Legal Teror
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Legal Teror

Jumat, 18 Des 2015 12:53 WIB
Andi Saputra
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Legal Teror
Foto: dokumentasi pribadi
Jakarta - Ketika konsolidasi masyarakat kuat dan solid, maka hanya ada dua pilihan yang bisa ditempuh masyarakat antidemokrasi yaitu adu domba atau teror. Tapi ketika masyarakat sudah tercerahkan, maka adu domba adalah mustahil sehingga teror menjadi satu-satunya jalan yang bisa dilakukan.

Teror bisa dilakukan dengan cara kekerasan, hingga penghilangan nyawa. Namun yang lebih berbahaya adalah teror dilakukan dengan cara legal dan pelakunya adalah aparat negara sendiri. Tujuannya bukanlah melenyapkan orang, tetapi berusaha untuk menciptakan ketakutan, kengerian, dan kekejaman oleh seseorang atau golongan.

Legal teror bisa dilakukan dengan berbagai cara dengan menggunakan alat-alat negara seperti dengan membuat peraturan, menggerakkan alat negara atau menggunakan sarana hukum yang ada. Dalam membuat peraturan, teror tidak hanya dimulai sejak peraturan itu diketok, tetapi dimulai saat proses pembuatan dilakukan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Di dunia hukum Barat, legal teror biasa dikenal dengan Strategic Lawsuit Against Public Participation (SLAPP). Teori ini biasanya digunakan oleh kalangan swasta untuk membungkam masyarakat, umumnya terkait kerugian konsumen atau kerusakan lingkungan.

Salah satu kasus fenomenal adalah langkah restoran waralaba McD mempolisikan aktivis London yaitu London Greenpeace pada tahun 1986. Kala itu, LSM tersebut menyebaran pamflet tentang bahaya makan McD. Tiga tahun setelahnya, pihak McD gerah dan menyeret 5 aktivis Greenpeace ke pengadilan yaitu Paul Graven, Andrew Clarke, Jonathan Farrell, Steel dan Morris. Tapi apakah pekerjaan Steel dan Morris? Mereka adalah tukang pos dan tukang kebun.

Sidang ini menyedot perhatian publik dan berjalan bertahun-tahun lamanya. Meski akhirnya dinyatakan tidak bersalah, tetapi para aktivis itu dihukum membayar biaya perkara Β£ 60 ribu dan dikurangi di tingkat banding menjadi Β£ 20 ribu. Sebuah biaya perkara yang sangat jauh dari kemampuan mereka.

Stell dan Morris tidak terima dan mengajukan kasus ini ke European Court of Human Rights (ECHR/Pengadilan HAM Eropa). Dalam putusan, ECHR menghukum Pemerintah Inggris bersalah karena Pemerintah Inggris membiarkan tindakan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh sebuah perusahaan raksasa terhadap rakyatnya. ECHR juga menghukum pemerintah Inggris membayar ganti rugi sebanyak Β£ 57 ribu. Putusan yang dibuat pada 15 Februari 2005 ini menutup kasus yang telah berlangsung selama 20 tahun lamanya.

Berbeda dengan Orde Baru, teror fisik pasca reformasi tidak lagi efektif karena konsolidasi demokrasi Indonesia perlahan menguat. Untuk melemahkan penguatan demokrasi ini, maka langkah yang bisa dilakukan yaitu dengan cara menerapkan teori-teori SLAPP. Kekuatan-kekuatan antidemokrasi itu melakukan gerilya senyap menggunakan teknik legal teror. Contohnya adalah membuat peraturan dengan ancaman penjara bagi pengkritik atau melaporkan serangkaian tindakan hukum kepada masyarakat.

Penjara bukanlah tujuan utama dari serangkaian tindakan hukum tersebut, tetapi tujuan utamanya adalah memunculkan rasa takut dalam masyarakat. Untuk memunculkan ketakutan masyarakat, maka kelompok antidemokrasi memilih satu tokoh utama dari masyarakat untuk di-legal teror-kan dengan harapan membuat efek domino kepada yang lainnya.

Hukum yang bertujuan memberikan rasa keadilan bagi masyarakat dan rasa aman bagi rakyatnya, malah sebaliknya. Hukum menjelma menjadi bagian dari alat masyarakat antidemokrasi untuk meneror masyarakat.

Satu-satunya cara melawan legal teror adalah penguatan masyarakat dan kehadiran negara untuk menengahi hal tersebut. Ketika masyarakat takut, maka tujuan utama legal teror tercapai.

Tapi ketika masyarakat malah semakin solid, maka legal teror menjadi serangan balik bagi masyarakat antidemokrasi. Negara haruslah berperan aktif mewakili masyarakat, baik lewat peraturan yang berpihak kepada masyarakat luas, aparat yang tidak bisa disuap dan lembaga negara yang berwibawa.

*) Andi Saputra adalah Mahasiswa Pascasarjana Magister Hukum Universitas Krisnadwipayana, Jakarta
Halaman 2 dari 1
(nwk/nwk)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads