Makna Predikat 'Yang Mulia'
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Makna Predikat 'Yang Mulia'

Rabu, 16 Des 2015 09:15 WIB
Prof Dr Adji Samekto SH MHum
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Prof Adji Samekto (andi/detikcom)
Jakarta -
'Yang Mulia' adalah panggilan kehormatan yang maknanya sungguh mendalam. Ia bukan sekedar embel-embel bagi mereka yang dipercaya menyandang peran sebagai pengadil. Jubah yang disandangnya pun mengandung makna mendalam bahwa, 'Yang Mulia' kedap terhadap pengaruh-pengaruh di luar dirinya. 

'Yang Mulia' dipercaya semata-mata hanya bekerja untuk kebenaran dan keadilan, sehingga rakyat sangat menggantungkan pada apa 'Yang Mulia' putuskan. Makna yang sungguh mendalam dari terminologi 'Yang Mulia' bisa ditelusuri berseiring dengan sejarah hukum yang melahirkan sistem hukum modern sekarang ini.

Ajaran hukum sesungguhnya telah dikembangkan sejak masa Sebelum Masehi, era di mana pengaruh kekuasaan Keillahian begitu dominan. Plato (427-347 SM) adalah filosof Yunani yang melahirkan pemikiran-pemikiran hukum dan kepemerintahan yang kemudian menjadi sumber pengembangan ajaran-ajaran di masa berikutnya. Pemikiran Plato, tentu dipengaruhi oleh tatanan sosial di masanya, di mana kepercayaan akan adanya kekuatan keillahian sangat dominan dalam konsep pikir manusia di negara kota (Polis) masa itu. Menurut Plato, alam semesta sesungguhnya memiliki 2 dunia: Pertama, dunia nyata (fenomena) dan kedua, dunia ideal (ideos).

Bagi Plato, dunia ideal (ideos) berisi hal-hal ideal, sangat baik, bersifat abadi yang tak lekang oleh waktu. Permasalahannya siapa yang mampu menyampaikan (mentransfer) substansi dari dunia ideal itu ke dunia nyata? Plato mengatakan kekuasaan keillahian itu disampaikan kepada manusia melalui 'pikiran yang baik yang ada dalam jiwa yang baik' dan itu ada pada kaum sophy (filosof). Jadi kaum sophy (filosof) berperan untuk mentransfer substansi yang ada di dunia ideos itu ke dalam dunia nyata. Ideal-ideal yang bersumber dari dunia ideos tadi selanjutnya harus menjadi pedoman kehidupan nyata. Oleh karenanya Plato berpendapat bahwa seharusnya yang memimpin negara adalah filosof. 

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT


Dalam pada itu makna pemimpin bersifat mutlak, dalam arti memegang sekaligus kekuasaan legislatif,eksekutif dan yudikatif. Hal ini karena filsof dipercaya mewakili kekuasaan keillahian di dunia. Oleh karenanya filsof berperan pula sebagai sang pengadil dalam perkara antarwarga. Predikat yang melekat padanya adalah 'Yang Mulia', karena dia mewakili kekuasaan keillahian atas manusia (Yunani waktu itu) untuk menjadi pengadil.


Pandangan-pandangan yang bersifat keillahian bertahan hingga masa Imperium Romawi (sejak tahun 27 Sebelum Masehi hingga 1453 Masehi untuk Imperium Romawi Timur). Akan tetapi yang memerintah Imperium Romawi bukan lagi filosof, melainkan Raja yang berkuasa karena kekuatannya, bukan karena pilihan bangsanya. 

Filsof banyak dilenyapkan.

Raja menganggap dirinya seperti filosof yang mampu menerjemahkan ideal-ideal dalam ideos seperti gagasan Plato. Hal itu diyakinkan kepada bangsanya melalui kekuasaan dan kekuataan.

Setiap tentangan terhadap kekuasaan Raja adalah dosa. 

Raja memegang sekaligus kekuasaan legislatif,eksekutif dan yudikatif. Maka raja berperan pula sebagai sang pengadil dalam perkara antar warga. Predikat yang melekat padanya adalah 'Yang Mulia'. Dengan sebutan 'Yang Mulia' maka kedudukannya harus ditinggikan dan dikonsepsikan selalu dapat bertindak benar dan berpedoman pada sesuatu yang benar. Hal ini bertahan hingga mencapai titik baliknya pada Revolusi Perancis 1789.
Memasuki Abad XVII pemikiran-pemikiran yang bersifat keillahian tersebut mulai memudar, digantikan oleh semangat jaman empirisme, yang mendekonstruksi cara pandang era keillahian.

Empirisme mengandalkan pada fakta. Pertumbuhan Empirisme mempengaruhi munculnya semangat positivisme di abad XIX. Filsafat positivisme berbasis pada sesuatu yang real, kasat mata, bukan mendasarkan pada sistem metafisik. Pikiran-pikiran berbasis positivisme semakin mempertanyakan keabsahan kekuasaan Raja. Mulai diragukan apa bukti bahwa Raja adalah wakil Tuhan.

Dogma bahwa Raja adalah wakil Tuhan telah diruntuhkan yang puncaknya terjadi pada Revolusi Perancis 1789. 

Apabila dibahas konteks hukum, positivisme dalam hukum yang akhirnya melahirkan apa yang kita sebut sebagai hukum positif,lahir sebagai respons terhadap hukum alam. Positivisme dalam hukum dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang dan mengandung perintah, menolak keberadaan hukum alam (natural law) karena keberadaan hukum alam didasarkan hanya pada pikiran keillahian maupun akal manusia, yang ada pada tataran abstrak (tidak konkret) dan sangat hipotetis sifatnya. 


Positivisme hukum menolak hukum alam karena hukum alam dianggap terlalu idealis. Hukum alam telah menempatkan ontologi hukum pada tataran yang sangat abstrak.  Sebenarnya positivisme hukum bukan melepaskan persoalan moral ataupun nilai dari norma yang ada. Apabila dikatakan bahwa positivisme hukum hanya mengidentifikasi hukum sebagai peraturan perundang-undangan, atau apabila dikatakan, bahwa di dalam positivisme hukum, hukum ditaati bukan karena baik atau adil, melainkan karena telah ditetapkan oleh penguasa yang sah, maka kita harus memahaminya secara hati-hati.

Konkretisasi positivisme dalam hukum tercermin dari pendapat John Austin. Ia menyatakan bahwa yang disebut hukum positif harus mengandung 3 karakter sebagai berikut: Pertama, hukum adalah perintah dari penguasa yang berdaulat; Kedua, perintah tersebut disertai ancaman (dan sanksi); Ketiga, otoritas tersebut tidak tunduk pada siapa pun, tetapi ditaati masyarakat. 

Sesuai dengan semangat Revolusi Perancis 1789, yang memisahkan 3 kekuasaan legislatif, eksekutif dan judikatif, maka hakim menggantikan posisi raja untuk menjadi sang pengadil dengan julukan 'Yang Mulia'.

Akan tetapi makna yang diambil dari sebutan 'Yang Mulia' tetap sama, tidak berubah seperti ketika 'Yang Mulia' dilahirkan di Era Plato. Artinya di era kekinian pun terminologi 'Yang Mulia' selayaknya disandangkan kepada mereka yang memang benar-benar dapat menyuarakan keadilan dan kebenaran substansial (bukan sekedar kebenaran berbasis peraturan).

*Prof Dr Adji Samekto SH MHum
Guru Besar/Ketua Program Doktor Fakultas Hukum Universitas Diponegoro(Undip) Semarang
(asp/asp)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads