Melindungi Gambut, Mengatasi Kebakaran
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Melindungi Gambut, Mengatasi Kebakaran

Kamis, 17 Sep 2015 16:10 WIB
Longgena Ginting
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Foto: Majalah detik
Jakarta - Bagi sebagian besar masyarakat di Riau, Jambi, Sumatera Selatan, atau sebagian wilayah di Kalimantan, terkurung asap kebakaran hutan selama berhari-hari, bahkan sering kali hingga berminggu-minggu, telah menjadi realitas kehidupan mereka selama 18 tahun terakhir. Ironisnya, kita tidak pernah berhasil mengatasi masalah kebakaran hutan hingga tuntas ke akar masalahnya. Kenapa?

Berdasarkan pemantauan titik api (fire hotspots) yang dilakukan Greenpeace melalui citra satelit pada tahun ini dan tahun lalu, titik-titik api terakumulasi (paling banyak ditemukan) di kawasan gambut. Hal ini konsisten dengan pemantauan titik api yang dilakukan hingga 5-10 tahun terakhir ini. Secara nasional, akumulasi titik api ini juga konsisten terdapat di provinsi-provinsi dengan gambut terluas, seperti Riau, Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, dan Papua. Dengan kata lain, kebakaran hutan itu sebenarnya adalah kebakaran (lahan) gambut.

Dalam kondisi alamiah, kebakaran hutan dan lahan gambut hampir mustahil terjadi, apalagi di kawasan hutan hujan tropis yang lembap dan basah. Sayang, kerusakan hutan dan lahan gambut yang demikian parah telah membuat keseimbangan alamiah tersebut terganggu. Kawasan gambut menjadi kering dan sangat rentan terhadap kebakaran. Pembuatan kanal-kanal dalam kawasan gambut di area perkebunan kelapa sawit atau kebun kayu monokultur telah membuat gambut menjadi kering dan mudah dimakan api saat musim kemarau tiba.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kebakaran pada kawasan gambut mudah merambat ke bawah permukaan tanah dan sesekali membesar ke permukaan bila terdapat semak belukar atau bahan organik kering. Hal ini mengakibatkan pemadaman kebakaran di lahan gambut menjadi sangat sulit dilakukan. Sementara itu, lahan gambut menyimpan karbon, salah satu gas rumah kaca terpenting, dalam jumlah yang sangat besar. Bila lahan gambut terdegradasi dan terbakar, ia akan melepaskan emisi karbon yang telah tersimpan selama ribuan tahun ke atmosfer dengan cepat serta merusak kemampuan ekosistem untuk pulih kembali untuk menyerap karbon. Sekali lahan gambut rusak, ia nyaris tidak dapat dipulihkan kembali.

Melindungi gambut kaya karbon Indonesia adalah kunci untuk mengurangi kerugian kebakaran hutan, tetapi masih belum ada perlindungan hukum yang cukup atas seluruh gambut dan hutan. Kanal-kanal yang dibangun perusahaan-perusahaan kebun sawit dan kebun kayu (HTI) monokultur skala besar di kawasan gambut yang bertujuan mengeringkan kawasan gambut untuk ditanami kelapa sawit atau akasia telah menghancurkan ekosistem gambut kita.

Dampak pengeringan yang dilakukan dengan membangun kanal-kanal drainase ini berdampak sangat buruk. Lahan gambut yang dikeringkan akan menjadi sangat mudah terbakar dan, apabila terbakar pada musim kemarau, akan menjadi kebakaran hutan yang tidak terkendalikan.

Karena itu, perlindungan kawasan gambut secara total adalah upaya kunci dalam mengatasi akar masalah kebakaran hutan. Hal ini sebenarnya telah mulai disadari pemerintah, tapi tampaknya perjalanan untuk mengimplementasikan solusi ini masih sangat panjang.

Pada November lalu, saya turut dalam rombongan Presiden Jokowi blusukan asap ke Riau. Presiden mengunjungi Desa Tohor dan, bersama warga desa, secara simbolis Presiden menutup sebuah kanal di lahan dengan membangun sekat (dam) serta memberi bantuan finansial untuk membangun 10 sekat untuk menutup kanal di desa tersebut. "Kita tutup kanal ini agar gambut tetap basah dan tidak mudah terbakar," ujar Presiden Jokowi.

Selain acara seremonial tersebut, pemerintah, masyarakat, dan para pihak perlu melakukan hal-hal seperti berikut ini untuk mengakhiri bencana asap. Pertama, memastikan para pihak, khususnya perusahaan pemegang konsesi perkebunan dan HTI, bertanggung jawab dan tidak merusak ekosistem gambut.

Sebagai tahap awal, pemerintah memperkuat moratorium yang sedang berjalan, termasuk dengan memasukkan seluruh hutan primer dan lahan gambut, termasuk yang ada di dalam konsesi-konsesi perusahaan yang telah telanjur diberikan.

Kedua, menindak tegas perusahaan atau pihak yang menggunakan api dalam pembukaan lahan. Ketiga, pemerintah perlu merevisi peraturan pemerintah (PP) tentang perlindungan gambut dan memastikan bahwa seluruh lahan gambut mendapat perlindungan penuh.

Pemerintah harus mulai menerapkan peta tunggal untuk mengidentifikasi lanskap-lanskap gambut untuk dilindungi dan juga memastikan strategi mitigasi dijalankan di kebun yang berada di kawasan gambut.

Kempat, pemerintah harus dapat mendorong perlindungan hutan dan lahan gambut di dalam konsesi yang berada di kawasan lanskap gambut yang lebih luas.

Beberapa perusahaan saat ini telah mengambil langkah dan tanggung jawab untuk menghentikan deforestasi dan pembukaan lahan gambut di dalam rantai produksi mereka. Namun komitmen dan upaya ini menghadapi kendala dari peraturan dan hukum yang ada. Salah satu contoh adalah peraturan yang membuat perusahaan kesulitan untuk mempertahankan kawasan hutan di dalam konsesi HGU mereka. ****


BIODATA:


Nama: Longgena Ginting
Tanggal Lahir: 26 Juli 1968

Pendidikan:
•    Sarjana Kehutanan, Fakultas Kehutanan, Universitas Mulawarman, Samarinda
•    Magister Studi Pembangunan, Universitas Sumatera Utara, Medan

Pengalaman Pekerjaan:
•    Desember 2012-sekarang: Kepala Greenpeace Indonesia
•    Februari 2010-November 2012: Konsultan Regional (Asia) untuk Program Keadilan Iklim untuk Program UEM, Wuppertal, Jerman
•    Desember 2008-Januari 2010: Koordinator Kegiatan Kampanye Internasional di Friends of the Earth International (FoEI), Amsterdam, Belanda. FoEI adalah organisasi federasi lingkungan hidup akar rumput terbesar di dunia, berada di 77 negara di seluruh dunia
•    Oktober 2004-November 2008: Koordinator Kampanye IFIs (International Financial Institutions) di Friends of the Earth International (FoEI), Amsterdam, Belanda
•    September 2002-Oktober 2004: Anggota Executive Committee (ExCom) dari Friends of the Earth International (FoEI), mewakili wilayah Asia dan Pasifik
•    Juni 2002-Januari 2004: Direktur Eksekutif Nasional WALHI
•    Juli 1995-Desember 1997: Koordinator FASUMAD (Forum Solidaritas untuk Masyarakat Adat Dayak), Samarinda
•    Juli 1993-Juni 1995: Direktur Eksekutif Yayasan PLASMA, Samarinda
•    Maret 1991-Juni 1993: Manajer Program di Yayasan PLASMA, Samarinda
•    Desember 1990-Februari 1991: Staf Informasi dan Dokumentasi di Yayasan PLASMA, Samarinda

*****

Tulisan selengkapnya bisa dibaca gratis di edisi terbaru Majalah Detik (Edisi 198, 14 September 2015). Edisi ini mengupas tuntas "Trump Effect!". Juga ikuti artikel lainnya yang tidak kalah menarik, seperti rubrik Nasional "Ning Surabaya Penantang Risma", Internasional "Ada di Mana Negara Arab", Ekonomi "Kereta Cepat Tak Akan Lewat", Gaya Hidup "Kenangan Lewat Furnitur Vintage", rubrik Seni Hiburan dan review Film "The Scorch Trial", serta masih banyak artikel menarik lainnya.

Untuk aplikasinya bisa di-download di apps.detik.com dan versi Pdf bisa di-download di www.majalah.detik.com. Gratis, selamat menikmati!! (nrl/nrl)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads