Β
Gombloh bukan pahlawan yang bertarung nyawa ketika merebut kemerdekaan di tahun '45 atau sebelumnya. Dia juga bukan pengarang lagu-lagu wajib yang dinyanyikan saban perayaan hari kemerdekaan. Dia hanya seniman lokal. Butut dan gembel penampilannya. Tapi di dadanya terus bergelora semangat mengisi kemerdekaan.
Β
Nama asli Gombloh adalah Soedjarwoto Soemarsono, lahir di Jombang 17 Juli 1948. Dari keluarga rakyat jelata yang berpikir jauh ke depan. Ingin anaknya menjadi 'orang', tapi dihadapkan kenyataan, sang putra justru lebih memilih berpikir merdeka dan mereguk kebebasan. Tamat SMA 5 Surabaya melanjutkan ke ITS (Institut Teknologi 10 Nopember Surabaya). Tidak pernah kuliah, drop out, dan sejak itu hidup menggelandang. Berpindah-pindah kota, akhirnya mangkal di Bengkel Muda Surabaya (BMS). Sebuah 'bengkel kesenian' yang didirikan para 'seniman tua' kota ini.
Β
Di tahun 70-an itu, 'anak-anak merdeka' itu berkumpul di sini. Soliter di cawan yang sama. Berpikir sendiri untuk menemukan identitas diri. Tanpa ada yang mengganggu satu sama lain. Dan kebebasan itu melahirkan 'produk seni' yang mengharumkan Kota Surabaya. Barometer sastra, teater dan musik ada di kelompok ini. BMS menjadi tempat ampiran para seniman dari mana saja. Untuk dialog dan 'menikmati' hidup soliter di tengah solidaritas yang tinggi. Itu karena inovasi tidak pernah henti dilakukan para penghuni di setapak jalan yang dulu nempel di gedung Bioskop Mitra ini.
Β
Soliterisme itu nampaknya yang menjadikan mereka menjadi seniman yang berkarakter. Mereka tidak partisan. Tidak kompromi terhadap kelompok yang menginginkan 'keterlibatannya'. Bahkan ketika sosio drama digalakkan untuk sosialisasi program 'Pengamalan Pancasila' di era Orba, mereka enggan terlibat. Itu karena 'sosio drama' adalah 'drama' untuk orang-orang gila mendekati waras.
Β
Tapi karena soliterisme itu, maka BMS tak kunjung mampu melahirkan kader baru. Tiap tahun dibuka pendaftaran, dari ratusan yang daftar, nyantol satu saja sudah bagus. Kader baru tidak siap 'kumpul' dengan seniornya yang diam dalam gemuruh. Yang kehilangan rasa basa-basi.
Sebaliknya, justru orang-orang gila beneran yang 'berdatangan' ke kelompok ini cepat menyatu dan sembuh. Β
Β
Beberapa puluh tahun lalu saya sering terusik melihat di tembok-tembok rumah di berbagai kota terdapat tulisan AAAA atau MMM dan sejenisnya. Itu adalah 'teman gila' yang diajari abjad anak-anak BMS dan belum sembuh. Adakah dia sekarang sembuh atau sudah tiada, ketika graffiti itu tak lagi ditemui di kota-kota?
Β
Kami hidup di lingkungan bebas dan merdeka seperti itu. Tidak sedikit penyair nasional lahir dari bengkel ini, termasuk yang melawan kriteria kepenyairan dari kelompok ibukota. Teaterawan juga banyak yang mengharumkan nama bangsa karena diundang ke berbagai negara. Juga musisi.
Β
Leo Kristi, Franky & Jane, dan Gombloh adalah nama-nama yang dikenal. Dari Lemontrees membawanya solo karier. Dan liriknya yang liris, penuh sentilan, heroik, dengan nasionalisme, mencirikan, Surabaya yang Kota Pahlawan itu memang benar melahirkan 'pahlawan' dari sisi yang berbeda. Menyuarakan konstruktifisme mengisi alam merdeka.
Β
Jika Leo Kristi dan Franky & Jane telah mengecap sukses jauh sebelumnya, Gombloh tidak begitu. Kendati Lepen sukses dan diikuti dengan album yang lain, tetapi cita-cita Gombloh saat masih gembel belumlah dinikmati. Dia selalu membayangkan lagu-lagunya kelak dinyanyikan orchestra besar, dengan semangat merah putih. Β
Β
Maka tatkala serpihan 'Kebyar-kebyar' sering menyeling di antara lagu Indonesia Raya, dan Hari Merdeka, tak terasa air bening jatuh di pelupuk mata. Air mata yang mengingatkan, alangkah bahagianya sang sahabat yang 9 Januari tahun 1988 dipanggil Yang Kuasa.
Β
Indonesia merah darahku, putih tulangku, bersatu dalam semangatku. Kebyar-kebyar di langit jingga. Biarpun matahari terbit dari barat, kau tetap Indonesiaku. Semoga kau mendapat ampunan dari-Nya, sahabat.
Β
*) Djoko Suud Sukahar adalah pemerhati sosial budaya, tinggal di Jakarta.
Halaman 2 dari 1











































