

Walaupun praktik pemerintahan secara umum lebih rumit daripada praktik korporasi, tidak ada salahnya Presiden Jokowi menjadikan praktik-praktik korporasi terbaik sebagai acuan. Memilih pejabat terbaik, memberinya dukungan, dan perlindungan politik akan menjadi amunisi yang penting buat para menteri bekerja maksimal. Jika semua sudah diberikan dan ternyata tidak mampu menunjukkan kinerja baik, maka pergantian pejabat adalah sebuah keniscayaan.

*) Sumantri Suwarno adalah Peminat Isu-isu Publik, Ketua Bidang Ekonomi PP GP Ansor (nwk/nwk)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads