Mungkinkah RI Jadi Broker Bawah Tanah dalam Isu Semenanjung Korea?
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Mungkinkah RI Jadi Broker Bawah Tanah dalam Isu Semenanjung Korea?

Kamis, 18 Feb 2016 14:02 WIB
Tudiono
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Foto: (dokumentasi pribadi)
Jakarta - Pasca uji coba nuklir ke-4 dan peluncuran rudal jarak jauh Korea Utara, ketegangan Semenanjung Korea semakin meningkat. Uji coba nuklir dan rudal tersebut, selain melanggar berbagai resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa Bangsa (DK PBB) merupakan ancaman serius terhadap stabilitas Semenanjung Korea, kawasan Asia Pasifik dan dunia. Oleh karena itu banyak menuai kecaman.

Salah satu yang paling terusik dengan uji coba tersebut adalah Korea Selatan, negara tetangga terdekat dan pernah mengalami pahitnya perang Korea 1951-1953 yang memporakporandakan kedua bangsa. Beberapa saat setelah peluncuran, pada pagi hari, 7Β  Februari 2016, Presiden Park Geun-hye telah menggelar pertemuan Dewan Keamanan Nasional ROK (Republik of Korea/Korea Selatan -red) untuk membahasΒ langkah-langkah yang akan diambil oleh ROK.

Presiden Park mengutuk peluncuran rudal jarak jauh Korea Utara yang disebutnya sebagai tindakan provokasi ekstrim untuk mempertahankan rezim. Selain itu Presiden Park mendesak DK PBB untuk segera menjatuhkan sanksi yang berat kepada Korea Utara atas tindakan provokasi tersebut.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Aksi Korea Utara telah memancing Korea Selatan untuk memperkuat pertahanan nasional. Di antaranya adalah dengan penempatan tambahan sistem rudal Patriot AS Bateri D 1-43 Unit Artileri Pertahanan Udara yang berada di Fort Bliss Texas. Aset ini memperkuat 2 (dua) rudal Patriot yang telah ada di Osan Air Base yakni 96 PAC-2 dan PAC-3. Rudal Patriot dengan kecepatan tinggi tersebut dapat mencapai jarak ketinggian 40 km dan dapat meng-intercept rudal jarak pendek Korea Utara KN-01, KN-02 dan rudal jarak jauh Scud dan Rodong yang diarahkan ke Korea Selatan.

Selain itu, Korea Selatan merencanakan untuk menggelar aset pertahanan rudal Terminal High Altitude Area Defense. Task Force mengenai THAAD akan segera dibentuk dalam bulan ini yang antara lain ditugasi untuk membahas secara lebih rinci penempatan THAAD seperti lokasi dan pembiayaan. Salah satu alternatif lokasinya adalah Pyeongtaek - sekitar 70 km sebelah tenggara Seoul.

Saat ini militer AS sedang dalam proses relokasi ke tempat tersebut. Biaya penempatan akan ditentukan berdasarkan Status of Force Agreement. Sebagai informasi, harga satu bateri THAAD adalah USD 835 juta. Sesuai perjanjian tersebut, ROK akan menanggung biaya penyediaan tempat dan infrastruktur sementara AS menanggung biaya deployment THAAD, operasional dan pemeliharaan.

Tidak hanya sanksi dan peningkatan kesiapan pertahanan, Pemerintah Korea Selatan juga telah menutup kompleks industri Kaesong yang menjadi simbol terakhir rekonsiliasi kedua Korea.Β  Penutupan kompleks industri yang terletak di kota perbatasan Korea Utara tersebut menjadi langkah "unprecedented" selama 16 tahun sejak dicanangkannya kerjasama ekonomi kedua negara pada pertemuan "summit" pertama Republik Korea - Korea Utara pada 2000.

Langkah tersebut diyakini sebagai cara yang efektif untuk "menghantam" rezim Korea Utara mengingat pentingnya kompleks industri tersebut bagi Korea Utara di mana pekerja Korea Utara memperoleh penghasilan lebih dari USD 100 juta per tahun dari industri dimaksud. Penutupan Kaesong diharapkan akan mengirimkan pesan kepada masyarakat internasional tentang keseriusan Republik Korea dalam mendorong penjatuhan sanksi yang berat kepada Korea Utara.

Penutupan komplek industri bersama Kaesong menuai reaksi Korea Utara yang melakukan pengusiran warga Korea Selatan dari kawasan tersebut. Selanjutnya Pemerintah Republik Korea memutus transmisi listrik dan pasokan air ke komplek industri Kaesong di Korea Utara dan Korea Utara memutus jalur komunikasi militer dan faksimil LO Barat yg merupakan jalur komunikasi terakhir yg tersisa antara Korea Utara - Korea Selatan.

Sanksi yang Berat Bukan Solusi Final

Aksi dan reaksi kedua belah pihak nampak akan terus berlanjut dan menambah panasnya situasi di Semenanjung Korea, bahkan pasca penjatuhan sanksi yang berat sekalipun baik dari DK PBB, ROK, AS dan lain-lain. Langkah pemberian sanksi yang berat memang penting dan sewajarnya, namun nampaknya tidak akan menyelesaikan akar permasalahan terkait upaya menjaga stabilitas keamanan dan perdamaian Semenanjung Korea dan kawasan.

Korea Utara telah lama terisolasi, dan sudah terbiasa dengan situasi demikian. Sanksi berat berupa total blokade perdagangan dan pengisolasian nampaknya tidak akan efektif, dan hal ini nampaknya hanya akan menambah kesengsaraan rakyat. Dalam sistem sosialis otoriter, pelawanan rakyat terhadap rezim yang disebabkan embargo luar kemungkinannya akan sangat kecil, yang terjadi justru mungkin sebaliknya semakin solid dukungan terhadap posisi nasional menanggapi ancaman bersama dari luar. Korea Utara perlu di-engaged dan bukan dikucilkan.

Sementara itu penjatuhan sanksi yang lebih berat misalnya berupa sanksi militer akan unthinkable.

Pertama, China dan Rusia tentunya akan menentang keras rencana tersebut karena implikasi yang ditimbulkan akan sangat luas ke kawasan, di samping sikap mereka yang tidak senang pengerahan kekuatan militer AS, khususnya aset sistem pertahanan rudal canggih THAAD yang menjadi ancaman tersendiri bagi kedua negara tersebut.

Kedua, Korea Utara saat ini telah berhasil dengan pengembangan persenjataan nuklir dan pengembangan rudal jarak jarak. Sanksi militer yang mengancam kedaulatan dan pemerintahan negara tersebut akan memaksa mereka untuk kemungkinan mempergunakan senjata pamungkas tersebut sebagai "the last resort".

Indonesia sebagai Honest Broker

Six Party Talks yang menjadi salah satu mekanisme untuk mencari penyelesaian damai tentang program nuklir Korea Utara sejak 2008 tidak menunjukkan kemajuan yang berarti. 6 (Enam) peserta yaitu China, Korea Utara, AS, Korea Selatan, Rusia, dan Jepang nampak semakin mengerucut ke dalam kubu yang berlawanan karena pola pendekatan dan kepentingan yang sangat berbeda.

Pada 22 Januari 2016 Presiden Park Geun Hye sempat mengusulkan pertemuan 5 (lima) negara tanpa mengikutsertakan Korea Utara. Usulan ini pun tidak berkibar karena sebagian pihak tidak setuju.

Indonesia memiliki kepentingan yang sangat besar terhadap stabilitas keamanan dan perdamaian kawasan. Dengan semakin canggihnya teknologi persenjataan baik dari pihak Korea Utara maupun Korea Selatan dan AS yang mengerahkan asset pertahanan strategis seperti rudal Patriot dan THAAD, dampak konflik akan sangat masif dan menjadi ancaman langsung terhadap Indonesia. Untuk itu, Indonesia perlu memainkan peran aktif dalam mengupayakan agar Semenanjung Korea dan kawasan Asia Pasifik tidak menjadi medan pertarungan negara-negara besar dan kemungkinan konflik militer.

Dalam kerangka tersebut, kiranya sudah saatnya Indonesia dapat mempertimbangkan mengutus special envoy untuk perdamaian kawasan guna melakukan pendekatan-pendekatan ke seluruh pihak yang terkait. Dengan memperhatikan kedekatan hubungan Indonesia dengan Korea Utara dan Korea Selatan, peran katalisator Indonesia diharapkan dapat mendorong pihak-pihak dalam Six Party Talks untuk membangun kembali trust yang telah pudar dan memulai kembali dialog guna mencari solusi yang realistis dan dapat diterima.

Dalam kaitan ini, Indonesia mungkin dapat mengusulkan Six Party Talks Plus UN sehingga lebih obyektif dan dapat memberikan kenyamanan. Peran PBB sebagai organisasi internasional yang solid, kredibel dan diterima oleh seluruh negara di dunia akan sangat relevan dan diyakini mampu memberikan jaminan kepercayaan dan menghilangkan trust deficit di antara peserta, lebih-lebih mempertimbangkan isu tersebut tidak hanya menyangkut Semenanjung Korea, tetapi juga kawasan dan dunia.

*) Tudiono adalah pemerhati hubungan internasional, saat ini tinggal di Seoul, Korsel.
Halaman 2 dari 1
(nwk/nwk)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads