Ruang Publik Pimpinan DPR
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom Refly Harun

Ruang Publik Pimpinan DPR

Senin, 07 Sep 2015 10:35 WIB
Refly Harun
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Ruang Publik Pimpinan DPR
Foto: Dikhy Sasra
Jakarta - Apa salahnya hadir dalam press conference seorang Donald Trump (DT)? Pertanyaan ini, bisa jadi, sedang menggayut di benak seorang Fadli Zon, seorang muda yang sangat cemerlang, yang sekarang duduk dalam singgasana Wakil Ketua DPR. Seperti yang tampak dalam wawancara dengan salah satu tv swasta, Jumat (4/9/15), Fadli emosi ketika perkara ini dipersoalkan – terlebih lawan debatnya adalah seorang Ray Rangkuti, seorang aktivis yang kita tahu sangat kritis pada soal-soal seperti ini.

Di akhir acara debat, Fadli menuduh tv swasta tersebut memang tidak pernah obyektif terhadap DPR (mungkin maksudnya terhadap pimpinan DPR, karena DPR secara keseluruhan berasal dari arus yang tidak sama sehingga tidak bisa disatukeranjangkan begitu saja).

Kalau Fadli Zon orang biasa, bukan Wakil Ketua DPR, soal seperti ini tetap akan menjadi domain pribadi Fadli. Mungkin tak akan ada orang yang peduli apa pun yang akan dilakukan kalau ia warga biasa. Akan tetapi, ia anggota sekaligus Wakil Ketua DPR. Ia pergi ke Negeri Paman Sam tentu dengan uang rakyat. Dengan uang rakyat ia menikmati perjalanan kelas satu, mulai dari tiket pesawat kelas bisnis, hotel yang tidak murah, hingga uang saku yang tidak sedikit.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Terhadap setiap uang yang dikeluarkan tersebut dituntut pertanggungjawaban. Hasil dari kunjungan tersebut tentu tidak bisa instan, bisa jadi baru dinikmati beberapa tahun ke depan oleh rakyat yang membiayai perjalanan tersebut. Oleh yang bersangkutan tentu manfaatnya sudah dinikmati langsung, misalnya Wakil Ketua DPR itu bicara soal jaringan (networking), yang bisa jadi menjadi barang mewah bagi sebagian besar kita. Bagi siapa? Yang pasti bagi dirinya sendiri sudah akan dinikmati. Itu pun kalau Trump masih ingat setelah pertemuan itu.
 
Bila rakyat protes terhadap kehadiran Fadli dan terutama Ketua DPR Setya Novanto dalam press conference Trump itu, sama sekali rakyat tidak boleh disalahkan. Tindakan apa pun yang mengoyak-oyak rasa keadilan publik oleh pejabat publik tentu layak dipersoalkan. Kalaupun ada yang mau disalahkan, salahkanlah mengapa Fadli Zon dan Setya Novanto menjadi pejabat di era bebas saat ini, di era di mana informasi segera menyebar, di era ketika tv bisa memberitakan sesuatu dengan cepat, di era hampir semua orang memegang gadget sehingga mudah menerima dan menyebarkan informasi dari tangan ke tangan. Alhasil, tidak ada perilaku pejabat publik yang tidak terpantau. Di negeri yang beribu-ribu km dari negeri ini sekalipun.

Jadi, senyum-senyum sendiri untuk suatu acara yang bagi rakyat tidak penting, apalagi ditambah selfie dengan gadis-gadis yang ada di sekitar press conference itu, tetap terbuka untuk dipersoalkan ketika pejabat  publik yang melakukannya dan yang sudah pasti dengan biaya rakyat. Fadli Zon mungkin menganggapnya biasa saja, terlebih ia mungkin sudah sering bolak-balik ke luar negeri. Tetapi bagi rakyat kebanyakan, yang sebagian besar cuma bisa bermimpi untuk menginjak Negeri Paman Sam, hal itu bukan perkara biasa.
 
Bila kemudian akhirnya ada beberapa anggota DPR berinisiatif mengadukan ini kepada Majelis Kehormatan Dewan (MKD), Fadli dan Ketua DPR Setya Novanto harus siap-siap memberikan penjelasan yang logis alias masuk akal akan kehadiran mereka dalam kegiatan Trump. Bila penjelasannya tidak logis, MKD tidak boleh segan-segan menjatuhkan sanksi kendati itu terhadap Ketua dan Wakil Ketua DPR.

Kasus Fadli dan Ketua DPR Setya Novanto ini harus menjadi pembelajaran bagi penjabat publik lainnya. Sudah terlalu sering pejabat publik di negeri tidak mau mendengar protes masyarakat akan penggunaan uang dan fasilitas publik. Hampir semua anggota DPR memanfaatkan jabatannya untuk berbondong-bondong ke luar negeri. Padahal, sudah berbilang negara yang mereka kunjungi selama menjadi pejabat publik. Perilaku yang sama menyebar pula ke pejabat-pejabat publik di lembaga lain. Selalu ada alasan untuk melakukan kunjungan ke luar negeri.

Studi banding, misalnya, sebuah alasan klasik yang selalu dianggarkan setiap tahun di mana pun instansi pemerintah berada. Padahal, semua orang tahu, studi banding adalah bahasa halus (eufimisme) dari jalan-jalan. Anggaran negara tentu tidak bisa membuat mata anggaran "jalan-jalan", hanya studi banding yang bisa.
   
Ketua dan Wakil Ketua DPR tentu bertanya lagi, etika apa yang dilanggar? Etika itu soal kepantasan, tidak hanya aturan tertulis. Soal keadilan yang dalam satu momen bisa dirasakan sama bagi banyak orang bahwa hal tersebut tidak adil. Negeri ini yang masih terus dilanda krisis, dolar sudah di atas 14 ribu rupiah, pengangguran makin menganga jumlahnya,  kegiatan ekonomi untuk kesejahteraan rakyat tersendat-sendat, tetapi pejabat-pejabat publiknya malah asyik melancong, hadir dalam press conference dari seorang tokoh yang belum lagi menjabat apa-apa, tetapi karena rasa minder kita sendiri sebagai pribadi dan anak bangsa kita menjadi bangga.


Refly Harun
Pengajar dan Praktisi Hukum Tata Negara,
Mengajar di Program Pascasarjana UGM (erd/erd)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads