Β
Sebelumnya, Wakil Presiden Jusuf Kalla pernah pula menyampaikan bahwa saat ini Pemerintah sedang menyusun peraturan kebal hukum yaitu Peraturan Presiden dan Instruksi Presiden untuk memberikan kekebalan hukum bagi pejabat pemerintahan dalam pengambilan kebijakan strategis. Β
Β
Hadirnya rencana pengaturan tersebut untuk mempertegas jaminan pelaksanaan percepatan pembangunan infrastruktur dan menjadi jaminan bagi para pejabat dan kepala daerah dari kasus hukum dalam melaksanakan kebijakan pembangunan infrastruktur. Frasa "kebal hukum" terdengar memang terlalu keras, namun 'kebal hukum' dapat lebih tepat bila diubah dengan 'antikriminalisasi'. Lalu, bagaimanakah urgensi rencana beleid tersebut? Β
Β
Secara psikologis, pascapenetapan Dahlan Iskan sebagai tersangka atas dugaan korupsi pembangunan proyek 21 Gardu Induk (GI) PLN di wilayah Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara serta penetapan petinggi PLN lainnya dalam kasus dugaan korupsi pengadaan flame turbin pada 12 pembangkit listrik dan gas sektor Belawan tahun 2007-2009 senilai Rp 23,98 miliar berakibat secara psikologis bagi pejabat takut mengambil kebijakan strategis. Β
Β
Bahkan proyek strategis Pemerintah yang dieksekusi oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan PT PLN hingga saat ini mengalami kendala suasana psikologis kriminalisasi atas beberapa kebijakan dalam eksekusi megaproyek pembangunan pembangkit listrik sebesar 35.000 MW, padahal proyek tersebut sangat urgen dengan tujuan untuk meningkatkan rasio elektrifikasi listrik yang saat ini berjalan lamban. Β
Β
Data lain dari Kementerian Keuangan, terdapat dana yang sudah ditransfer dari pemerintah pusat yang berhenti di bank-bank pembangunan daerah sebesar Rp255 triliun karena pejabat daerah takut dikriminalisasi apabila akan melaksanakan proyek pembangunan yang telah disahkannya. Β
Β
Kekakuan Hukum
Β
Ancaman kriminalisasi pejabat atas kebijakan yang dibuatnya ada di depan mata, namun di sisi lain percepatan pelaksanaan proyek strategis untuk memenuhi kebutuhan dasar dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, tidak dapat ditunda lagi. Padahal, regulasi mengatur secara ketat mengenai prosedur yang sangat sulit diatasi, misalnya permasalahan pengadaan tanah, pengadaan barang dan jasa, tata ruang, lahan pengganti kawasan hutan, dan perizinan yang panjang. Β
Β
Aturan inilah yang kemudian menjadi alasan penegak hukum untuk mengkriminalisasi pejabat pemerintahan karena membuat dan melaksanakan proyek tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan, padahal pejabat pemerintahan dituntut untuk segara mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu dan harus segara guna kemanfaatan dan kepentingan umum yang lebih besar. Β
Β
Dalam pemikiran filsafat hukum, pemikiran yang menuhankan peraturan disebut paham positivisme hukum. Berbeda dengan Satjipto Rahardjo, yang berpendapat bahwa "Hukum untuk manusia, bukan manusia untuk hukum". Untuk itu apabila hukum itu tidak sesuai maka bukanlah hal yang haram hukum itu untuk diotak-atik demi keadilan dan kemanfaatan umum.
Β
Dikresi Pejabat dan Akrobat Hukum
Β
Apakah kebuntuan tersebut, dapat diselesaikan dengan diskresi? Sesungguhnya dalam UU No. 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan diatur mengenai kewenangan pengambilan diskresi oleh pejabat pemerintahan. Β
Β
Diskresi dilakukan bertujuan untuk: melancarkan penyelenggaraan pemerintahan, mengisi kekosongan hukum, memberikan kepastian hukum, dan mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu guna kemanfaatan dan kepentingan umum.
Β
Adapun persyaratan diskresi yaitu: sesuai dengan tujuan diskresi, tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik, berdasarkan alasan-alasan yang objektif, tidak menimbulkan Konflik Kepentingan, dan dilakukan dengan iktikad baik. Β
Β
Sayangnya, UU tersebut mengunci setiap diskresi harus tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Untuk itu, perlu suatu akrobat hukum dengan mengeluarkan kebijakan dalam suatu Peraturan Presiden mengenai antikriminalisasi pejabat dalam percepatan pelaksanaan proyek strategis nasional yang di dalamnya mengatur mengenai pengambilan diskresi khusus. Β
Β
Pengambilan diskresi khusus dapat dilakukan apabila dengan itikad baik atau tidak ada mens rea. Mens Rea adalah sikap batin pelaku perbuatan pidana yang mencakup unsur-unsur pembuat tindak pidana yaitu sikap batin yang disebut unsur subyektif suatu tindak pidana atau keadaan psikis pembuat (Utrecht, 1960: 257). Β
Β
Seseorang dapat dipidana tidak cukup hanya karena orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Sehingga, meskipun perbuatannya memenuhi rumusan delik dalam peraturan perundang-undangan dan tidak dibenarkan (an objective breach of a penal provision) namun hal tersebut belum memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana (Prof. Sudarto,S.H.). Β
Β
Hal ini karena harus dilihat sikap batin (niat atau maksud tujuan) pelaku perbuatan pada saat melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum tersebut. Selain sikap batin pelaku, kebijakan yang dibuat oleh pejabat harus dilakukan berbasis kajian yang mendalam, kehati-hatian, independen, dan tanpa konflik kepentingan. Apabila pejabat pengambil kebijakan menerapkan hal tersebut, ia tidak dikriminalisasi. Β
Β
Sayangnya, akrobat hukum tersebut apabila dibenturkan dengan pemahaman hukum secara mekanis maka acrobat tersebut dianggap berpotensi bertentangan dengan undang-undang terkait, misalnya KUHAP, UU Tindak Pidana Korupsi, UU Kehutanan, UU Penataan Ruang, dan aturan pengadaan barang/jasa. Inilah pemahaman positivisme hukum yang mem-berhala-kan aturan tertulis tanpa melihat aspek kemanfaatan dan keadilannya.
Β
Peraturan Sapu Jagat
Β
Siasat prosedural yang dapat dilakukan yaitu menggagas "omnibus law". Di berbagai negara dunia dikenal konsep "omnibus law". Konsep ini tumbuh dan berkembang di negara dengan tradisi common law system seperti Amerika Serikat. Β
Β
"Omnibus law" secara sederhana mengandung konsepsi sapu jagat atau "for everything". "Omnibus law" merupakan aturan yang bersifat menyeluruh dan tidak terikat pada satu rezim pengaturan saja, namun dalam satu aturan mengatur berbagai hal dan memiliki kuasa atas peraturan yang lain. Β
Β
Level idealnya ialah undang-undang. Dalam khasanah ilmu perundang-undangan Indonesia, bisa disetarakan dengan undang-undang pokok. Walau kedudukan undang-undang pokok dalam hierarki peraturan perundang-undangan Indonesia, selevel dengan undang-undang lainnya. Β
Β
Konsepsi "omnibus law" ini sepertinya diupayakan oleh Pemerintah diwujudkan dalam suatu peraturan presiden mengenai antikriminalisasi atas percepatan pelaksanaan proyek strategis nasional yang di dalamnya mengatur berbagai hal agar percepatan pelaksanaan proyek strategis nasional dapat tercapai. Β
Β
Apabila konsepsi sapu jagat ini berbaju peraturan presiden maka tentu ini berpotensi menabrak berbagai peraturan di atasnya. Terkait kriminalisasi pejabat pemerintahan, misalnya peraturan presiden ini berupaya mengatur mengenai kewenangan aparat penegak hukum yang harus mendahulukan proses administratif sesuai dengan UU Administrasi Pemerintahan sebelum melakukan penanganan laporan dugaan tindak pidana yang berkaitan dengan pelaksanaan proyek strategis. Β
Β
Proses administratif tersebut sebagaimana diatur dalam UU No.30 Tahun 2014 yaitu atas laporan dugaan tindak pidana yang berkaitan dengan pelaksanaan proyek strategis maka penanganan laporan dilakukan setelah adanya hasil pemeriksaan/audit dari Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP) yaitu BPKP atau Inspektorat, dan memintakan hasilnya terlebih dahulu kepada APIP dalam hal belum adanya hasil pemeriksaan/audit. Setelah ada temuan kerugian negara berdasarkan hasil audit BPKP atau BPK, maka aparat penegak hukum baru dapat memproses pidana.
Β
Peraturan sapu jagat tersebut, harus dieksekusi lebih teknis dengan adanya Instruksi Presiden kepada bawahannya, khususnya Kapolri dan Jaksa Agung untuk tidak secara mudah dan cepat mengkriminalisasi pejabat pemerintahan yang murni membuat dan melaksanakan kebijakan dalam rangka mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu guna kemanfaatan dan kepentingan umum, tanpa ada mens rea atau good faith, prudence, care, independent, dan no conflict interest maka bila terjadi kesalahan maka sanksi administratif-lah yang ditempuh. Β
Β
Bila peraturan 'kebal hukum' yang demikian yang dimaksud Jusuf Kalla, maka ini menjadi terobosan hukum yang dilakukan oleh pemerintah saat ini untuk kepentingan umum yang lebih besar disbanding kepentingan hukum.
Β
Tentu rencana beleid ini akan menjadi kotroversi. Pemerintah akan dianggap sesat berpikir atas terbitnya Perpres dan Inpres ini. Β
Β
Namun sekali lagi, urgensi instrumen hukum untuk mengatasi hambatan agar tidak ada kriminalisasi kebijakan pejabat pemerintahan harus dibuat agar mandegnya pelaksanaan pembangunan strategis yang dilakukan secara cepat dapat direalisasikan. Terakhir, hukum itu untuk manusia, bukan manusia untuk hukum.
Β
*) Dr. Ahmad Redi, SH, MH adalah Pengajar di FH Universitas Tarumanagara, Doktor Hukum Universitas Indonesia, Koordinator Kaukus Alumni Muda Undip
Halaman 2 dari 1