Jangan hanya diperhitungkan oleh bangsa-bangsa lain karena kita punya sumber daya alam yang besar, upah buruh yang relatif murah dan menjadi salah satu Negara terkorup di dunia sehingga mudah untuk diakali dengan uang lebih atau sogokan atau pungli.
Bangsa lain senang berinvestasi di Indonesia meski penuh risiko karena marketnya besar dan pejabatnya sangat ramah dan mau untuk diajak korupsi. Pejabatnya tidak peduli ulah mereka, meski sangat merugikan bangsa ini. Yang penting pejabat tersebut dan tujuh turunannya kaya raya. Bagi investor tidak masalah karena semua biaya akan dimasukkan dalam perhitungan harga jual barang/jasa yang harus dibayar oleh konsumen.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lalu apa indikatornya yang menyatakan bahwa setelah merdeka selama 70 tahun, rakyat Indonesia sudah swa sembada pangan, energi dan air ? Kalau sudah merdeka kok rakyat sulit dapat daging sapi, beras, gula, dan air. Padahal katanya tanah kita subur dan kaya mineral. Kok bisa listrik, air dan BBM sulit serta mahal.
Kesalahan Mendasar Pimpinan Negara di 70 Tahun Merdeka
Kemerdekaan Indonesia yang diproklamirkan oleh Soekarno-Hatta di Jakarta pada tanggal 17 Agustus 1945 sepertinya hanya dinikmati oleh segelintir rakyat Indonesia. Banyak dari rakyat belum mendapatkan pelayanan publik yang baik.
Mau berangkat kerja atau sekolah harus adu nyawa di jalanan menggunakan kendaraan roda 2 karena buruk dan langkanya angkutan umum. Mau menikmati air minum yang sehat sulit, mau pakai gas bumi supaya murah tidak jelas harus kemana dsb.
Sampai hari ini publik belum pernah tahu, apakah Pemerintah sudah mempunyai cetak biru Air bersih, Pangan dan Energi ? Bagaimana kita bisa percaya kalau Pemerintah mengatakan dalam 5 tahun mendatang kita akan swasembada pangan, sementara sampai hari ini nilai impor pangan terus meningkat.
Begitu pula dengan cetak biru energi. Tingginya ketergantungan impor BBM Indonesia dan tidak jelasnya program konversi BBM ke gas atau energi baru terbarukan, membuat ketersediaan energi di Indonesia masih tidak menentu.
Dari sisi air bersih, dengan dibatalkannya UU No. 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air (SDA) pada awal tahun ini oleh Mahkamah Kosntitusi (MK) membuat nasib rakyat Indonesia untuk memperoleh air bersih masih belum jelas. Hari ini rakyat di Kabupaten Pandeglang (20 Kecamatan), Kabupaten Serang 10 Kecamatan dan Kabupaten Tangerang 6 Kecamatan sudah kesulitan air karena keringnya Sungai Cisadane. Begitu pula daerah-daerah lainnya, termasuk sebagianwilayah DKI Jakarta.
Bagaimana mau swasembada pangan ketika lahan pertanian produktif sudah dikonversi menjadi perumahan, bangunan komersial, jalan tol dan sebagainya. Bagaimana masyarakat bisa tersenyum dan hidup bahagia ketika masih banyak tengkulak di sektor tanaman pangan karena ketidak hadiran Pemerintah di tengah-tengah petani, kecuali saat seremonial atau panen raya yang tidak penting.
Bagaimana petani mau terus menanam tanaman pangan ketika harga pupuk dan bibit mahal serta buruk kualitasnya. Lebih baik mereka kerja sebagai buruh kasar di sektor informal di kota dengan penghasilan yang lebih besar daripada jadi petani atau buruh tani. Bagaimana masyarakat mau tenang ketika Pemerintah tidak punya program nyata di sektor hulu pertanian yang baik?
Langkanya beras, gula, daging sapi, telur dll menunjukkan bahwa Negara tidak hadir dan tidak serius mengurus sektor pangan. Banyaknya pangan impor yang menggunakan bahan tambahan pangan (BTP) untuk non pangan (misalnya untuk tekstil, mayat dsb) merupakan bukti lain bahwa Negara memang tidak hadir untuk rakyatnya.
Ketidaktegasan Pemerintah di era reformasi membuat persoalan energi semakin menyengsarakan rakyat, khususnya pasca munculnya UU No. 22 Tahun 2001 Tentang Migas. Hari ini publik dibuat bingung dengan ketidakjelasan siapa penguasa energi di hulu dan di hilir. Kekusutan ini bertambah lagi ketika pihak swasta hanya mau jadi pedagang atau trader energi tanpa mau membangun infrastrukturnya. Kembali rakyat juga belum pernah membaca atau melihat cetak biru energi Indonesia.
Langkah Yang Harus Segera Diambil Pemerintah
Pertama, pastikan Pemerintah, siapapun Kementerian yang bertanggung jawab, untuk segera membuat cetak biru terkait dengan energi, air dan pangan. Hal ini wajib dilakukan supaya rakyat memperoleh kepastian dalam menata kehidupan diri dan keluarganya kedepan. Melalui cetak biru publik bisa mengetahui niat serius Pemerintah untuk swasembada pangan, energi dan air.
Kedua, Pemerintah harus mempunyai program hulu yang jelas dan masuk dalam cetak biru. Untuk menangani swa sembada pangan, Pemerintah harus mempunyai keberpihakan yang jelas kepada petani dan peternak disisi hulu rantai pangan serta pola distribusi pangan di sektor hilir.
Ketiga, Pemerintah harus secara ketat menjalankan semua isi cetak biru dengan disiplin dan akurasi yang tinggi. Tanpa ini semua dapat dipastikan dalam kurun waktu sekitar 15 tahun dari sekarang di Indonesia akan terjadi perang saudara karena rakyat dan pejabat berkelahi memperebutkan pangan, energi dan air yang sudah semakin menipis suplainya.
AGUS PAMBAGIO
Pengamat kebijakan publik
(Agus Pambagio/nrl)











































