Detak jantung Merpati Airlines berdegup lagi terungkap dari jawaban Jonan, Menteri Perhubungan. Dia bertemu dengan Menteri Keuangan Bambang Brojonegoro di Kemenko Perekonomian, Darmin Nasution. Dan keperluannya 'soal privatisasi' Merpati (Kamis, 28/1/2016).
Maskapai penerbangan Merpati ini bak namanya, burung merpati. Hanya tiga fungsi burung itu dalam interaksinya dengan manusia. Pertama sebagai tukang antar surat kala transportasi tak secanggih kini. Kedua, sebagai burung aduan. Dan ketiga, disembelih sebagai santapan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tak dinyana karakter burung itu juga hampir sama dengan perlakuan terhadap BUMN yang bernama Merpati. Itu terjadi berpuluh-puluh tahun lalu, dan tidak berubah hingga hari ini. Merpati hanya sebagai pembuka jalan, perintis rute penerbangan, usai itu dilupakan. Di-grounded.
Saya merupakan salah satu saksi sejarah maskapai ini. Sebagai wartawan The Archipelago, culture & tourism magazine, saya sering terbang dengan Merpati. Soalnya majalah ini menekankan laporan petualangan, keindahan alam, budaya dan suku-suku terasing. Hampir saban bulan saya terbang dengan Merpati. Mempercepat waktu, di kala transportasi darat dan laut pun sulit.
Puluhan tahun lalu, negeri ini hanya mengenal penerbangan Garuda dan Merpati. Proyeksi keduanya jelas. Garuda diarahkan untuk penerbangan ke luar negeri, sedang Merpati yang akan mengarungi angkasa Nusantara. Itu yang menjadikan Merpati besar dengan rute gemuk.
Andalan Merpati dulu pesawat F-26 hingga F-29. Tapi karena penerbangan ke luar negeri belum padat, untuk sementara Garuda difungsikan untuk melayani 12 rute subur di dalam negeri. Dan itu tidak mengganggu Merpati yang sudah menjadi raja di luar 12 rute itu.
Hubungan Merpati dan Garuda kala itu juga mesra. Tidak seperti sebelum bubar, yang tidak seperti bersaudara. Kemesraan itu terlihat dari penerbangan saya dari Manado ke Surabaya. Dari Manado naik Merpati ditransitkan di Makassar, dan dari kota ini ke Surabaya naik Garuda. Saya sangat bangga karena baru kali itu naik pesawat Airbus 200 yang kala itu paling megah.
Merpati adalah yang babat alas (membuka) jalur-jalur baru, utamanya di Indonesia timur. Merpati yang memulai penerbangan Dili-Darwin dengan kapasitas seat terisi hingga di atas 75%. Itu meningkat dari satu kali penerbangan menjadi dua kali saban hari. Merpati pula yang merintis penerbangan Jakarta-Singapura sampai dua kali penerbangan. Dan tiap penerbangan perdana itu saya selalu diajak.
Di tengah semaraknya perusahaan ini menimba rezeki, nasib rasanya memang belum berpihak pada Merpati. Maskapai penerbangan swasta, Sempati lahir. Rute basah disusuri, Dili-Darwin dimasuki, juga Jakarta-Singapura. Akibatnya Silk-Air Singapura pun punya jatah masuk Indonesia. Itu pangkal penerbangan asing masuk Indonesia. Pangkal rumitnya 'bisnis udara' di negeri ini.
Saat pasar bebas dibebaskan 'sebebas-bebasnya', Merpati kehilangan pasar. Itu karena armadanya kalah dengan penerbangan swasta, dan dia ditinggal 'saudaranya', Garuda. 'Si Biru' yang dalam perjanjian awal akan mengarungi penerbangan luar negeri dan 'menyerahkan' 12 rute basah ke Merpati ternyata tidak dilakukan. Malah saat melakukan diversifikasi usaha tidak menggandeng Merpati, tapi melahirkan Citylink.
Inilah sulitnya punya anak kembar yang tidak mendapat kasih sayang secara adil dari orangtuanya. Garuda dimanjakan sejak awal. Merpati dikuyo-kuyo mulai dari kandungan. Nah ketika Merpati rugi dan terbelit persoalan, gonta-ganti dirut terjadi, ribut dan saling sikut pun tidak terelakkan. Kini semua itu tinggal dongeng. Merpati sudah amarahum (almarhum).
Di tengah kondisi maskapai itu sudah tiada, sekarang kembali namanya diutak-atik lagi. Kalau ingin menghidupkan Merpati lagi, dana besar memang harus digelontorkan agar bisa bersaing. Dan harusnya Merpati dihidupkan. Itu karena sejarahnya.
Tak layak maskapai yang bersejarah itu dianggap sebagai burung dara, hanya disembelih untuk disantap. Dijadikan tumbal setelah fungsinya sebagai perintis usai, dan dayanya lemah sebagai burung aduan.
Ya, pemerintah perlu bijak memutuskan. Perlu adanya revitalisasi kebijakan. Jika Merpati tidak 'di-Garuda-kan' memang sulit di tengah pasar yang sudah mengglobal. Atau bila dimungkinkan perlu regulasi yang bersifat protektif. Toh negara lain juga melakukan itu.
Kita berharap, moga-moga Merpati hidup lagi, untuk menambah keperkasaan negeri ini di bisnis prestisius ini.
*) Djoko Suud Sukahar adalah pemerhati sosial budaya, tinggal di Jakarta.
Halaman 2 dari 1
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini