Selama beberapa hari terakhir ini kehidupan kenegaraan diwarnai munculnya dinamika (atau sebagian menyebutnya sebagai kericuhan) di Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Hal itu terkait perbedaan pandangan mengenai pengesahan perubahan tata tertib DPD utamanya menyangkut pengaturan masa jabatan Pimpinan DPD yang diubah dari 5 tahun menjadi 2,5 tahun.
Tentu disayangkan jika "kericuhan" ini terus berlanjut dan tidak segera ditemukan solusi yang akomodatif bagi semua pihak, mengingat publik sangat menunggu kerja nyata DPD ditengah wacana yang dilontarkan oleh partai politik tertentu untuk meninjau kembali eksistensi DPD dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
Jika ditelisik, kejadian yang menimpa DPD ini setidaknya disebabkan oleh 2 hal yaitu pertama, belum adanya kesatuan model tentang jenis peraturan perundang-undangan yang digunakan untuk mengatur masa jabatan pimpinan lembaga negara, utamanya yang masuk kualifikasi main state organ (Presiden dan Wakil presiden, MPR, DPR, DPD, MA, MK, BPK dan KY). Kedua, akibat ketidaksempurnaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3) yang dibentuk terlalu terburu-buru, kurang cermat dan kental aroma politis.
Pengaturan Masa Jabatan Pimpinan Lembaga Negara
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.
Terkait pengaturan masa jabatan lembaga negara yang berkualifikasi sebagai main state organ jika dilihat dari jenis peraturan perundang-undangan yang mengaturnya, ternyata memiliki 4 varian/model yaitu:

Model Pertama, pengaturan masa jabatan melalui konstitusi yaitu UUD 1945. Masuk kategori ini adalah masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana diatur Pasal 7 yaitu Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.

Model Kedua, pengaturan masa jabatan melalui undang-undang. Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung masuk model ini. Pasal 4 ayat (3) dan ayat (4) UU 8/2011 tentang Perubahan UU 24/2003 tentang MK mengatur Ketua dan Wakil Ketua MK dipilih dari dan oleh anggota hakim konstitusi untuk masa jabatan selama 2,5 tahun dan dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama untuk satu kali masa jabatan.

Sementara untuk MA, UU 5/2004 tentang perubahan atas UU 14/1985 tentang MA mengatur masa jabatan Ketua, Wakil Ketua, dan Ketua Muda MA selama 5 tahun. Namun masa lima tahun ini tidak mutlak karena menurut Pasal 11 huruf b UU 3/2009 tentang Perubahan Kedua atas UU 14/1985 tentang MA disebutkan Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda MA, diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena telah berusia 70 tahun.

Model Ketiga, pengaturan masa jabatan tidak diatur dalam undang-undang tetapi di dalam peraturan internal (peraturan tata tertib termasuk di dalamnya). MPR, DPR, DPD dan KY masuk kategori ini. Dalam UU MD3 tidak ada satu ketentuan yang mengatur secara jelas dan tegas tentang masa jabatan Pimpinan MPR, DPR dan DPD. Begitu juga dalam UU 22/2004 sebagaimana diubah dengan UU 18/2011 tentang KY tidak mengatur masa jabatan Ketua dan Wakil Ketua KY.
Adapun mengenai masa jabatan Pimpinan MPR diatur dalam Pasal 24 Peraturan MPR Nomor 1/2014 tentang Tata Tertib yaitu masa jabatan pimpinan MPR sama dengan masa jabatan keanggotaan MPR (5 tahun). Untuk Pimpinan DPR diatur dalam Pasal 27 Peraturan DPR Nomor 1/2014 tentang Tata Tertib yaitu masa jabatan pimpinan DPR sama dengan masa keanggotaan DPR (5 Tahun). Untuk pimpinan DPD Pasal 66 Peraturan DPD Nomor 1/2014 mengatur masa jabatan Pimpinan DPD sama dengan masa keanggotaan DPD (5 tahun). Sementara untuk KY diatur dalam Peraturan KY Nomor 1/2010 sebagaimana diubah dengan Peraturan KY Nomor 1/2016 tentang Tata Cara Pemilihan Pimpinan KY, yang menyebutkan jabatan Ketua dan Wakil Ketua KY adalah 2,5 tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali hanya untuk 1 kali masa jabatan.
Model Keempat, pengaturan jabatan tidak diatur dalam undang-undang dan juga tidak diatur dalam peraturan internal. Masuk kategori model keempat ini adalah BPK. Undang-Undang Nomor 15/2006 tidak mengatur mengenai masa jabatan ketua dan wakil ketua BPK, sedangkan Peraturan BPK Nomor 1/2009 tentang Tata Cara Pemilihan Ketua dan Wakil Ketua BPK juga tidak mengaturnya. Selama ini dalam prakteknya jabatan Ketua dan Wakil Ketua BPK adalah 5 tahun mengikuti masa jabatan anggota BPK. Meskipun dalam prakteknya masa 5 tahun ini tidak bersifat mutlak karena dapat berakhir lebih cepat apabila telah berusia 67 tahun.
Bom Waktu UU MD3
Ibarat bom waktu, kealpaan pembentuk UU MD3 untuk mengatur (mencantumkan) masa jabatan pimpinan MPR, Pimpinan DPR dan Pimpinan DPD telah mengakibatkan "ledakan keras" yang saat ini tengah menimpa rumah tangga DPD. Seharusnya jika pembentuk UU MD3 waktu itu menggunakan asas kehati-hatian dan kecermatan dalam menyusun UU MD3 maka kericuan yang menimpa DPD saat ini dapat dihindarkan .
MPR, DPR dan DPD adalah salah satu pelaku kekuasaan negara utamanya kekuasaan legislatif (mewakili kepentingan rakyat untuk membentuk peraturan dan mengawasi pelaksanaan peraturan), kedudukan kekuasaan legislatif adalah sederajat dengan kekuasaan eksekutif yang dikepalai oleh Presiden. Tentu sangat menurunkan derajat wibawa lembaga legislatif jika pengaturan masa jabatan Presiden diatur di UUD 1945, sementara untuk masa jabatan Pimpinan MPR, DPR dan DPD hanya diatur dalam peraturan tata tertib (peraturan internal). Seharusnya pengaturan masa jabatan pimpinan MPR, DPR dan DPD paling minimal diatur dalam tingkatan undang-undang.
Jika dibuka kembali memori pembahasan UU MD3, maka terlihat bahwa fokus pembahasan UU MD3 yang mengatur eksistensi dan operasionalisasi 3 lembaga yaitu MPR, DPR, DPD (tentang DPRD telah diatur oleh UU Pemda) pada saat itu lebih banyak memperdebatkan tata cara pengisian pimpinan DPR. Perdebatan yang menyita sebagian besar energi hanya diarahkan untuk mengubah Pasal 84 yaitu pengisian pimpinan DPR yang awalnya diisi dari partai politik berdasarkan urutan perolehan kursi terbanyak di DPR diubah menjadi dipilih dari dan oleh anggota DPR. Akibatnya materi-materi lain menyangkut jangka waktu masa jabatan pimpinan, hubungan pimpinan dengan anggota, pelaksanaan wewenang dan tugas masing-masing lembaga, serta akuntabilitas lembaga kepada publik luput dari kedalaman pembahasan.
Ketidaksempurnaan UU MD3 juga terekam dari data pengujian UU MD3 ke Mahkamah Konstitusi. Jika UU MD3 yang lama yaitu Undang-Undang 27/2009 selama 5 tahun diberlakukan diuji sebanyak 18 kali, maka UU MD3 yang saat ini diberlakukan, hanya dalam jangka waktu 1 tahun sejak diundangkan tercatat telah diuji sebanyak 13 kali ke MK. Terhadap 13 pengujian tersebut 3 permohonan diputuskan dikabulkan oleh MK.
Materi Muatan UU
Dari ke 4 model pengaturan masa jabatan lembaga negara yaitu diatur dalam UUD, diatur dalam undang-undang, tidak diatur di undang-undang tetapi diatur dalam peraturan internal, dan tidak diatur dalam undang-undang dan juga tidak diatur dalam peraturan internal, maka model yang ideal adalah model yang pertama yaitu diatur dalam UUD 1945 dan model kedua diatur dalam undang-undang, mengingat lebih memberikan kepastian hukum terhadap jabatan pimpinan lembaga negara. Sementara model ketiga yaitu tidak diatur di undang-undang tetapi diatur dalam peraturan internal, dan model keempat yaitu tidak diatur dalam undang-undang dan juga tidak diatur dalam peraturan internal sangat rentan menimbulkan gejolak dan kegaduhan dalam hal pimpinan lembaga negara selama menjalankan wewenang dan tugasnya gagal mengelola, menjaga kepercayaan dan menganyomi anggota.
Mengingat hanya cukup dengan mengubah peraturan intenal maka anggota asal memenuhi kuorum minimal (separuh lebih 1 dari total anggota) dapat mengubah masa jabatan pimpinan, hal inilah yang saat ini tengah menimpa DPD. Untuk itu di kemudian hari apabila dilakukan perubahan terhadap undang-undang masing-masing lembaga yang masih menganut model ketiga dan keempat ini yaitu MPR, DPR, DPD, KY dan BPK, maka seharusnya ketentuan masa jabatan pimpinan lembaga harus diatur secara tegas. Namun, selama undang-undang lembaga-lembaga tersebut belum diubah, agar dapat tercipta stabilitas dan mencegah perebutan jabatan pimpinan di tengah jalan maka menuntut adanya jiwa kenegarawaan dari masing-masing anggota dan pimpinan yang menjabat untuk dapat dapat mengelola komunikasi dan ego kepentingan masing-masing secara bijak.
*)Bayu Dwi Anggono
Pengajar Ilmu Perundang-undangan
Direktur Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi (Puskapsi) Fakultas Hukum Universitas Jember (asp/asp)