Bahkan sesama sopir taksi konvensional pun saling hadang, saling pukul, dan bahkan diwarnai perusakan taksi. Di gambar yang lain, seorang pria paruh baya yang mengenakan jaket sebuah angkutan berbasis aplikasi, berdarah-darah setelah dikeroyok sopir taksi. Tiba-tiba kita melihat keberingasan di sana βsini.
Semua berawal dari demo yang dilakukan oleh PPAD (Paguyuban Pengemudi Angkutan Darat) melanjutkan demo minggu sebelumnya, Senin (14/3). Tuntutan dari para pendemo anggota PPAD ini masih sama dengan demo sebelumnya yaitu menuntut ketegasan pemerintah untuk menindak jasa angkutan berbasis aplikasi yang mereka anggap melanggar regulasi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam beberapa kesempatan naik taksi, saya juga mencoba menanyakan apakah dampak kehadiran jasa angkutan berbasis aplikasi ini benar-benar terasa. Sebagian sopir mengatakan mereka sangat terpukul. Bahkan, beberapa sopir mengatakan mereka sering menghadapi situasi KS (kurang setor), yaitu gagal memenuhi setoran minimal harian.
Ini biasanya untuk sopir yang bekerja dengan sistem setoran. Sementara buat sebagian sopir lain, yang menggunakan sistem komisi, mengeluhkan komisi yang sangat pas-pasan. Sangat jelas untuk dapat diambil kesimpulan, bahwa kehadiran transportasi online ini memukul sebagian besar sopir angkutan konvensional.
Siapa yang Salah?
Dari respon publik atas demo yang berujung bentrok hari ini, sekilas terutama warga Twitter menyuarakan kekecewaan mereka kepada perusahaan taksi dan angkutan darat konvensional. Perusahaan-perusahaan ini dianggap kurang adaptif dan antisipatif terhadap perubahan dan perkembangan tehnologi.
"Demo lagi? Kok kelakuannya cemen? Kalah bersaing lalu ngambek dan menyalahkan semua orang kecuali diri mereka sendiri?", ujar seorang netizen.
Di kesempatan lain Prof Rhenald Khasali atas fenomena aplikasi online yang disebutnya sebagai era sharing economy ini mengatakan, "Saya tidak punya resep khusus bagaimana caranya setiap perusahaan mesti menghadapi perubahan. Intinya jangan menentang. Berdamailah dengan perubahan."
Tapi apakah benar, bahwa perlawanan para pengemudi dan perusahaan angkutan ini semata-mata sebagai bentuk frustasi atas keterlambatan beradaptasi dengan tehnologi? Komisaris PTΒ Blue Bird, TbkΒ Noni Purnomo mengatakan "Kami tidak pernah menyatakan ini pertempuran. Kami sudah punya aplikasi online sejak 2011. Jadi ini bukan persaingan," dalam konferensi pers di kantornya, Jakarta, Selasa 22 Maret 2016.
"Ini lebih kepada kesetaraan bisnis. Banyak sekali aturan yang harus ditaati oleh perusahaan transportasi, dalam mengoperasikan kendaraannya,"ujar Noni lagi.
Ada perbedaan persepsi antara apa yang dibaca publik dengan apa yang disampaikan para pengusaha jasa transportasi ini terkait alasan demo hari ini.Di sisi lain, pemerintah sendiri belum memiliki kesamaan pandangan terkait masalah ini. Departemen Perhubungan telah merekomendasikan pemblokiran aplikasi βaplikasi angkutan online dengan alasan melanggar regulasi di antaranya UU no.22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Sementara menteri Komunikasi dan Informatika, menolak menutupnya.
"Aplikasi online itu suatu keniscayaan. Bagaimanapun akan datang, tidak bisa disetop. Justru harus kita manfaatkan untuk proses yang lebih efisien," kata Rudiantara.
Pemerintahan yang Antisipatif
Apa yang bisa disimpulkan dari tuntutan pendemo, pernyataan pemimpin perusahaan transportasi konvensional, dan dua menteri yang terkait isu angkutan online ini? Salah satu yang terlihat adalah, pemerintah terlambat mengantisipasi masalah yang timbul.
Akibat yang lebih jauh, belum ada tindakan untuk memenuhi aspirasi para pendemo yaitu terciptanya kesetaraan aturan untuk para pelaku bisnis. Bibit-bibit masalah seharusnya sudah terlihat, dari banyaknya protes sejenis di negara-negara lain. Pembatalan pelarangan angkutan online oleh Presiden Jokowi akhir 2015 juga seharusnya dikuti langkah cepat penyelesaiannya.
Sebagai ilustrasi betapa pentingnya kesigapan pemerintah untuk mengatasi konflik 2 kelompok bisnis ini adalah jumlah pekerja yang terlibat di dalamnya. Go-Jek di akhir tahun 2015 mengatakan jumlah pengemudi yang memanfaatkan aplikasinya berjumlah 200 ribu, dan 100 ribu di antaranya berada di Jakarta. Sementara di Blue Bird, hingga akhir 2014 pengemudinya mencapai 36 ribu dengan sebagian besar di Jakarta. Jika digabungkan dengan aplikasi lain, dan taksi lain maka dapat dipastikan ada ratusan ribu pekerja transportasi di jalanan Jakarta setiap harinya.
Jumlah ratusan ribu ini menggambarkan bukan saja tentang besarnya daya dorong ekonomi yang diciptakan, tetapi juga berbahaya jika ada masalah yang tak diselesaikan atas aktivitas mereka. Pemerintah tidak bisa hanya berpendapat seperti Prof Rhenald Khasali saja, yang mementingkan kesiapan melawan perubahan zaman di level korporasi dan pekerja transportasi. Ada sumber daya dan otoritas yang dimiliki pemerintah untuk melakukan hal yang lebih penting, yaitu menciptakan iklim bisnis yang kompetitif sekaligus fair untuk semua pelakunya.
Atas besarnya lapangan kerja yang diciptakan, baik dari penyedia jasa angkutan konvensional maupun online β pemerintah juga harus rajin mendorong perusahaan dan para pengemudi ini untuk bersiap secara serius menghadapi perubahan. Ini bukan semata tentang datangnya era sharing economy yang dieluk-elukan kelas menengah di kota-kota besar karena kenyamanan dan harga yang ditawarkannya. Buat sebagian besar pengemudi, fenomena ini bisa jadi hanya semata urusan pemasukan yang tak cukup lagi untuk setoran sehari.
Moratorium atau Fasilitasi
Setelah kejadian bentrokan hari ini, tentu pemerintah tak bisa lagi mengambil langkah seperti apa yang dilakukan Presiden Jokowi pada akhir 2015 saat membatalkan keputusan Menteri Perhubungan melarang angkutan online. Harus ada langkah tegas dan terukur yang menjawab keluhan para pengusaha dan pengemudi angkutan konvensional, sekaligus menjawab munculnya fenomena sharing economy ini. Penundaan penyelesaian secara menyeluruh dapat memicu gelombang konflik yang lebih luas dan besar.
Ada 2 langkah yang dapat dilakukan pemerintah, yaitu:
Pertama, dalam jangka pendek melakukan moratorium bisnis angkutan online. Tentu cara ini akan menimbulkan dampak yang tidak mudah yaitu gelombang protes dari konsumen sekaligus ratusan ribu pengemudi yang telah menjadikannya sebagai basis pendapatan baru. Tetapi moratorium ini mengirim pesan bagi adanya penegakan hukum bagi seluruh warga masyarakat.
Selama masa moratorium perusahaan angkutan online dibantu untuk dapat memenuhi regulasi yang berlaku. Demi kesetaraan, pemerintah juga bisa memberikan insentif kepada perusahaan-perusahaan bisnis angkutan konvensional yang menerapkan tehnologi agar semakin kompetitif. Setelah masa moratorium dicabut, maka tidak ada lagi pengecualian atas penerapan sanksi bagi pihak yang melanggar regulasi.
Kedua, adalah melakukan perubahan regulasi untuk mengantisipasi maraknya bisnis berbasis online ini. Bukan hanya di bidang transportasi, banyak sektor-sektor bisnis lain seperti perdagangan dengan adanya e-commerce, perbankan yang mulai risau dengan pembayaran digital, hingga pariwisata - bisa mengalami keguncangan ketika regulasi yang ada tak melingkupinya.
Apa yang kita lihat hari ini, bentrokan sesama anak bangsa di jalanan ibu kota β adalah fenomena nyata, kita harus bersiap atau kita akan kebingungan dan saling menyalahkan.
*) Sumantri Suwarno adalah Peminat Isu-isu Publik dan Ketua Bidang Ekonomi PP GP Ansor (nwk/nwk)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini