Kretek Bukan Warisan Budaya
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Kretek Bukan Warisan Budaya

Rabu, 07 Okt 2015 11:12 WIB
Prijo Sidipratomo
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Kretek Bukan Warisan Budaya
Foto: majalah detik
Jakarta - Belakangan ini kita mendengar adanya Rancangan Undang-Undang Kebudayaan, yang di dalam salah satu pasalnya diselipkan kretek sebagai warisan budaya bangsa. Apa definisi kretek atau rokok kretek? Rokok kretek menurut kamus Wikipedia bahasa Indonesia adalah "rokok yang menggunakan tembakau asli yang dikeringkan, dipadukan dengan saus cengkeh, dan saat diisap terdengar bunyi kretek-kretek".

Pembuatannya tidak bisa menggunakan mesin, masih memanfaatkan tangan perajin. Belakangan, berkembang menjadi industri setelah berpuluh tahun hanya merupakan industri rumah tangga.

Ada upaya agar rokok ini dilestarikan menjadi warisan budaya bangsa. Apakah ini memang pantas? Kita harus mencari tahu terlebih dulu apa yang dimaksud dengan warisan budaya bangsa itu.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Warisan budaya, menurut Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pendidikan, Sains, dan Kebudayaan (UNESCO), didefinisikan sebagai berikut, "Cultural heritage is the legacy of physical artefacts and intangible attributes of group or society that are inherited from past generations, maintained in the present and bestowed for benefit of future generations."

Melihat dari definisi UNESCO, jelaslah bahwa suatu warisan budaya harus memberikan keuntungan atau kegunaan bagi generasi mendatang.

Pelbagai rujukan di dunia kedokteran jelas menuliskan bahwa rokok memberikan dampak pada terjadinya penyakit jantung dan pembuluh darah, berkontribusi terhadap kejadian stroke dan penyakit kanker atau keganasan pada saluran napas serta paru-paru. Seluruh penyakit tersebut memerlukan pembiayaan perawatan yang sangat mahal.

Saat ini, dalam keadaan rokok, baik itu kretek maupun rokok putih, belum dilindungi undang-undang, kita sudah mempunyai data sebagaimana dilansir oleh Sonny Budiutomo dari Lembaga Demografi bahwa perokok remaja lelaki 15-19 tahun sebanyak 37,3 persen, pengeluaran rumah tangga termiskin untuk rokok mencapai 13 persen, sementara untuk beras 19 persen.

Membeli rokok merupakan pengeluaran terbesar dari rumah tangga miskin setelah membeli beras. Ini jauh melampaui dari kebutuhan untuk membeli telur, susu, dan protein. Angka ini konstan sejak 2003.

Beban makroekonomi terkait konsumsi rokok dari penelitian Suwarta Kosen, yang dirilis pada 2012, sebesar Rp 245,4 triliun ini merupakan kerugian makroekonomi sebesar 4 kali lipat dari cukai yang diterima pemerintah pada 2010.

Data yang dirilis Kementerian Kesehatan, 67 persen penduduk lelaki Indonesia adalah perokok. Data ini merupakan yang terbesar di dunia, sedangkan prevalensi perokok di Indonesia sebesar 34,8 persen.

Data lain dari Kementerian Keuangan terkait roadmap rokok, yang menargetkan 260 miliar batang pada 2015, ternyata saat ini telah mencapai 362 miliar batang. Artinya, terdapat kelebihan 102 miliar batang dari target. Merujuk data-data tersebut, jelas konsumsi rokok meningkat di Indonesia.

Kalau kita melihat pada bungkus rokok, jelas dituliskan betapa berbahayanya produk tersebut. Belum lagi peringatan bergambar yang juga ditampilkan pada bungkusnya. Menilik semua itu, tidak sepatutnya bila rokok kretek dianggap sebagai warisan budaya karena sama sekali tidak punya dampak keuntungannya bagi generasi selanjutnya. Sebaliknya, rokok hanya meluaskan kerugian yang harus ditanggung oleh bangsa ini ke depannya.

Pada saat ini, tanpa perlindungan dari undang-undang pun produksi rokok sudah melampaui target. Tidak tanggung-tanggung, lebih dari 100 miliar batang. Bisa dibayangkan, apabila ada undang-undang yang melindungi rokok, negeri ini akan menjadi surga bagi Industri rokok.

Ini sesuai dengan apa yang disampaikan sosiolog Imam B. Prasodjo dalam diskusi "Wujudkan Sumber Daya Manusia yang Tangguh" di Gedung Joang Jakarta pada 30 September 2015 bahwa industri rokok menjadikan Indonesia sebagai surga karena di sinilah satu satunya negara yang tidak melakukan perlindungan yang wajar terhadap warganya.

Jika kita rangkum, sesungguhnya rokok, baik itu rokok putih maupun kretek, sama saja, yakni produk yang mengandung racun dan bahan berbahaya, yaitu zat adiktif, yang bisa menyebabkan pemakainya kecanduan. Kerugian akibat pemakaian rokok secara kesehatan jelas sekali dan bahan rujukannya banyak.

Jadi kretek tidak dapat dikategorikan sebagai warisan budaya karena secara definisi tidak cocok.

Jika kita ingin melihat generasi emas bangsa Indonesia bisa merayakan kemerdekaan ke-100 pada 30 tahun lagi, sebaiknya kretek tidak tertera pada pasal RUU Kebudayaan. Begitu juga tidak perlu adanya RUU Pertembakauan, yang sama sekali tidak berpihak pada upaya membangun bangsa yang tangguh.

BIODATA

Nama: Dr Prijo Sidipratomo, SpRad
Tempat/Tanggal Lahir: Jakarta, 11 Maret 1958
Istri: Dr Diah Farida, Sp(A)

Pendidikan
•    Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1977-1983
•    Sekolah Spesialisasi Radiologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1986-1989

Karier
•    Kepala Puskesmas Kecamatan Kapuas Tengah, Kalimantan Tengah, 1984-1986
•    Dokter spesialis radiologi RS Zainal Abidin, Aceh, 1989-1992
•    Staf pengajar Departemen Radiologi Universitas Syiah Kuala, Aceh, 1989-1992
•    Staf pengajar Departemen Radiologi RSCM-FKUI, 1992 hingga sekarang
•    Ketua Program Diploma Radiologi FKUI, 1997-2003
•    Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Cabang Jakarta Pusat, 1994-2001
•    Ketua IDI Wilayah DKI Jakarta, 2001-2006
•    Kepala Bagian Radiologi RSCM, 2002-2004
•    Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Radiologi Indonesia, 2003-2006
•    Wakil Dekan Bidang Nonakademik FKUI, 2004-2008
•    Presiden IDI, 2006-2009
•    Ketua Umum IDI, 2009 hingga sekarang
•    Ketua Komnas Pengendalian Tembakau, 2011 hingga sekarang

Praktek
•    Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta
•    RS Siloam Karawaci, Tangerang

Organisasi
•    Ikatan Dokter Indonesia
•    Komnas Pengendalian Tembakau
•    Perhimpunan Dokter Spesialis Radiologi Indonesia

****

Kolom ini dimuat di Majalah Detik (Edisi 201, 5 Oktober 2015). Edisi ini mengupas tuntas "Pasir Berdarah Lumajang". Juga ikuti artikel lainnya yang tidak kalah menarik, seperti rubrik Nasional "Coblos 'Setuju' atau 'Tidak'", Internasional "Rusia Datang, Assad pun Tenang", Ekonomi "Oleh-oleh Lawatan ke Arab", Gaya Hidup "Kulot, Old Fashion tapi Keren", rubrik Seni Hiburan dan review Film "Magic Mike XXL", serta masih banyak artikel menarik lainnya.

Untuk aplikasinya bisa di-download di apps.detik.com dan versi Pdf bisa di-download di www.majalah.detik.com. Gratis, selamat menikmati!! (nrl/nrl)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads