Hingga saat ini belum diketahui siapa pihak yang bertanggung jawab atas penembakan itu. Tetapi penembakan itu diduga berkaitan erat dengan kelompok Organisasi Papua Merdeka. Dugaan itu cukup masuk akal karena pada Desember tahun lalu, di wilayah yang sama, sekelompok orang bersenjata juga menembak mati tiga orang polisi dan merampas senjatanya. Pembunuhan terhadap aparat keamanan dan pekerja konstruksi di Papua menjadi ironi di tengah upaya Pemerintah Indonesia menyelesaikan 3,985 kilometer jalan Trans Papua untuk percepatan pembangunan di tanah Papua.
Jika dikaji lebih jauh, adanya peningkatan kekerasan terhadap para pekerja dan aparat keamanan tidak terlepas dari semakin gencarnya kampanye publik yang dilakukan oleh berbagai kelompok pro Papua merdeka baik di dalam maupun di luar negeri. Kampanye-kampanye tersebut terus menyulut konflik dan memicu berbagai aksi penembakan. Para aktivis pro kemerdekaan Papua selama ini selalu beralasan bahwa Pemerintah pusat telah melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Papua serta mengabaikan pembangunan di tanah Papua.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pertama, penting untuk dicatat masalah HAM bukanlah substansi dari masalah yang terjadi di Papua saat ini. Harus diakui, terdapat banyak pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pemerintah Soeharto pada zaman Orde Baru, tetapi pasca turunnya pemerintah diktator tersebut pada tahun 1999 dan diiringi dengan penerapan sistem demokrasi dan otonomi khusus di Papua, kasus pelanggaran HAM sudah jauh berkurang.
Memang terdapat dugaan pelanggaran HAM oleh aparat Indonesia yang menewaskan 4 orang warga yang menyerang kantor keamanan di Paniai tahun 2014. Terjadi kesalahan penanganan konflik pada saat terjadi amuk massa sehingga terjadi penembakan. Tetapi, banyak pihak yang tidak tahu, kasus itu bermula karena perkelahian antar pemuda, bukan atas dasar isu pembangunan di Papua.
Sebaliknya, jika melihat data kekerasan yang dilakukan oleh gerakan separatis, selama kurun waktu 5 tahun dari 2009-2014 terdapat 166 kasus kekerasan yang melibatkan Organisasi Papua Merdeka. Pada tahun 2012, tiga orang polisi termasuk Kapolsek tewas dibunuh di Kabupaten Lanny Jaya. Pada tahun 2013, mobil ambulans yang tengah membawa pasien ditembaki di Puncak Jaya sehingga menyebabkan satu orang relawan PMI meninggal.
Dua orang polisi dibunuh di Lanny Jaya pada tahun 2014 saat sedang mengunjungi warga untuk program pemberdayaan masyarakat. Dua orang anggota kepolisian tewas di Puncak Jaya pada saat sedang membantu mengangkat kursi dan meja di gereja GKII pada tahun 2014. Tahun 2015, tiga polisi tewas di Sinak. Kemudian yang terbaru, 4 pekerja tewas ditembak saat melakukan pengerjaan jalan di Papua .
Kondisi ini seharusnya membuka mata berbagai pihak khususnya aktivis pro Papua merdeka dan berbagai pihak asing yang seringkali mengatasnamakan HAM, agar menempatkan isu kekerasan di Papua secara proporsional. Selama ini isu pelanggaran HAM selalu disuarakan sebagai dasar untuk mendukung keinginan mereka agar Papua lepas dari NKRI.
Namun demikian, para penuntut kemerdekaan tersebut memilih diam ketika kekerasan dilakukan terhadap aparat kepolisian di Papua. Padahal di antara para aparat kepolisian juga terdapat masyarakat Papua di mana nyawa mereka sama halnya dengan nyawa masyarakat sipil.
Kedua, terkait tuduhan kelompok Pro Papua merdeka tentang abainya Pemerintah Pusat terhadap pembangunan di Papua. Harus diakui, faktor ini memang masih menjadi perdebatan. Apalagi di tengah polemik perpanjangan izin usaha Freeport dan macetnya berbagai program pembangunan di Papua. Tapi, banyak yang lupa bahwa semenjak diberlakukannya sistem desentralisasi dan otonomi khusus, jantung ekonomi masyarakat diserahkan kepada Pemerintah Daerah, DPRD Papua dan MRP.
Artinya institusi lokal memegang peranan penting dalam upaya percepatan pembangunan di Papua. Persoalannya adalah, kendatipun Pemerintah Pusat mengucurkan anggaran besar untuk pembangunan di Papua, apabila Pemerintah Daerah tidak mampu mengelolanya dengan baik, upaya pembangunan itu hanya akan sia-sia.
Tahun 2016 ini dana otonomi khusus yang diberikan ke Papua mencapai Rp 5 triliun. Dana ini naik dibandingkan tahun lalu. Namun demikian, masalahnya selalu saja terjadi penyalahgunaan terhadap dana otonomi khusus tersebut. Pada tahun 2015, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Provinsi Papua mencatat terdapat 33 kasus korupsi yang menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 49 miliar. Sementara pada tahun 2014, BPKP Papua menemukan 30 kasus penyalahgunaan anggaran di seluruh kabupaten dengan kerugian negara mencapai Rp 49, 5 miliar. Kasus itu hanya kasus yang terungkap ke permukaan dan belum termasuk dugaan penyelewengan dana Otsus yang berkedok aset Bank.
Dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir, setidaknya 8 Bupati ditetapkan sebagai tersangka korupsi di Papua yaitu Bupati Kabupaten Waropen (Yesaya Buinai), Bupati Biak (Yesaya Sombuk), Bupati Mimika (Ausilius You), Bupati Maybrat (Bernard Sagrim), Wali Kota Jayapura (Benur Tommy Mano), Bupati Nabire (Isayas Douw), Bupati Sarmi (Mesak Manibor), Bupati Lanny Jaya (John Way). Di samping itu, Gubernur Papua periode 2006-2011, Barnabas Suebu juga sudah dijebloskan ke penjara untuk kasus korupsi yang merugikan negara puluhan miliar.
Rentetan kasus korupsi yang melibatkan begitu banyak Kepala Daerah menggambarkan kegagalan Pembangunan di Papua dalam arti yang sebenarnya. Terjadi penyalahgunaan kekuasaan di tingkat lokal sehingga limpahan dana otonomi khusus tidak sampai ke masyarakat.
Hal lain yang juga patut untuk dicatat adalah lemahnya sumber daya manusia pemerintah daerah. Masalah ini tidak terlepas dari meningkatnya jumlah kabupaten dan kota di Papua secara dramatis semenjak era reformasi pada tahun 2009, dari 11 Kabupaten/kota pada tahun 1999 menjadi 38 pada tahun 2009. Sehingga sebagian besar pegawai Pemerintah Daerah di Papua relatif masih baru dan minim pengalaman dan kemampuan.
Di samping itu, kesulitan pembangunan di Papua juga terkait dengan kontur wilayah di Papua yang sangat sulit. Biaya pembangunan jalan saja mencapai Rp6 - 10 miliar per kilomenter. Ditambah lagi populasi penduduk Papua yang relatif sedikit dan tersebar secara terpisah di area-area terpencil dan pegunungan sehingga mempersulit akses pembangunan jalan dan infrastruktur lainnya seperti fasilitas air bersih, pendidikan dan kesehatan.
Analisa dan data tersebut menunjukkan bahwa pada kenyataannya permasalahan di Papua bukan lagi masalah pelanggaran HAM seperti yang seringkali ditudingkan oleh banyak pihak. Apa yang terjadi di Papua jauh lebih kompleks. Lebih penting lagi, persoalan yang paling substansial di Papua ada di tingkat grassroot dan level Pemerintah Daerah.
Oleh karena itu, sungguh aneh apabila aktivis pro kemerdekaan Papua masih saja menyuarakan isu kekerasan HAM tetapi tidak paham tentang masalah yang sebenarnya terjadi di Papua. Karena saat ini terdapat beberapa pendukung Papua merdeka yang masih saja melakukan kampanye kemerdekaan Papua, baik itu dilakukan oleh masyarakat internasional maupun warga asli Papua itu sendiri seperti Beni Wenda, di Inggris, ataupun Amatus Douw di Vanuatu melalui organisasi the United Liberation Movement for West Papua.
Daripada mereka terus bersuara dan memicu konflik dan polemik di Papua, akan jauh lebih bijak apabila mereka datang dan pulang ke Papua serta ikut bersama-sama dengan masyarakat dan Pemerintah Daerah membangun Papua. Papua jelas sangat membutuhkan sumber daya manusia mumpuni untuk melakukan pendampingan dan pengawasan pembangunan di Papua.
Sejatinya, pihak yang paling dirugikan dari penembakan yang dilakukan oleh gerakan separatis adalah masyarakat Papua itu sendiri. Biaya pembangunan proyek di Papua akan semakin membengkak karena adanya risiko keamanan. Imbasnya, uang otsus triliunan rupiah hanya akan terbuang percuma.
Oleh karena itu, Papua butuh perdamaian dan pembangunan. Semua pihak harus bersatu mempercepat pembangunan di Papua. Sepanjang kepentingan kelompok masih terus dikedepankan dan masih saja ada yang memperkeruh kondisi keamanan di Papua, yang terjadi hanyalah pertumpahan darah dan sayang sekali justru mengorbankan masyarakat Papua itu sendiri.
*) Media Wahyudi Askar adalah pemerhati sosial dan kontributor dalam buku "Meretas Harapan di Kampung Petatas, Papua". (nwk/nwk)











































