Namun bukan berarti bahwa sesuatu yang telah masuk dalam Prolegnas tidak dapat dikritisi ataupun diberikan koreksi jika substansinya ternyata mengandung potensi permasalahan terhadap harmonisasi sistem perundang-undangan nasional maupun pengakuan, penghormatan, perlindungan, pemenuhan hak asasi manusia sebagaimana dijamin oleh UUD 1945.
Sebagai catatan awal RUU Tindak Pidana Penyelenggaraan Peradilan bukanlah perintah langsung dari UUD 1945. Suatu RUU yang tidak diperintahkan langsung untuk dibentuk oleh UUD dapat dibentuk sepanjang memenuhi syarat yaitu:
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
b. Dinyatakan oleh suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang;
c. materi lain yang berkaitan dengan: hak-hak asasi manusia, hak dan kewajiban warga negara, pembagian kekuasaan negara, organisasi pokok lembaga negara, pembagian wilayah/daerah negara, pengaturan yang membebani keuangan warga negara.
Jika pengusul RUU Tindak Pidana Penyelenggaraan Peradilan menyatakan bahwa RUU ini adalah dalam rangka mengatur lebih lanjut ketentuan dalam UUD 1945 utamanya Pasal 24 tentang kemandirian kekuasaan kehakiman maka terlebih dahulu harus dilakukan evaluasi apakah UU yang ada saat ini yaitu UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang dibentuk sebagai penjabaran ketentuan Pasal 24 UUD 1945 belum mencukupi mengatur mengenai jaminan kemandirian kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud oleh Pasal 24 UUD 1945 sehingga perlu UU lain untuk melengkapinya yaitu UU Tindak Pidana Penyelenggaraan Peradilan.
UU Kekuasaan Kehakiman, KUHP dan KUHAP Sudah Atur Contempt of Court
Pasal 3 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman sebenarnya sudah mengatur dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim dan hakim konstitusi wajib menjaga kemandirian peradilan. Yang dimaksud dengan 'kemandirian peradilan' adalah bebas dari campur tangan pihak luar dan bebas dari segala bentuk tekanan, baik fisik maupun psikis.
Bahkan di Pasal 3 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman secara tegas dicantumkan larangan segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman, kecuali dalam hal-hal sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945. Terhadap pelanggaran secara sengaja terhadap larangan tersebut di Pasal 3 ayat (3) diatur dapat dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 3 ayat (3) UU Kekuasaan Kehakiman secara jelas tidak mendelegasikan mengenai tindak pidana penyelenggaraan peradilan harus diatur dalam UU tersendiri melainkan dapat diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lain dalam hal ini adalah KUHP maupun KUHAP. Selama ini tindak pidana penyelenggaraan peradilan telah diatur dalam Pasal 207, Pasal 217, dan Pasal 224 KUHP.
Pasal 207 KUHP mengatur:
Barang siapa dengan sengaja di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina suatu penguasa atau badan umum yang ada di Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Pasal 217 KUHP mengatur:
Barang siapa menimbulkan kegaduhan dalam sidang pengadilan atau di tempat di mana seorang pejabat sedang menjalankan tugasnya yang sah di muka umum, dan tidak pergi sesudah diperintah oleh atau atas nama penguasa yang berwenang, diancam dengan pidana penjara paling lama tiga minggu atau pidana denda paling banyak seribu delapan ratus rupiah.
Pasal 224 KUHP mengatur:
Barang siapa dipanggil sebagai saksi, ahli atau juru bahasa menurut undang-undang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban berdasarkan undang-undang yang harus dipenuhinya, diancam:
1. dalam perkara pidana, dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan;
2. dalam perkara lain, dengan pidana penjara paling lama enam bulan.
Pasal 218 KUHAP mengatur:
(1) Dalam ruang sidang siapa pun wajib menunjukkan sikap hormat kepada pengadilan;
(2) Siapa pun yang di sidang pengadilan bersikap tidak sesuai dengan martabat pengadilan dan tidak menaati tata tertib setelah mendapat peringatan dari hakim ketua sidang, atas perintahnya yang bersangkutan dikeluarkan dari ruang sidang;
(3) Dalam hal pelanggaran tata tertib sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) bersifat suatu tindak pidana, tidak mengurangi kemungkinan dilakukan penuntutan terhadap pelakunya.
Harus diakui bahwa sesuai perkembangan zaman beberapa ketentuan tindak pidana penyelenggaraan peradilan dalam KUHP tersebut memang perlu untuk disesuaikan baik itu mengenai jenis tindak pidana penyelenggaraan peradilan yang perlu ditambahkan maupun ancaman sanksinya yang perlu ditingkatkan dalam rangka menimbulkan efek gentar, namun bukan berarti hal tersebut dilakukan dengan cara membuat UU Tindak Pidana Penyelenggaraan Peradilan sendiri. RUU KUHP yang saat ini sudah mulai dibahas oleh DPR bersama dengan pemerintah sebenarnya secara sistematis telah memasukkan upaya memperbaharui tindak pidana terkait Penyelenggaraan peradilan.
Overlapping Pengaturan dengan RUU KUHP
Dalam RUU KUHP khususnya Buku Kedua tentang Tindak Pidana, para perumus RUU KUHP telah membuat Bab tersendiri tentang Tindak Pidana Proses Peradilan yaitu dalam Bab VI. Tindak Pidana ini diatur mulai Pasal 328 sampai dengan Pasal 345.
Perbuatan yang dapat dipidana sesuai Pasal-Pasal tersebut di antaranya adalah:
a. perbuatan yang mengakibatkan terganggunya proses peradilan;
b. menampilkan diri untuk orang lain sebagai peserta atau sebagai pembantu tindak pidana;
c. tidak mematuhi perintah pengadilan;
d. menghina hakim atau menyerang integritas hakim dalam persidangan;
e. mempublikasikan segala sesuatu yang dapat mempengaruhi sifat tidak memihak hakim dalam sidang pengadilan;
f. menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan atau mengintimidasi penyelidik, penyidik, penuntut umum, advokat, atau hakim;
g. menyampaikan alat bukti palsu;
h. merusak alat bukti atau barang bukti;
i. menyembunyikan orang yang telah melakukan tindak pidana;
k. melepaskan atau memberi pertolongan ketika seseorang meloloskan diri dari penahanan yang dilakukan atas perintah pejabat yang berwenang;
l. secara melawan hukum tidak datang pada saat dipanggil sebagai saksi;m. memberikan keterangan palsu di atas sumpah;
n. membocorkan nama/alamat pelapor dalam penyidikan dan pemeriksaan di sidang pengadilan;
o. merusak gedung, ruang sidang pengadilan, atau alat-alat perlengkapan sidang pengadilan;
p. melakukan penyerangan langsung kepada saksi saat meberikan kesaksiannya, atau aparat penegak hukum dan petugas pengadilan yang sedang menjalankan tugasnya;
q. menghalang-halangi saksi dan/atau korban secara melawan hukum sehingga saksi dan/atau korban tidak memperoleh perlindungan.
Bahkan Pasal 346 juga mengatur mengenai perluasan tindak pidana terhadap proses peradilan dengan menyatakan termasuk dalam tindak pidana terhadap proses peradilan adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 415, Pasal 417, Pasal 418, Pasal 419, Pasal 427, Pasal 436 ayat (2), Pasal 664, Pasal 670, Pasal 679, Pasal 690 ayat (2), Pasal 697 huruf a dan huruf b, Pasal 697 huruf c, Pasal 697 huruf e, Pasal 716, atau Pasal 717 sepanjang perbuatan itu menyangkut badan peradilan. Badan peradilan sebagaimana dimaksud meliputi Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Tata Usaha Negara, dan Peradilan Militer, Mahkamah Konstitusi, termasuk peradilan lain yang ditentukan dalam Undang-Undang. Perluasan dimaksud sebagai contoh adalah Pada Pasal 419 yang mengatur ancaman hukuman bagi setiap orang yang mempergunakan suatu hak, yang diketahuinya bahwa hak tersebut telah dicabut berdasarkan putusan pengadilan.
Pengaturan jenis tindak pidana terkait proses peradilan dalam RUU KUHP jumlahnya sekitar 62 ketentuan. Sementara dalam RUU Tindak Pidana Penyelenggaraan Peradilan tindak pidananya yang diatur sebanyak 60 ketentuan.
Meskipun jenis dan jumlah tindak pidana dalam RUU KUHP maupun RUU Tindak Pidana Penyelenggaraan Peradilan jumlahnya hampir sama namun ancaman hukuman dalam RUU KUHP dengan RUU Tindak Pidana Penyelenggaraan Peradilan sangatlah berbeda. Sebagai contoh Pasal 328 RUU KUHP mengatur mengenai ancaman hukuman bagi setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan yang mengakibatkan terganggunya proses peradilan adalah pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV (IV Rp 500 juta). Sementara dalam Pasal 17 RUU Tindak Pidana Penyelenggaraan Peradilan ancaman terhadap perbuatan yang sama sebagaimana diatur oleh Pasal 328 RUU KUHP adalah pidana penjara paling lama 6 tahun atau pidana denda paling banyak Rp 100 juta.
Perbedaan ancaman hukuman juga berlaku untuk ketentuan lainnya seperti tindak pidana merusak gedung, ruang sidang pengadilan, atau alat-alat perlengkapan sidang pengadilan, dan tindak pidana menghina hakim atau menyerang integritas atau sifat tidak memihak hakim.
Mengingat pertimbangan bahwa saat ini RUU KUHP tengah dalam proses pembahasan di DPR, maka pilihan kebijakan hukum yang paling memungkinkan adalah mengatur tindak pidana proses peradilan dalam RUU KUHP dan bukan dengan RUU Tindak Pidana Penyelenggaraan Peradilan yang berdiri sendiri. Lagipula pengaturan di berbagai negara lain mengenai contempt of court sangat bervariasi, ada yang mengatur dalam UU tersendiri, namun ada pula yang tergabung dalam criminal code. Adapun mengenai pengaturan non pidana yang ada dalam RUU Tindak Pidana Penyelenggaraan Peradilan jika pada akhirnya tidak jadi UU tersendiri seperti ketertiban persidangan, kelancaran persidangan, dan pengamanan persidangan nantinya dapat diatur dengan Peraturan Mahkamah Agung dan Peraturan Mahkamah Konstitusi mengingat Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi oleh UU MA dan UU MK diberikan wewenang untuk mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran pelaksanaan tugas dan wewenangnya.
Benar bahwa tindak pidana proses peradilan perlu diatur, namun demikian bukan berarti ketentuan dalam RUU KUHP juga secara keseluruhan dapat diterima, mengingat terdapat rumusan tindak pidana yang berpotensi multitafsir dalam penerapannya jika diterapkan utamanya ketentuan Pasal 329 huruf d yang mengatur dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV bagi setiap orang yang secara melawan hukum mempublikasikan atau membolehkan untuk dipublikasikan segala sesuatu yang menimbulkan akibat yang dapat mempengaruhi sifat tidak memihak hakim dalam sidang pengadilan. Berbeda dengan pidana penghinaan pengadilan di berbagai negara, penjelasan Pasal 329 huruf d tidak memberikan batasan terhadap ketentuan tersebut dan hanya menjelaskan tujuan adanya Pasal ini yaitu untuk melindungi peradilan atau proses sidang pengadilan terhadap perbuatan yang menghina atau menyerang atau merusak kenetralan pengadilan.
Benar bahwa Pasal 329 huruf d RUU KUHP ini ancaman hukumannya lebih rendah dibandingkan Pasal 24 RUU Tindak Pidana Penyelenggaraan Peradilan yang mengatur Setiap orang yang mempublikasikan atau memperkenankan untuk dipublikasikan proses persidangan yang sedang berlangsung, atau perkara yang dalam tahap upaya hukum, yang bertendensi dapat mempengaruhi kemerdekaan atau sifat tidak memihak hakim, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun atau pidana denda paling banyak Rp 1 ,iliar, namun tetap saja pengaturan Pasal ini jika tidak diperjelas dan dibatasi jangkauan pengaturannya akan berpotensi mengancam kebebasan berekspresi warga negara yang di jamin oleh UUD 1945 termasuk kebebasan Pers.
Pengaturan tindak pidana proses peradilan haruslah diletakkan dalam kerangka menjaga keseimbangan menjaga kemandirian kekuasaan kehakiman di satu sisi dan di sisi lain tetap dalam kerangka penghormatan terhadap hak asasi manusia utamanya hak atas kebebasan mengeluarkan pendapat, hak untuk memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia, dan hak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi. Untuk itu ketentuan tentang larangan untuk mempublikasikan atau membolehkan untuk dipublikasikan segala sesuatu yang menimbulkan akibat yang dapat mempengaruhi sifat tidak memihak hakim dalam sidang pengadilan harusah dibatasi secara ketat yaitu hanya publikasi yang menciptakan risiko besar terhadap jalannya proses peradilan untuk mencari keadilan seperti publikasi bahwa terdakwa dinyatakan bersalah sebelum sidang berakhir yang dapat dipidana. Pembatasan secara ketat publikasi yang dapat dipidana ini sebagaimana diterapkan dalam The Contempt of Court act Inggris Tahun 1981.
Pembatasan secara ketat bagi publikasi yang dapat dikategorikan sebagai Contempt of Court juga diberlakukan di Amerika Serikat yaitu publikasi tidak bisa dikategorikan sebagai penghinaan sampai dapat dibuktikan dengan sangat jelas menghadirkan bahaya bagi proses peradilan. Untuk dapat dihukum harus dibuktikan adanya niat jahat yang sangat serius untuk membahayakan proses peradilan yang sedang berjalan. Dalam praktiknya dalam hukum di Amerika Serikat ancaman publikasi tidaklah ditujukan bagi media yang mempublikasikan atau melaporkan suatu kasus hukum yang menunggu untuk diputus dengan kontroversi yang terkadang menyertai kasus tersebut.
*Dr Bayu Dwi Anggono
Pengajar Ilmu Perundang-undangan/Direktur Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi (Puskapsi) Fakultas Hukum Universitas Jember (asp/nrl)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini