Ada dua hal yang menyebabkan kasus ini tak layak masuk pengadilan. Pertama, secara substansial, kasus yang disangkakan kepada BW terjadi saat ia tengah menjalankan profesinya sebagai advokat. Undang-Undang Advokat (UU Nomor 18 Tahun 2003) jelas menyatakan advokat tidak dapat dituntut, baik secara perdata maupun pidana, dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan kliennya di pengadilan. Perhimpunan Advokat Indonesia sudah mengecek aspek etik Bambang sebagai advokat dan sudah dua kali mengeluarkan surat untuk menguatkan kewajaran tindakan BW dalam menjalankan profesinya. Dalam putusan sidang dua saksi lainnya pun (Ratna Mutiara dan Zulfahmi Arsyad), nama Bambang Widjojanto sama sekali tidak disebutkan.
Kedua, secara prosedural, banyak kesalahan yang terjadi selama kasus ini disidik oleh Polri. Ombudsman RI mencatat, perkara ternyata tidak diawali dengan serangkaian proses penyelidikan, yang disyaratkan dalam hukum acara pidana. Begitu pula, saat dimulainya penyidikan tidak dibarengi dengan surat pemberitahuan dimulainya penyidikan kepada penuntut umum.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Secara esensi, pengadilan adalah tempat keadilan diuji. Kasus yang diperkarakan bukan untuk tujuan penegakan hukum tidak boleh masuk ke tempat ujian keadilan karena keadilan justru akan tercabik-cabik. Kasus ini sarat dengan indikasi motif balas dendam politik, dan pengadilan bukan ruang balas dendam. Pada titik ini, kejaksaan harus bertindak. Kejaksaan perlu mengeluarkan surat perintah penghentian penuntutan atau tindakan hukum lain guna menghentikan kasus yang melibatkan BW, demi keadilan dan kepastian hukum.
Puncak Gunung Es
Namun BW tidak sendirian. Seorang pemimpin KPK lainnya, Abraham Samad, juga dijadikan tersangka oleh Polri. Bahkan penyidik KPK, Novel Baswedan, dan beberapa pegiat antikorupsi, seperti Denny Indrayana, juga menghadapi berbagai sangkaan. Desakan untuk kasus BW adalah langkah awal agar Presiden juga segera membereskan kasus-kasus tersebut. Cukup sudah publik diberi tontonan drama politik antara kubu pemberantas korupsi dan kubu penyokong koruptor. Kasus ini mengingatkan kita pada kasus Bibit-Chandra pada 2009, yang juga berujung pada SKPP setelah adanya desakan dari berbagai pihak. Masalahnya, sampai kapan kita harus terus menghadapi kasus serupa ini?
Kasus BW adalah puncak gunung es. Di bawah permukaan, ada lereng dan kaki gunung masalah penegakan hukum yang sangat besar yang tak terlihat dengan mudah. BW lebih "beruntung" karena, sebagai pemimpin KPK, banyak orang membelanya dengan mendesak aparat penegak hukum dan Presiden.
Kenyataannya, banyak kasus di berbagai pelosok Indonesia yang juga tak layak diperkarakan. Sebut saja kasus Nenek Minah yang dituduh mencuri kakao. Juga, kasus salah tangkap terhadap buruh bernama Yana di Karawang, yang diungkap oleh LBH Jakarta bulan lalu. Ada juga yang tak banyak diungkap namun kerap menjadi keluhan: pemerasan yang dilakukan "oknum-oknum" kepolisian dan kejaksaan terhadap pengusaha dan pejabat di daerah.
Akar masalahnya ada pada profesionalitas Polri dan kejaksaan. Tindakan penegakan hukum harus dilakukan untuk tujuan menegakkan hukum, bukan untuk balas dendam, mencari uang, ataupun melayani kekuasaan. Ia juga harus dilakukan secara profesional, bukan dengan cara menyiksa untuk mendapat pengakuan atau menuding orang lain agar perkara tak rumit.
Presiden sebagai kepala negara harus melakukan perombakan institusional aparat penegak hukum. Memastikan adanya langkah kejaksaan untuk menghentikan perkara BW hanyalah awal dari kerja panjang perombakan kepolisian dan kejaksaan.
BIODATA
Nama: Bivitri Susanti
Tanggal Lahir: 5 Oktober 1974
Pendidikan
• Kandidat PhD dari Universitas Washington, September 2008 hingga sekarang
• Master hukum dari Universitas Warwick, Inggris, 2003
• Sarjana hukum dari Universitas Indonesia, 1999
Karier
• Wakil Ketua Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, 2015
• Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia, 2003-2007
• Peneliti pada Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan, 1999-2001
• Peneliti Masyarakat Transparansi Indonesia, 1998-2000
• Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1999-2002
• Staf Corporate Secretary Bank Danamon, Agustus-November 1997
Karya Tulis
• Menulis beberapa buku dan artikel di media massa
***
Kolom ini telah dimuat di edisi terbaru Majalah Detik (Edisi 202, 12 Oktober 2015). Edisi ini mengupas tuntas "Muslihat 7 Begal Garam". Juga ikuti artikel lainnya yang tidak kalah menarik, seperti rubrik Hukum "Gaby Tenggelam Siapa Salah", Internasional "Strategi Pena dan Senjata ala Taliban", Ekonomi "Saatnya Borong Saham?", Gaya Hidup "Foodie Selebgram Hobi Pamer Kelezatan", rubrik Seni Hiburan dan review Film "The Walk", serta masih banyak artikel menarik lainnya.
Untuk aplikasinya bisa di-download di apps.detik.com dan versi Pdf bisa di-download di www.majalah.detik.com. Gratis, selamat menikmati!!
(nrl/nrl)











































