Partai ini benar-benar terbelah. Masing-masing sudah manjatuhkan talak tiga. Aburizal Bakrie enggan mengakui kepengurusan Agung Laksono. Tokoh Munas Ancol ini juga sama. Keduanya sulit dipersatukan, dan Partai Golkar di ambang kehancuran. Bakal stagnan serta laten geger saban ada gawe besar.
Sebagai partai yang berpengalaman, semua kader sebenarnya menyadari itu. Ketika masih 'berkelahi', mereka tahu ada yang mengacak-acak. Melakukan politik pecah-belah, mengoyak kerukunannya. Mencabik-cabik kekuatannya untuk kepentingan tertentu lewat celah konflik individu. Dan ini yang sekarang menggerogoti gerbong besar yang menjadi wadah mereka.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Undangan pemerintah yang dihadiri Aburizal Bakrie dan Agung Laksono baru-baru ini adalah bentuk 'rasa malu' itu. Betapa partai besar ini 'di-dua-kan' di satu meja bersama delegasi partai lain. Pemandangan ini bukan cermin kebesaran jiwa dari penggagas Munas Bali dan Munas Ancol, tetapi bentuk ke-tidak-berdaya-an Partai Golkar mengatur dirinya sendiri. Kehadiran keduanya di pertemuan itu melahirkan cibiran. Sinisme.
Lahirnya 'Golkar kembar' juga menimbulkan keharuan bagi kader partai ini. Di saat ulang tahun Akbar Tandjung bulan lalu, Yorrys Raweyai tidak datang, juga Ical yang kebetulan sedang ke Amerika. Keduanya mengirimkan karangan bunga dan disandingkan. Ini menerbitkan tawa, sekaligus tangis haru. Betapa kerukunan 'basodara' itu harus berakhir dengan saling berseteru. Kader rindu semuanya kembali menyatu.
Perpecahan ini juga telah menghilangkan kekuatan partai ini. Sikap kritis tidak bakal dipunyai lagi. Itu menjadi bumerang jika dilakukan. Sebab akan menyulut kembalinya perseteruan internal. Tidak salah jika terbelahnya Partai Golkar juga berimbas pada lumpuhnya Kelompok Merah Putih (KMP), apalagi setelah Partai Amanat Nasional (PAN) menyeberang.
Dalam situasi keropos itu kini mulai muncul selentingan untuk menyelamatkan partai ini. Jika Aburizal Bakrie dan Agung Laksono tidak 'disukai', perlu dicari figur baru yang bisa diterima dua kubu. Risikonya lebih kecil dibanding Partai Golkar 'dikapling-kapling' seperti embrio Nasdem dan Hanura. Nama yang diwacanakan untuk menempati posisi itu adalah Airlangga Hartarto dan Setya Novanto, selain tidak tertutup kemungkinan bertambah.
Menyatukan Partai Golkar, jalan memang masih panjang. Tapi mewujudkan itu bukan tidak mungkin. Selain faktor kekerabatan dan kerinduan masih kental antar-kader, yang kedua, para senior partai ini mulai dihinggapi kelelahan dan kejenuhan terhadap konflik yang tidak produktif itu.
Konflik ini adalah kesia-siaan. Bak Bharatayudha membunuhi saudara sendiri. Padang Kurusetra anyir darah. Kurawa habis menyisakan Pandawa. Dan sang raja Parikesit tidak habis-habisnya menangisi itu. Permintaannya pada dewa, 'hidupkan kembali saudara-saudaraku Kurawa, karena tanpa mereka hidup terasa sepi.'
Untuk itu menyatulah sekarang Partai Golkar, sebelum kelak merutuki nasib seperti Parikesit itu.
*Budayawan di Jakarta (Djoko Suud/nrl)