Perpres 107 Tahun 2015 Kereta Cepat Diduga Maladministrasi
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Catatan Agus Pambagio

Perpres 107 Tahun 2015 Kereta Cepat Diduga Maladministrasi

Selasa, 20 Okt 2015 11:40 WIB
Agus Pambagio
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Perpres 107 Tahun 2015 Kereta Cepat Diduga Maladministrasi
Foto: Agus Pambagio - dokumen pribadi
Jakarta - Tulisan ini merupakan tulisan ketiga saya di kolom ini terkait dengan kontroversi pembangunan Kereta Api Cepat atau High Speed Train/Rail (HST/R). Tulisan saya kali ini akan menyoroti dari sisi kebijakan terkait dengan terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) No 107 Tahun 2015 Tentang Percepatan Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Kereta Cepat Antara Jakarta dan Bandung, yang dikeluarkan oleh Pemerintah RI tanggal 6 Oktober 2015 dan menurut saya bermasalah.
Β 
Semua program Pemerintah, apapun bentuknya, harus mempunyai payung hukum atau kebijakan yang jelas dan sesuaiΒ  dengan perintah UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Jika sebuah kebijakan yang dikeluarkan tidak sesuai dengan UU No. 12/2011 patut diduga telah terjadi maladministrasi.
Β 
Seperti kita ketahui bersama bahwa pembangunan Kereta Cepat Jakarta-Bandung penuh kontroversial dan ini akan berlanjut, sesuai dengan masukkan dari Menteri Negara BUMN dan juga keinginan langsung Presiden Jokowi (JKW) setelah mencoba kereta cepat di China bersama Presiden China, Xi Jinping pada bulan Maret 2015 lalu. Meskipun Menteri Perhubungan tidak menyetujui pembangunan kereta api cepat ini dengan alasan investasi yang dibutuhkan besar serta mahalnya biaya operasi dan perawatannya, proyek HST terus bergulir.
Β 
Seperti saya sampaikan dalam tulisan terdahulu bahwa proyek ini sulit dikerjakan oleh swasta murni karena membutuhkan modal yang sangat besar sedangkan pendapatan terbatas karena rendahnya ridership (jumlah penumpang). Pendapatan akan bermasalah meskipun pendapatan dari transfer oriented development (TRD) atau pendapatan dari properti di sekitar jalur HST diserahkan oleh Pemerintah kepada korporasi pengelola HST. Makanya peran swasta murni diambil alih oleh konsorsium korporasi BUMN yang masih berbau pemerintah.
Β 
Meskipun kurang layak, Presiden bersikeras untuk tetap membangun HST dalam waktu dekat. Apakah semua kebijakan dan perizinan dapat diselesaikan cepat? Mari kita bahas secara singkat dan padat terkait dengan kebijakan yang memayunginya.
Β 
Perjalanan Kesiapan Regulasi Pembagunan Kereta Api Cepat (HST)
Β 
Meskipun sisi legal masih bermasalah, namun PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia sebagai perusahaan konsorsium BUMN Indonesia sudah dibentuk, termasuk susunan direksinya. Bahkan minggu ini sudah akan meminta izin trase ke Kementrian Perhubungan dan minggu pertama atau kedua bulan November 2015, Presiden akan groundbreaking. Pertanyaan publik, apakah persyaratan studi untuk penerbitan izin sudah dipenuhi, misalnya studi AMDAL dan KLHS disepanjang trase? Bagaimana dengan legalitas tata ruang sepanjang trase? Dan sebagainya.
Β 
Persoalannya, pembuatan studi lingkungan perlu waktu untuk jarak lebih dari 150 Km. Jangan-jangan semua studi HST ini akan dikebut sesuai dengan Feasibility Study (FS) HST yang dibuat hanya sekitar 3 bulan? Kalau benar, sebaiknya kita harus pikir-pikir untuk naik HST ke Bandung atau sebaliknya karena safety atau keselamatan HST diragukan.
Β 
Mari kita lihat aturan dasar pembuatan sebuah Peraturan Presiden (Perpres). Β 
Β 
Pertama adalah UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan, Pasal 31: Β 
Β 
Ketentuan mengenai perencanaan penyusunan Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 sampai dengan Pasal 29 berlaku secara mutatis mutandis terhadap perencanaan penyusunan Peraturan Presiden.
Β 
Maksud dari mutatis mutandis itu sendiri kurang lebih adalah perubahan yang harus dilakukan. Dalam hal Pasal 31 tersebut kurang lebih artinya adalah "Penyusunan Peraturan Presiden disusun sama persis dengan penyusunan Peraturan Pemerintah." Jadi penerbitan Perpres No. 107/2015 harus melalui beberapa proses seperti pembuatan Peraturan Pemerintah (PP), atau harus sesuai dengan Pasal 24 - 29 UU No. 12 Tahun 2011.
Β 
Kedua adalah Perpres No. 87 Tahun 2014 Tentang Peraturan Pelaksanaan UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Pasal 66 Ayat (1): Β 
Β 
Dalam hal penyususnan Rancangan Peraturan Presiden bersifat mendesak yang ditentukan oleh Presiden untuk kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan, Pemrakarsa secara serta merta dapat langsung melakukan pembahasan Rancangan Perpres dengan melibatkan Menteri, Menteri/Pimpinan lembaga pemerintah non kementrian dan/atau lembaga lain yang terkait.
Β 
Dari kacamata publik, arti dua kebijakan diatas adalah Rancangan Perpres harus dibahas bersama terlebih dahulu dengan kementerian atau lembaga terkait, seperti Menteri Hukum dan HAM, Menteri Perhubungan, Menteri Negara BUMN, Menteri Koordinator Ekonomi dsb sebelum disahkan menjadi Perpres. Persetujuan Menteri atau Kepala Badan terhadap rancangan Perpres dilakukan, salah satunya, melalui pembubuhan paraf. Meskipun menurut Sekretariat Negara (Sekneg) rapat dengan kementerian dan lembaga terkait telah dilakukan dan ada notulensinya. Β 
Β 
Tekait dengan terbitnya Perpres No. 107 Tahun 2015, saya mencoba menghubungi beberapa Biro Hukum Kementrian terkait termasuk beberapa Menteri terkait. Mereka menyatakan tidak pernah mendapatkan undangan rapat membahas Rancangan Perpres Percepatan Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Kereta Cepat Antara Jakarta dan Bandung, apalagi memberikan persetujuan/paraf. Nah bagaimana ini kok bertentangan dengan pernyataan Sekneg?
Β 
Langkah Pemerintah
Β 
Publik memohon kepada Menkumham atau Mensesneg atau Meneg BUMN (sebagai pemrakarsa Perpres) untuk bisa menjelaskan kepada publik secara terbuka, apa yang sebenarnya terjadi. Jika sudah ada beberapa rapat koordinasi, mohon dapat ditunjukkan notulensi atau daftar hadir atau paraf dari Menteri atau Kepala Badan atau perwakilan kementerian atau lembaga terkait.
Β 
Kedua, untuk menjawab dugaan tersebut, publik berharap Ombudsman RI (ORI), sebagai lembaga pengawas pelayanan publik, dapat melakukan investigasi kemungkinan adanya mal administrasi di dalam pembuatan Perpres No. 107/2015. ORI dapat meminta daftar hadir dan daftar rapat pembahasan Rancangan Perpres ini atau bukti-bukti lain keΒ  Kementrian Hukum dan HAM atau ke Sekretariat Negara atau Kementrian BUMN.
Β 
Kasihan Presiden jika Perpres ini ternyata 'bodong', sementara Presiden berkeinginan untuk dapat melakukan groundbreaking secepatnya di bulan Nopember 2015. Pemerintah harus segera memberikan penjelasan terbuka karenaΒ  ini penting untuk diketahui publik, terkait dengan keberadaan UU No. 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik. Β 
Β 
*) AGUS PAMBAGIO adalah Pemerhati Kebijakan Publik dan Perlindungan Konsumen
Halaman 2 dari 1
(nwk/nwk)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads