Sinyal Bromo, Kebejatan Tetap Bejat
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom Djoko Suud

Sinyal Bromo, Kebejatan Tetap Bejat

Kamis, 17 Des 2015 10:56 WIB
Djoko Suud Sukahar
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Foto: Dokumentasi pribadi
Jakarta - Gunung Bromo di komunitas Suku Tengger meletus. Di istana umyek Luhut, kemarahan Jokowi dan JK soal 'papa minta saham'. Sedang di 'gedung kura-kura' terjadi kepura-puraan ber-nas 'gila'. Sebenarnya apa yang bakal terjadi?

Gunungan dalam pandangan Jawa merupakan simbol mayapada. Jagad raya se-isinya. Baik buruk dikocok di dalamnya. Berlaga saling berebut kuasa. Mirip 'air suci' diobok-obok dalam belanga di Tantu Panggelaran. Kitab kuno di era Singasari, penggambar takdir tiap makhluk yang hidup di Bumi.

Bagi negeri ini, gunungan adalah lambang Nusantara. Bergetarnya gunungan simbol bergantinya masa. Perang kepentingan saatnya kalah dan menang. Awal serta akhir harus mengikuti kodratnya. Dan Cakra manggilingan adalah pakem yang menggaris hitam putih untuk semuanya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dalam definisi lain, gunungan juga ditafsir sebagai siluet bayangan Semar. Legitimasi manusia Jawa yang jujur dan sederhana, dengan sosoknya yang tua, berambut putih dan berjambul. Gambaran ini selaras dengan mitos kejadian yang menyebut Semar, Togog, dan Bathara Guru lahir dari satu telur, dan Semar 'menelan' Bumi untuk menyelamatkannya.

Hanya, jika gunungan diangkat dalang untuk menandai episode tiap sekuel, tidak demikian dengan Semar. Tokoh ini cuma sekali tampil. Di adegan goro-goro, sebelum paripurna cerita. Dia memberi nasehat terhadap kekacauan yang terjadi, dibumbui guyonan anak-anaknya, Petruk, Gareng dan Bagong.

Tetapi mengapa gunungan itu sampai bergetar? Ada banyak definisi tentang itu. Pertama, hilangnya azimat negara, kedua, sikap penguasa, ketiga, trah yang tidak memberi keyakinan rakyat, dan keempat, titimangsa. Saatnya sudah tiba gunungan itu harus bergetar (takdir).

Azimat itu dalam pewayangan disebut sebagai 'Jimat Kalimasada' atau 'Jamus Kalimasada'. Ini pusaka milik Prabu Yudhistira diwarisi dari Begawan Palasara. Azimat ini mempunyai keistimewaan, siapa saja yang membawanya mampu menguasai dunia.

Dalam cerita carangan lakon Jimat Kalimasada dikisahkan, Bethari Durga kawin dengan Bathara Kala. Mereka punya anak bernama Dewa Srani, yang bertanya cara menguasai dunia. Sang ibu menjawab, siapa saja yang memiliki jimat Kalimasada akan menguasai dunia. Dia pun disuruh mencuri pusaka itu tapi digagalkan Arjuna.

(Catatan : Dalam pakem, Bethari Durga adalah Dewi Uma permaisuri Bathara Guru yang disabda menjadi jelek rupa karena tidak mau bercinta tatkala naik Lembu Andini saat sedang melanglang-buana. Kama Bethara Guru jatuh ke lautan dan berubah menjadi raksasa yang disebut Bethara Kala).

Kata kalimasada sudah muncul di era Jawa Hindu. Dalam kakawin Baratayudha karya Empu Sedah dan dilanjutkan Empu Panuluh disebut 'tan dwang sanjata pustaka kalimahosadha rinegepira, sampun sidha siniddhara dadi tomara mangarab-arab. Artinya: senjata pustaka kalimahosadha segera dipegang, setelah dimanterai dengan sempurna menjadi tombak yang bersinar terang.

Dalam sejarah juga tercatat, kakawin itu pernah digunakan Prabu Jayabaya membenarkan tindakannya menyerang Kerajaan Panjalu setelah Kerajaan Daha dibagi dua. Dia membunuh kakaknya yang bernama Prabu Hemabupati.

Ketenaran kakawin ini pula yang menjadi alasan, Al Asror (tertutup), kritik halus Sunan Prapen Gresik terhadap invasi Sultan Agung terhadap kerajaan-kerajaan kecil Islam dinamai Jangka Jayabaya oleh Sunan Kadilangu. Akibat itu Kerajaan Surabaya diserang Mataram, terjadi perkawinan politik, dan Pangeran Pekik Muda, raja Surabaya disuruh menyerang Giri.

Nah saat pemerintahan Demak, kalimasada ini 'di-Islamkan'. Prabu Yudhistira sebagai pemegang jimat kalimasada dikisahkan tidak bisa meninggal dunia. Kendati seluruh keturunannya sudah habis, sang prabu tetap saja hidup. Dia pun menemui Syeck Malaya yang juga Sunan Kalijaga.

Diajaknya Prabu Yudhistira untuk 'mengaji' bersama (sami-sami ngaji). Sunan Kalijaga menuntun Prabu Yudhistira membaca kalimasada sebagai dua
kalimat sahadat itu di Gunung Dieng. Dan setelah mengucapkan itu Prabu Yudhistira mangkat. Untuk itu Prabu Yudhistira yang juga Puntadewa itu disebut Samiaji. Ini tertuang dalam Babad Tanah Jawi dan Babad Cirebon.

Namun menurut saya, ini adalah simbolisasi kesempurnaan. Lengkapnya hastabrata yang dijalankan seorang pemimpin. Sikap asah, asih, sejahtera, dan asuh jika hilang, sirna pula penghormatan rakyat terhadap pemimpinnya.

Kedua adalah sikap penguasa. Adigang adigung yang paling dicela. Jika ini ditambah barbar tidak berbudaya, mengutamakan diri sendiri dibanding rakyatnya, dan kesejahteraan tidak berhasil diwujudkan, maka gunungan bergetar menunggu tumbangnya seorang penguasa. Machiavelli menyodorkan pola 'militerisme' untuk menjaga kelanggengan seorang penguasa.

Ketiga adalah trah. Ini tidak hanya menyangkut 'darah biru', tetapi lebih pada kepercayaan rakyat (trust) pada naik tahtanya seorang pemimpin. Kalangan jelata yang menjadi pemimpin, biasanya, tersurat atau tersirat masih diragukan kemampuannya memimpin. Β 

Lakon Petruk Dadi Ratu (Petruk Jadi Raja) adalah pembenar soal itu. Kendati ini cerita carangan, tetapi implisit membawa pesan, bahwa rakyat biasa bukanlah 'maqom pemimpin'. Untuk itu, jika pemimpin datang dari kelas paria ini jatuh di tengah jalan, maka itu bukan kabar besar. Itu dianggap sebagai keniscayaan.

Namun jika berhasil tampil sebagai pemimpin idaman, kendati berasal dari rakyat jelata, pendukungnya akan mencarikan 'trah' untuknya. Biasanya idiom yang dipakai adalah Lembu Peteng. Anak yang tidak jelas asal-usulnya, tetapi diyakini berdarah biru. Dia ada dan berasal dari raja yang suka blusukan dan mengencani gadis desa.

Sedang keempat adalah titimangsa (saatnya, takdir). Dalam kepercayaan Jawa, takdir itu diyakini pasti tiba. Dalam pakem Jawa dipercaya terjadi seratus tahun sekali. Untuk itu raja yang sedang berkuasa, sebelum masa itu tiba, biasanya memindahkan keraton, atau minimal ruangan yang dipakai memerintah dijauhkan dari tempat semula. Ini pula alasan, mengapa ada prediksi yang mempertanyakan masih ada atau tidaknya Indonesia di usia 100 tahun nanti.

Terus sinyal apa yang diusung letusan Gunung Bromo? Seperti yang sering saya tulis di kolom ini, Gunung Bromo hanya 'penggembira'. Letusannya menandai, apa yang terjadi tidaklah berubah. Kebejatan tetap bejat. Setidaknya sampai akhir tahun ini.

Namun jika kasus 'papa minta saham' ini berlanjut sampai tahun depan, maka akan terjadi musibah bagi Setia Novanto, Reza Chalid, dan mungkin Luhut, serta yang lain. Sebab titimangsa (waktu) menyiratkan begitu.

*) Djoko Suud Sukahar adalah pemerhati sosial budaya, tinggal di Jakarta.
Halaman 2 dari 1
(nwk/nwk)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads