Berbagai teori dalam pencegahan dini sudah dilakukan namun tak berhasil. Padahal sudah banyak orang yang bicara soal pencegahan. Teorinya ini dan itu cara begini dan cara begitu, tapi semua teori selalu terbantahkan bila sudah musim kemarau.
Lantas sebagian orang menafsirkan lagi, apa urusan pemadaman api di lahan dengan pemerintah pusat. Bukankah saat ini sudah ada otonomi daerah sehingga daerah punya kewenangan penuh mengurusi wilayahnya sendiri?
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tuntutan seluruh provinsi di negera ini agar Rancangan Tata Ruang Wilayah (RTRWP) segera diperbarui, namun keinginan tersebut tidak pernah terealisasi. Akibatnya, peta yang dikeluarkan sudah puluhan tahun itu tidak lagi sesuai dengan fakta di lapangan. Banyak perkampungan dan perkotaan di mata pemerintah pusat masih berstatus hutan. Semua status kawasan hutan mutlak hak pemerintah pusat.
Status kawasan hutan itu macam-macam. Ada status taman nasional, suaka margasatwa, hutan lindung, hutan taman raya, hak penguasaan hutan, hutan produksi terbatas. Semua jenis tetek bengek status hutan itu tidak menjadi kewenangan daerah. Daerah hanya punya hak sekitar 20 persen dari luasan provinsinya untuk mengelola lahan sendiri. Selebihnya seluruh perizinan pelepasan kawasan hutan berada di tangan pusat.
Pemerintah pusat patut diduga telah lalai. Dia yang menetapkan kawasan hutan, namun tak pernah melihat fakta di lapangannnya. Sudah berapa banyak status kawasan hutan yang dijarah pengusaha nakal di republik ini. Tapi pemerintah anteng, seakan tak ada masalah apapun.
Padahal kawasan yang kini terbakar di Sumatera dan Kalimantan secara administrasi negara, berada di wilayah kekuasaan pemerintah pusat.
Kini, giliran api membara di Kalimantan dan Sumatera, muncul statemen bahwa perusahaan yang terbukti membakar akan dicabut izinya. Gertakan itu sebenarnya sudah lama disuarakan, cuma praktiknya untuk mengusut kadang sekadar angan-angan semata.
Asap kini mengepung di mana-mana. Lagi-lagi terjadi pertarungan sengit soal birokrasi yang berbelit-belit. Birokrasi yang begitu panjang menjadi malapetaka bagi puluhan juta rakyat di Sumatera dan Kalimantan.
Bagaimana tidak. Untuk urusan pemadaman kebakaran lahan, ada cara yang harus dilalui. Keterlibatan provinsi ikut campur di kabupaten, ibarat main tinju harus ada lempar handuk putih alias menyerah dari kabupaten. Setelah menyerah barulah pemprov boleh ikut campur.
Setelah diambil provinsi, syarat untuk bisa meminta bantuan pusat macam-macam lagi. Indikatornya bak seperti rapat di dewan. Dianggap sah pemerintah provinsi menyerah kalau sudah ada 50 persen plus satu kabupaten membuat surat tak mampu menanggulangi. Indikator lainnya, bandara harus tutup tiga hari berturut-turut.
Negara ini seolah-olah masih bermain-main dalam sistem birokrasi. Misalkan saja Riau, memiliki 12 kabupaten dan kota. Kalau 50 persen wilayah lahan di kabupaten/kota sudah terbakar, polusi udara sudah level berbahaya, maka pusat masih anteng karena memang syaratnya harus 50 persen plus 1.
Rakyat pun bingung. Entah siapa pula yang harus membuat aturan itu. Aturan itu selalu menjadi patokan dalam penanganan kebakaran lahan dan hutan.
Tidak sekadar indikator tersebut yang menjadi masalah. Persoalan lain muncul, provinsi merasa gengsi kalau menyerah ke pusat. Lantas memaksakan diri mampu menanggulanginya. Akibatnya, penanganan kabut asap terus molor. Pusat pun tinggal gampang mengklaim, bukan tidak mau membantu, tapi provinsi masih sanggup mengatasinya.
Padahal rakyat tidak butuh tahapan itu semua. Rakyat berpikir singkat. Kebakaran harus segera menjadi keroyokan pusat dan daerah. Tak butuh status siaga atau darurat.
Akibat birokrasi itulah, malapetaka asap di Sumatera dan Kalimantan sudah berjalan dua bulan. Pendidikan telah lumpuh, polusi udara sudah berbahaya. Sektor ekonomi pun turut berimbas.
Asap seakan menjadi permainan birokrasi tingkat tinggi. Apalagi di sana memang ada dana penanggulangan yang tidak sedikit. Ratusan miliar dana APBD dan APBN telah terkuras. Pemerintah masih berpatokan urusan asap pada level jarak pandang.
Padahal negeri tetangga Malaysia dan Singapura tidak melihat pada ukuran jarak pandang. Namun indikatornya adalah polusi udara. Jika polusi udara pada partikel debu 100, mereka sudah menganggap berbahaya. Sedangkan di Sumatera dan Kalimantan partikel debu kebakaran sudah pada level 700-an.
Bandara dipaksa terus buka. Persoalan pesawat tak berani mendarat, itu urusan pilot.
Mari kita simak lagi reaksi rakyat di Sumatera dan Kalimantan. Pantaulah medsos seperti Facebook yang paling laris manis. Persoalan asap adalah buah bibir rakyat sehari-hari. Mereka protes atas kebijakan yang begitu kaku di negara ini. Lantas beberapa warga mulai berani ngomel, bahwa NKRI itu hanyalah Jawa. Sedangkan Sumatera dan Kalimantan atau yang lainnya bukanlah Indonesia. Malah saking gondoknya melihat pemerintah pusat yang lambat dalam penanganan kebakaran lahan, warga menyentil di media sosial dengan kalimat singkat dan padat, 'NKRI bukan harga mati'.
Malah ada dalam celoteh warga Sumatera di medsos mengenang perjuangan PRRI. Di mana PRRI hadir di Sumatera karena sikap pusat yang tidak berlaku adil terhadap daerah. Persoalan asap ini pun lantas menjadi isu hangat untuk mengenang kembali perjuangan PRRI.
Riak-riak kecil ini seakan luput dari pantauan pemerintah. Tentunya kita tidak ingin persoalan asap lantas melunturkan nilai-nilai kesatuan dan persatuan di negeri ini. Tapi bila pemerintah lalai dalam penanggulangan, cepat atau lambat, riak kecil yang mungkin saat ini hanya sekadar lelucon, bukan tidak mungkin akan berbahaya ketika rakyat sudah pada titik jenuh.
*) Chaidir Anwar Tanjung adalah jurnalis di detikcom, bermukim di Riau. Tulisan ini adalah pandangan pribadi dan tidak mewakili pandangan tempat penulis berkarya. (cha/nrl)











































