Kesepakatan 40 RUU tersebut merupakan hasil perasan dari 132 RUU yang diajukan dalam Prolegnas 2016 yang terbagi 87 RUU merupakan inisiatif DPR, 27 RUU usulan Presiden dan 18 RUU dari DPD. Atas pertimbangan kesamaan substansi dan pertimbangan waktu maka dari banyaknya usulan RUU tersebut dipilih sebanyak 40 RUU sebagai prioritas.
Ritual tahunan menetapkan RUU prioritas dengan jumlah besar ini menunjukkan gejala negara hukum sedang bergeser menjadi negara UU yaitu negara yang memaknai dan mengagung-agungkan paham bahwa UU adalah obat mujarab untuk menyelesaikan segala ketidakberesan politik, ekonomi, sosial dan budaya yang terjadi di tengah masyarakat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tahun 2015 boleh dikatakan tahun terburuk DPR era pascareformasi dalam melaksanakan kuasa mengatur yang dijamin oleh UUD 1945. Dari 39 RUU yang ada dalam Prioritas Prolegnas 2015, DPR hanya mampu membentuk 3 UU yaitu UU Perubahan UU Pilkada, UU Perubahan UU Pemerintahan Daerah, dan UU Penjaminan. Pengalaman ini menunjukkan bahwa membentuk UU yang dimulai dari tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan dan pengundangan bukanlah pekerjaan yang mudah karena membutuhkan waktu panjang, kecermatan dan kehati-hatian mengingat menyangkut kepentingan rakyat banyak.
Permasalahannya, DPR sebagai pemegang kuasa membentuk UU (pouvoir legislatif) menyakini bahwa semua aspek/permasalahan dapat diatur oleh UU tanpa melihat apakah materi muatan (het onderwerp) yang akan diatur tersebut layak diangkat atau diatur oleh UU. Padahal telah menjadi pengetahuan umum bahwa peraturan perundang-undangan sebagai suatu sistem memiliki ciri khas tersusun berjenjang dan teratur membentuk hierraki, yang atas jenjang dan hierarki tersebut maka di bawah konstitusi (UUD) sebagai hukum dasar terbagi dalam dua kelompok besar yaitu UU yang dibentuk oleh lembaga legislatif dan peraturan perundang-undangan di bawah UU (peraturan pelaksanaan) untuk menjalankan atau mengatur bekerjanya UU yang pembentukannya menjadi kuasa lembaga eksekutif (pouvoir reglementaire).
Terhadap 40 RUU yang telah ditetapkan dapat dibagi menjadi 4 golongan yaitu RUU yang menjadi inisiatif DPR, inisiatif DPD, inisiatif Presiden, dan inisiatif bersama. Penetapan Prolegnas 2016 ini juga diwarnai dimasukannya sejumlah RUU (sekitar 32 RUU) dalam daftar perubahan Prolegnas RUU Prioritas 2016 ( sebagai RUU yang bersifat cadangan).
Masuknya 40 RUU dan 32 RUU cadangan untuk diselesaikan dalam periode 1 tahun menunjukkan bahwa penentuan RUU Prolegnas belum didasarkan pada parameter utama yaitu apakah materi muatan yang akan dibentuk menjadi UU tersebut benar-benar merupakan materi muatan yang khas dari UU.
Untuk dapat mengetahui isi kandungan atau subtansi yang dapat dimuat dalam UU (materi khas UU), pembentuk UU bisa merujuk kepada kesepakatan para ahli yang walaupun belum secara keseluruhan, namun sempat diadopsi dalam UU 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (sebelum diganti UU 12/2011). Materi muatan UU di Indonesia jika mendasarkan pada pendapat A Hamid S. Attamimi (1990) yang disesuaikan dengan UUD 1945 setelah perubahan adalah: tegas-tegas diperintahkan oleh UUD, dinyatakan oleh suatu UU untuk diatur dengan UU, mengatur hak-hak (asasi) manusia, mengatur hak dan kewajiban warga negara, mengatur lebih lanjut ketentuan UUD, mengatur pembagian kekuasaan negara, mengatur organisasi pokok lembaga-lembaga tinggi negara, mengatur pembagian wilayah/daerah negara; mengatur siapa warga negara dan cara memperoleh/kehilangan kewarganegaraan, pengaturan yang dapat membebani harta kekayaan warga negara, dan pengaturan mengenai pengeluaran-pengeluaran oleh penyelenggara negara (keuangan Negara).
Perincian butir-butir materi muatan UU tersebut memiliki fungsi sebagai 'pena-pena penguji (testpenen)' untuk menguji apakah suatu masalah yang akan diatur termasuk materi muatan UU atau tidak. Apabila ternyata masalah tersebut tidak sesuai dengan butir-butir materi muatan UU, maka mengaturnya harus dengan peraturan perundang-undangan lainnya di bawah UU.
Menguji RUU Prolegnas 2016

Tanpa mengesampingkan urgensi urusan dan kontribusi profesi yang akan menjadi subyek pengaturan dalam sejumlah RUU di Prolegnas 2016 terhadap upaya membangun bangsa, namun jika menggunakan butir-butir materi muatan sebagaimana diutarakan para ahli maka sejumlah RUU dalam Prolegnas 2016 (termasuk cadangannya) tidak seharusnya diatur dengan UU. Beberapa RUU yang seharusnya dapat diatur dengan peraturan perundang-undangan di bawah UU di antaranya adalah:
1. RUU tentang Tabungan Perumahan Rakyat
2. RUU tentang Kewirausahaan Nasional
3. RUU tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam
4. RUU tentang Sistem Perbukuan
5. RUU tentang Arsitek
6. RUU tentang Kebidanan
7. RUU tentang Peningkatan Pendapatan Asli Daerah
8. RUU tentang Kekarantinaan Kesehatan
9. RUU Perkelapasawitan
10. RUU Kedaulatan Sandang/Pertekstilan
11. RUU Bahan Kimia
12. RUU Penyelenggaraan Pemerintah di Wilayah Kepulauan
13. RUU Metrologi Legal.
Dalam mengajukan usulan RUU, Pemrakarsa pastilah akan menyatakan bahwa RUU yang diajukannya sangatlah urgen dan tidak jarang menggunakan dalil karena materinya mengandung muatan ketentuan sanksi pidana (padahal tidak semua perbuatan melanggar perintah atau larangan haruslah diancam dengan sanksi pidana) maka harus diatur dengan UU. Hal ini merupakan ketidaktepatan asas, karena pada prinsipnya hukum pidana merupakan ketentuan yang bersifat ultimum remedium. artinya,hukum pidana sejauh mungkin dihindari untuk mencegah kriminalisasi berlebihan (over criminalization).
Kecenderungan ini sebagai akibat bergesernya pemahaman bahwa UU adalah sebagai produk nasional menjadi produk sektoral, tak heran jika saat ini banyak urusan di tingkat Direktorat Jenderal suatu Kementerian sekalipun minta diatur dengan UU tersendiri. Kondisi di mana semua unit-unit pemerintahan dan kelompok masyarakat/profesi berlomba-lomba mengajukan RUU ini secara tidak langsung telah mendorong Indonesia kepada keadaan yang disebut sebagai hiperregulasi. Hiperregulasi adalah kondisi di mana membengkaknya produksi peraturan perundang-undangan yang berujung pada meningkatnya pembiayaan negara untuk membentuk dan menjalankan peraturan yang dibentuknya, serta meningkatnya beban dan terbatasinya gerak kebebasan masyarakat tanpa tahu tujuan sebenarnya akan dicapai dengan pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut.
Kuasa Mengatur Terbatas
Hiperregulasi bisa dihindari jika saja DPR, Presiden dan DPD bersepakat untuk secara konsisten menerapkan prinsip-prinsip pembentukan UU yang baik dan benar (good and proper legislation) meliputi prinsip proporsionalitas, kewajiban pembentuk untuk memberikan alasan/argumentasi perlunya pengaturan, dan prinsip kepastian hukum dalam penyusunan Prolegnas. Meskipun negara mempunyai sifat memaksa, namun sebagai konsekuensi bahwa kekuasaan penguasa bersumber dari rakyat. maka kekuasaan penguasa negara termasuk kuasa membentuk UU bukan merupakan kekuasaan yang bersifat mutlak (absolut) atau tanpa batas.
Sebagaimana disampaikan oleh Montesquieu (1748) bahwa UU yang tidak terlalu dibutuhkan dan terkesan dipaksakan untuk menjadi UU menimbulkan bahaya bagi sistem hukum secara umum. untuk itu Montesquieu menyatakan perubahan-perubahan yang tidak penting dalam UU yang ada, UU yang sulit dilaksanakan, dan UU yang benar-benar tidak diperlukan, harus dihindari, karena hukum-hukum seperti itu akan memperlemah otoritas sistem hukum secara umum.
Ketimbang selalu berkutat di perdebatan mengenai pembentukan UU baru yang sebenarnya tidak terlalu dibutuhkan dan akan menguras waktu dan biaya, konsentrasi pembentuk UU bisa diarahkan kepada upaya memastikan UU yang telah ada ditafsirkan dengan baik dan konsisten serta tidak hanya sebagai hiasan di atas kertas, tetapi juga berlaku dalam kehidupan nyata.
Melalui cara yang demikian ini maka sistem hukum tidak akan pincang karena antara pembentukan hukum, bentuk hukum, penerapan hukum, dan evaluasi hukum berjalan harmonis.
*)Dr. Bayu Dwi Anggono
Pengajar Ilmu Perundang-undangan
Direktur Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi (Pukspasi) Fakultas Hukum Universitas Jember (asp/asp)











































