Nasionalisme atau Nafsuisme
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Catatan Agus Pambagio

Nasionalisme atau Nafsuisme

Jumat, 27 Nov 2015 10:40 WIB
Agus Pambagio
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Nasionalisme atau Nafsuisme
Foto: Ari Saputra
Jakarta - Kehebohan kasus Blok Mahakam di Kalimantan Timur, Blok Masela di Maluku Tenggara Barat, Freeport di Papua dsb merupakan sebuah hiruk pikuk yang menyita energi publik dan tidak produktif karena dibawa ke wilayah pertempuran kepentingan politik. Jujur, publik yang umumnya tidak punya interes apapun dan tidak paham apa yang terjadi menjadi bingung.

Berbeda dengan para pencari rente yang pada umumnya politisi dan penguasa. Mereka jelas punya interes menguasai kekayaan Negara ini untuk kepentingan diri sendiri dan kelompoknya, bukan kepentingan publik seperti perintah Pasal 33 UUD 1945.

Jadi jangan heran ketika nama-nama mereka selalu muncul di setiap isu pengelolaan sumber daya alam, khususnya yang saat ini sedang di kelola asing.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ironisnya para pencari rente ini selalu mengatasnamakan nasionalisme dan untuk menjalankan kemauannya menggunakan banyak tangan, mulai dari politisi lokal hingga nasional, media, LSM, tokoh masyarakat dan sebagainya.

Maka terciptalah hiruk pikuk yang memusingkan publik, bahkan para menteri dan politisi pun berkelahi mulut di banyak media. Sungguh sesuatu kelakuan yang tidak lucu dan menyesatkan publik.

Kalau hal tersebut terus terjadi, saya yakin bangsa ini memang tidak akan pernah tumbuh menjadi bangsa besar, yang adil dan makmur sesuai dengan sila ke 5 Pancasila.

Jadi kata nasionalisme sebaiknya di ganti saja dengan nafsuisme, karena para elit Indonesia sangat bernafsu untuk menguasai sumber daya alam tanpa harus mau berpikir dan bekerja keras. Cukup jadi makelar saja.

Modus (Modal Dusta) Para Nasionalisme atau Nafsuisme

Sejak awal kepemimpinannya, Presiden Jokowi (JKW) dengan Kabinet Kerjanya selalu menyatakan bahwa Indonesia akan mengundang investor sebanyak mungkin untuk membangun Indonesia, khususnya di sektor infrastruktur, energi, air dan pangan.

Presiden juga berulang-ulang menyatakan bahwa investor yang sudah ada di Indonesia harus didorong dan difasilitasi dengan baik, supaya nilai kapitalisasinya terus berkembang dan mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia. Namun apa yang terjadi?

Kasus blok Mahakam mereda setelah Pemerintah memutuskan Blok Mahakam dikelola 100% oleh Pertamina dengan mitra kerjanya, paska kontrak dengan Total Indonesie berakhir pada tahun 2017. Kemudian kasus blok Masela dan Freeport Indonesia memanas.

Para menteri saling menelikung dan mengatasnamakan kepentingan publik. Pada tulisan kali ini akan saya bahas ringkas terkait kegaduhan di PT Freeport Indonesia (FI) saja. Menyusul kasus Masela.

Hiruk pikuk kasus PT FI mulai memanas sejak tahun 2013 dan anti klimaksnya terjadi minggu lalu saat Menteri ESDM, Sudirman Said, menyerahkan rekaman pembicaraan antara pentolan politik Republik ini yang didampingi oleh pengusaha kondang markondang dengan Direktur Utama PT FI ke Majelis Kehormatan Dewan (MKD).

Dari kasus anti klimaks tersebut terbukti bahwa para pihak yang katanya mewakili Presiden dan Wakil Presiden ternyata masuk dalam golongan nafsuis bukan nasionalis. Publik menunggu dengan harap harap cemas, apa yang akan terjadi.

Adakah yang dipecat atau mengundurkan diri atau ditangkap atau hanya sekedar dikenakan hukuman sosial, Jangan-jangan justru pelapor (Menteri ESDM) yang akan diparkir atau diberhentikan oleh Presiden ?

Seperti kita ketahui berdasarkan kontrak yang ditandatangani oleh Pemerintah Indonsia (diwakili oleh Menteri Pertambangan dan Energi) dan PT FI pada tanggal 30 Desember 1991, kontrak akan berakhir pada tanggal 30 Desember 2021(kontrak 30 tahun).

Namun PT FI boleh mengajukan permohonan untuk perpanjangan 2 x 10 tahun secara berturut turut asal diusulkan paling cepat 2 tahun sebelum kontrak berakhir, dengan syarat disetujui Pemerintah RI. Disinilah perang opini nasionalisme versus nafsuisme berawal.

Saya bingung karena banyak pendapat di publik yang mengatakan bahwa kontrak FI sudah diperpanjang. Setahu saya belum ada dokumen atau kesepakatan yang menyatakan bahwa perpanjangan kontrak PT FI sudah disetujui Pemerintah RI. Baru cakap-cakap biasa dalam bisnis.

Kesepakatan yang disebut media adalah perpanjangan kontrak, ternyata hanya MoU untuk ekspor biji mentah (ore) selama 6 bulan yang kemudian diperpanjang selama 6 bulan lagi. Selain itu ada juga MoU atas 11 kesepakatan baru, termasuk pengembalian 58% (122.590 Ha) wilayah kerjanya yang kaya emas (Blok Wabu) ke Pemerintah Indonesia. Dengan pengembalian itu, wilayah kerja FI berkurang menjadi hanya 90.360 Ha dari semula 212.950 Ha.

Dikembalikan itu artinya kawasan itu kembali menjadi milik Republik Indonesia dan bebas untuk diekplorasi oleh siapa saja, termasuk swasta nasional, BUMN/D atau swasta asing lain yg kemungkinan bisa lebih besar hasilnya. Intinya akan muncul investor baru yang akan mengolah tambang perawan (belum dieksplorasi) mantan konsesi milik PT FI.

Pertanyaannya, mengapa pencari rente masih berisik dan terus melobi untuk minta saham PT FI ? Olah saja 122.590 Ha lahan yang dikembalikan tersebut dengan menggunakan tenaga kerja lokal. Pertanyaannya, sanggup ? Harusnya sanggup.

Langkah Pemerintah

Sebagai rakyat biasa, saya berharap agar Pemerintah dapat segera menjelaskan pada publik bahwa kedua belah pihak telah sepakat untuk melaksanakan perintah kontrak berjalan.

Pemerintah secara resmi dapat melakukan pembahasan perpanjangan kontrak secara serius mulai tahun 2019 atau 2 tahun sebelum masa kontrak selesai sesuai peraturan perundang undangan yang berlaku, meskipun pembahasan non formal tetap bisa dilakukan karena ada beberapa kebijakan Pemerintah juga berubah, contoh kewajiban membangun smelter dll.

Semua upaya yang saat ini dilakukan oleh PT FI sesuai dengan perintah UU No. 4 Tahun 2009 Tentang Minerba. Dimana PT FI sudah bersedia membangun smelter dengan investasi tambahan yang cukup besar, sekitar Rp. 32 triliun.

Untuk itu PT FI dan Pemerintah secara berkala terus membahasnya. Ini mungkin yang di anggap oleh para pencari rente kedua belah pihak sedang membahas perpanjangan kontrak.

Menghadapi permintaan PT FI untuk memperpanjang kontrak, sebaiknya Pemerintah segera menyiapkan strategi dan mendaftar apa saja yang akan menjadi materi pembahasan tahun 2019 mendatang. Apakah memang diizinkan untuk diperpanjang atau tidak. Jika tidak, bagaimana langkah Pemerintah.

Jika diperpanjang 2 x 10 tahun apa saja yang harus dibahas dan bagaimana mekanisme pengalihan, yang sebaiknya bertahap, kepada Pemerintah Indonesia.
Yang terpenting jika diperpanjang atau tidak, Pemerintah tetap harus menyiapkan alih teknologinya, sumber daya manusianya dan yang terpenting produksi dan pendapatan negara tidak berkurang.

Ini langkah besar. Sebaiknya kita semua berpikir untuk itu. Jangan biarkan pencari rente mengobok-obok ini demi kantung mereka dan kelompoknya. Mereka tidak peduli jika penerimaan negara turun.

*) AGUS PAMBAGIO adalah Pemerhati Kebijakan Publik dan Perlindungan Konsumen.
Halaman 2 dari 1
(nwk/nwk)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads