Namun, hingga saat ini belum ada undang-undang yang mengatur spesifik tentang jabatan hakim. Sehingga, pola pengangkatan hakim, jenjang karir, hak keuangan dan fasilitas yang melekat masih menggunakan standar pegawai negeri sipil (PNS). Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2012, misalnya, ditetapkan hakim memperoleh tunjangan jabatan, namun gaji pokoknya masih merujuk pada standar PNS.
Karena itu, kerja legislasi DPR yang sedang membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) Jabatan Hakim menjadi angin surga bagi kalangan hakim dan masyarakat luas. RUU Jabatan Hakim sangat urgen diprioritaskan untuk memperkuat kedudukan hakim dengan segala turunannya. Kerangka dasar RUU Jabatan Hakim hendaknya berpedoman kepada nomenklatur hakim sebagai pejabat negara. Harmonisasi berbagai aturan tentang hakim yang masih kontradiktif juga penting dilakukan di Badan Legislasi (Baleg) DPR agar tak terjadi tumpang tindih.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saat ini krisis hakim tengah mengancam. Sudah hampir lima tahun proses rekrutmen tidak dilakukan karena pembahasan peralihan status hakim sebagai pejabat negara berikut turunannya belum menghasilkan kesepakatan. Sejak putusan Mahkamah Konstitusi menetapkan Mahkamah Agung sebagai otoritas tunggal lembaga yang merekrut hakim tingkat pertama namun MA dan Kemenpan-RB masih terus berupaya mendesain mekanisme supaya rencana penerimaan hakim segera terlaksana.
Persoalan utamanya dalam paket UU Peradilan yang dikeluarkan tahun 2009 telah meniadakan syarat pengangkatan hakim harus PNS. Aturan ini berimplikasi pada banyak hal khususnya status kepegawaian dan mekanisme penggajian. Selama ini perekrutan calon hakim karirnya dimulai dari status calon pegawai negeri sipil/calon hakim. Sehingga selama menjalani pendidikan calon hakim masih bisa menerima gaji dari negara. Ketika calon hakim dinyatakan lulus pendidikan maka akan diberhentikan dengan hormat sebagai PNS untuk diangkat sebagai hakim.
Berbeda jika calon hakim langsung ditetapkan sebagai pejabat negara maka hal ini berdampak kepada banyak hal, termasuk di antaranya negara akan mengalami kerugianΒ apabila ada calon hakim yang tidak lulus pendidikan. Di samping itu, terjadi problem apakah calon hakim yang tidak lulus tersebut secara otomatis bisa dijadikan sebagai PNS di lingkungan MA. Jika demikian pilihannya maka MA dan Kemenpan-RB perlu terus koordinasi agar perekrutan hakim tidak terganjal.
Kini yang menjadi harapan utama adalah ketika diangkat sebagai hakim maka atribut kepegawaian, penetapan jenjang kepangkatan, penggajian, protokoler, serta fasilitas lainnya harus menyesuaikan dengan UU Jabatan Hakim. Jenjang kepangkatan yang selama ini masih mengikuti pola PNS dan merujuk kepada Peraturan Pemerintah Nomor 41 tahun 2002 Tentang Kenaikan Jabatan dan Pangkat Hakim harus pula ditinjau kembali.
Pembinaan
Β Β Β Β Β Β
Persoalan lain yang perlu diatur dalam RUU Jabatan Hakim adalah masalah pembinaan hakim. Pembinaan meliputi penempatan, peningkatan kapasitas, penilaian kinerja, mutasi, dan promosi. Penempatan hakim di samping memperhatikan kebutuhan lembaga juga harus bermuara pada kesejahteraan hakim. Sejak awal KY telah memberikan masukan agar pola mutasi mempertimbangkan aspek keluarga. KY menyatakan sejumlah hakim yang menjadi pesakitan di Majelis Kehormatan Hakim (MKH) salah satu faktornya karena berselingkuh.
Hakim di Indonesia pasti tak mengiginkan karirnya harus berakhir dengan cacat di hadapan persidangan etik MKH. Apalagi, untuk meraih jabatan hakim harus melewati persaingan ketat dan proses tidak mudah. Bahkan, kini jabatan hakim menjadi primadona bagi lulusan perguruan tinggi hukum karena dianggap profesi mentereng dan hak keuangannya lebih terjamin. Karenanya, pola mutasi perlu memiliki keterhubungan nilai dengan upaya menjaga martabat dan keluhuran hakim.
Pengawasan hakim juga penting diatur. Sebab, selama ini standar pengawasan telah memasuki ranah teknis yudisial dan cenderung mengais kesalahan hakim. Sedangkan upaya peventif dan proaktif untuk mencegah pelanggaran etik masih minim. Hakim menangis saat baca putusan dijadikan persoalan. Hakim memutus perkara tidak sesuai opini publik diperiksa. Seolah-olah peradilan opini jauh lebih tinggi kedudukannya daripada putusan hakim.
Dalam tatanan hukum, otoritas non-yudisial tidak bisa mengintervensi apalagi merevisi putusan pengadilan. Ketidakpuasan terhadap putusan hakim hanya bisa dilakukan melalui upaya hukum banding, kasasi atau PK. Karena itu, RUU Jabatan Hakim perlu tegas memuat ketentuan bahwa dalam menjaga keluhuran dan martabat hakim terbatas pada dimensi non-teknis seperti dugaan menerima suap, bertemu pihak berperkara dan pelanggaran etik lainnya.
Β Β Β
Dalam dunia hukum dikenal asas "res judicata pro varitate habetur" yang maknanya setiap putusan hakim harus dianggap benar dan dihormati. Bentuk penghormatan terhadap putusan hakim adalah menerimanya atau jika tidak puas tempuh upaya hukum. Bukan mencelanya hingga putusan hakim jadi bulan-bulanan publik.
Tapi kini norma universal ini mulai jarang ditaati. Putusan hakim dibawa ke meja perdebatan publik yang tidak jelas ujungnya. Akhirnya putusan hakim jadi bahan olok-olokan yang muaranya jabatan hakim juga jadi bahan olok-olokan. Padahal kerja profesional hakim tidak bisa dilakukan sembarang orang. Hakim adalah manusia pilihan yang bekerja bersama nurani dalam kesunyian dan putusannya akan diminta pertanggungjawaban di hadapan Tuhan. Berijtihad benar dapat dua pahala, keliru pun dapat satu pahala.
Kalaupun masyarakat getir atas fakta adanya hakim yang melanggar etik dan melakukan perbuatan pidana seperti menerima suap, maka hal itu jangan digeneralisir. Sebab masih banyak hakim yang punya nurani, bangun tengah malam meminta petunjuk kepada Tuhan agar dalam memutus tidak keliru, dan menyadari di sebelah kanan dan kirinya ada malaikat yang mengawasi. Sosok seperti mereka ini tidak banyak diekspos media sehingga yang muncul ke permukaan hanyalah hakim nakal. Sehingga seolah dikesankan mental semua hakim sudah bobrok. Celaka dua belas!!!
Minim Perlindungan
Β Β Β Β Β Β
Problem selanjutnya yang perlu diakomodir adalah perlindungan hakim yang sangat minim di samping pengaturan sanksi tegas perbuatan penghinaan pengadilan. Seperti menyerang imparsialitas dan tidak menaati perintah pengadilan, berperilaku tercela dan tidak pantas, menghalang-halangi jalannya penyelenggaraan pengadilan, serta penghinaan yang dilakukan dengan publikasi atau pemberitahuan. Β
Penjelasan umum butir 4 UU Nomor 14/1985 yang telah diubah dengan UU Nomor 3/2009 tentang Mahkamah Agung menegaskan bahwa untuk lebih menjamin terciptanya suasana yang baik bagi penyelenggaraan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, perlu dibuat suatu undang-undang yang mengatur penindakan terhadap perbuatan, tingkah laku, sikap dan atau ucapan yang dapat merendahkan dan merongrong kewibawaan, martabat, dan kehormatan badan peradilan.
Beleid tentang contempt of courtΒ selama ini masih menyebar di beberapa bab dalam KUHP. Karena itu, DPR hendaknya memprioritaskan pengesahan RUU jabatan hakim danΒ RUU contempt of courtΒ karena sifatnya genting dan memaksa.
Hak Keuangan
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 94 Tahun 2012 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim yang berada di bawah Mahkamah Agung (MA) sejatinya mengatur banyak hal terkait hak keuangan hakim. Beberapa di antaranya mencakup gaji pokok, tunjangan jabatan, rumah negara, fasilitas transportasi, jaminan kesehatan, jaminan keamanan, biaya perjalanan dinas, kedudukan protokol, penghasilan pensiun dan tunjangan lain.
Namun ada beberapa amanat pasal yang hingga sekarang belum sepenuhnya bisa ditunaikan. Pasal 5 dan 6, misalnya, disebutkan bahwa hakim diberikan hak menempati rumah negara dan menggunakan fasilitas transportasi selama menjalankan tugasnya. Dalam hal rumah negara dan atau sarana transportasi belum tersedia, hakim dapat diberikan tunjangan perumahan dan transportasi sesuai kemampuan keuangan negara. Penggunaan frasa "dapat" mengandung penafsiran sebagai kata tidak bergegas. Apalagi digantungkan pada suatu keadaan, yakni jika negara mampu, tentu realisasinya bersinggungan erat dengan politik keuangan. Makanya hingga saat ini hak-hak keuangan hakim belum sepenuhnya ditunaikan oleh negara.
Namun, di balik peningkatan kesejahteraan hakim harus ada konsekuensi tanggungjawab profesionalisme yang harus pula ditunaikan oleh hakim. Kenaikan penghasilan terselip sejuta harapan dari seluruh masyarakat Indonesia agar keadilan benar-benar ditegakkan. Hakim adalah simbol puncak kearifan, luasnya pengetahuan dan penjaga keadilan.
Sehingga, bhakti dan kerja profesionalnya sangat dibutuhkan untuk membumikan keadilan dalam dunia nyata. Tuntutan untuk bersikap adil dan independen senyatanya bukan disandarkan pada besar-kecilnya penghasilan. Sejak hakim disumpah atas nama Tuhan maka sejak itu pula tugas dan kewajibannya sebagai hakim melekat. Sifat adil, arif, bijaksana, rendahΒ hati, bertanggungjawab, dan sebagainya harus melekat dalam karakter/struktur mentalitasnya.
Akhirul kalam, RUU Jabatan Hakim adalah hajat semua lapisan masyarakat yang harus dikawal dinamika pembahasannya. Hal ini bertujuan agar hakim semakin memiliki kedudukan yang kuat dalam menjalankan tugas-tugas peradilan dengan tetap berpegang teguh pada nilai etik dan menjunjung tinggi keluhuran martabat hakim.
*) Achmad Fauzi adalah Hakim Pengadilan Agama Tarakan, Kalimantan Utara
Halaman 2 dari 1











































