Reshuffle: Jembatan dan Keseimbangan Jokowi
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom Refly Harun

Reshuffle: Jembatan dan Keseimbangan Jokowi

Kamis, 13 Agu 2015 11:11 WIB
Refly Harun
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Reshuffle: Jembatan dan Keseimbangan Jokowi
Foto: Safir Makki
Jakarta - Politik tidak bekerja di ruang teori, tidak di ruang hampa, tapi di altar realitas. Publik selalu mengharapkan seorang Presiden, siapa pun dia, memilih pembantu-pembantu yang tidak hanya menggambarkan bekerjanya politik, terutama keseimbangan antara kekuatan-kekuatan yang ada, melainkan mereka yang mampu mengemban janji-janji kesejahteraan bagi masyarakat sesuai amanat konstitusi: melindungi segenap bangsa, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa.

Namun, idealitas sering hanya di atas kertas. Altar realitas selalui diwarnai dengan kompromi-kompromi yang menyandera tujuan bernegara. Dari enam menteri yang terjengkang di reshuffle Jokowi jilid pertama ini – sangat mungkin akan ada reshuffle-reshuffle selanjutnya – empat di antaranya menteri yang memang tidak bergayut pada kekuatan politik. Mereka hadir lebih sebagai sosok yang independen. Menteri-menteri yang kuat mencengkeram penopang politik, yaitu partai-partai pendukung Jokowi, meski tidak bekerja maksimal, bahkan sering menjadi bulan-bulanan publik dan media, tetap selamat. Di antara mereka bahkan ada 'bangsawan' yang tak akan terusik sekalipun meski, ekstremnya, hanya tidur-tiduran, tidak bekerja.

Andrinof Chaniago, Andi Widjajanto, Indroyono Soesilo, dan Rachmat Gobel adalah menteri (pejabat setingkat menteri) yang tak punya penopang politik. Mereka terangkat dan diangkat semata-mata karena kemauan Presiden Jokowi atas nama hak prerogatif. Atas nama hak prerogatif pula mereka 'dibuang'. Dalam masa pemerintahan SBY, mereka yang dibuang itu biasanya dipungut kembali untuk didutabesarkan atau diberikan jabatan lain sebagai akibat luka politik yang timbul karena di-reshuffle. Entah dalam pemerintahan Presiden Jokowi.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sofjan Djalil, karena ada penopang poltik yang kokoh, hanya tergeser dari seorang menteri koordinator menjadi 'hanya' Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas. Jokowi akan melukai Wapres Jusuf Kalla bila menghilangkan sama sekali Sofjan Djalil karena sudah menjadi pemahaman publik bahwa Sofjan adalah 'orangnya JK'.

Alhasil, hanya Tedjo Edhy Purdijatno, sosok dengan penopang poiltik Parta Nasdem, yang tergeser. Pengganti Tedjo, Luhut Binsar Pandjaitan, pun tidak berasal dari Partai Nasdem, melainkan 'orang Jokowi' sendiri. Tergesernya Tedjo dengan catatan ada 'keikhlasan' dari Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh. Kalau Surya ngotot, bisa jadi pergeseran urung – namun keikhlasan itu juga harus dibaca dengan aksioma politik tidak ada makan siang yang gratis, no free lunch.   

Dua Sosok

Bagaimana dengan para pengganti? Untungnya Presiden Jokowi menggantikan sosok-sosok tanpa penopang tersebut dengan mereka yang mayoritas serupa: Rizal Ramli, Darmin Nasution, dan Thomas Lembong. Hanya Pramono Anung yang masuk sebagai penambah represantasi parpol.   
Saya tidak akan mengomentari menteri-menteri dari bidang ekonomi karena merasa tidak kompeten. Dua sosok baru saja yang ingin saya soroti, yaitu Luhut B. Pandjaitan dan Pramono Anung. Dua sosok ini sebenarnya menggambarkan keseimbangan baru antara Jokowi dan Teuku Umar (baca: Megawati).
 
Ketika kabinet Jokowi dilantik pada Oktober tahun lalu, segera terlihat tidak ada orang PDIP atau Teuku Umar dalam lingkar dekat Jokowi. PDIP sebagai partai pengusung utama tidak berada di istana. Istana berisi dua orang profesional dan seorang loyalis Jokowi, yaitu Andi Widjajanto, Pratikno, dan belakangan Luhut Pandjaitan setelah Jokowi mengadakan jabatan baru sebagai Kepala Staf Kepresidenan.

Andi Widjajanto dan Menteri Sekretaris Negara Pratikno adalah profesionall perguruan tinggi. Mereka adalah para pengajar di UI dan UGM. Pratikno malah menduduki kursi Rektor UGM sebelum direkrut ke ring istana. Adapun Andi, banyak yang menyangka mewarisi trah PDIP karena putra Theo Sjafei, tokoh mumpuni PDIP, tetapi ternyata tidak.

Andi jauh lebih independen dalam bersikap. Sama sekali tidak tampak sebagaii 'wakil PDIP' di kabinet. Bahkan belakangan ia menjadi sasaran tembak kalangan PDIP dengan istilah "trio macan". Selain Andi, macan-macan lainnya adalah Luhut dan Rini Sumarno. 'Trio macan' inilah target utama reshuffle. Nyatanya hanya Andi yang terguling. Luhut dan Rini selamat.

Pengganti Andi adalah orang PDIP, Pramono Anung. Pramono sesungguhnya tidak lagi berada di lingkar elite PDIP, tetapi ia relatif bisa diterima Jokowi. Sementara komunikasi Pramono ke Megawati pun masih bisa dibangun dengan baik. Pramonolah yang diutus Megawati bersama Menkumham Yasonna Laoly untuk menemui Jokowi agar melantik Komjen Budi Gunawan sebagai Kapolri sebagai jembatan komunikasi Jokowi-Megawati, demikian pula sebagai representasi kepentingan PDIP di istana, Pramono kiranya sosok yang tepat. Soalnya adalah apakah kinerjanya nanti cukup mumpuni.

Kuat dan Loyal

Bagaimana dengan Luhut Pandjaitan? Luhut bisa dibilang merupakan satu-satunya sosok kuat yang tidak ditopang oleh parpol. Sudah menjadi rahasia umum, kalangan PDIP tidak menyukai sosok yang satu ini, terbukti dengan label satu dari 'trio macan' yang melekat padanya. Namun, bagi Presiden Jokowi, Luhut adalah orang kuat yang loyal. Sebagaimana sering diberitakan, Jokowi sudah mengenal Luhut karena menjadi mitra bisnisnya.

Kuat dan loyal, tidak mudah mendapatkan sosok seperti ini bagi seorang Presiden. Bila ada sosok seperti itu sangat mustahil bila tidak direkrut. Di media ini, saya pernah mengatakan bahwa Jokowi sesungguhnya dilingkari empat orang kuat yang, sayangnya, tidak bisa dikatakan loyal, yaitu Wapres Jusuf Kalla, Megawati, Surya Paloh, dan Hendropriyono. Jangankan diharapkan loyal, empat sosok ini malah terkesan 'mengatasi' Presiden Jokowi. Wapres Jusuf Kalla, misalnya, tidak pernah segan untuk memperlihatkan perbedaan pendapat dengan Presiden Jokowi. Luhut hadir sebagai penyeimbang dari empat kekuatan ini.

Soalnya adalah, dengan diangkat sebagai Menkopolhukam, bagaimana nasib Luhut sebagai lingkar dekat istana. Meski tidak diatur dalam undang-undang dan hanya berdasarkan peraturan presiden, jabatan Kepala Staf Kepresidenan jauh lebih strategis dari poisisi menteri apa pun. Bila kewenangan menteri relatif terdefinisikan sehingga tidak mudah lari ke sana kemari, tidak demikian halnya dengan Kepala Staf Kepresidenan. Luhut bisa mengerjakan apa saja yang dipandang strategis, bahkan ikut pula 'cawe-cawe' mendamaikan Partai Golkar yang terbelah. Mereka yang ingin melihat Luhut keluar dari lingkar istana pastii menginginkan sosok kuat ini menjadi menkopolhukam saja, yang kerjanya sudah terdefinisikan. Nyatanya, paling tidak hingga saat ini, Jokowi masih mempertahankan Luhut dan belum menunjuk Kepala Staf Kepresidenan yang baru.

Kita selalu berharap Republik ini bekerja dengan idealitas. Namun, idealitas sering selalu berbeda dengan realitas, sebagaimana das sein (senyatanya) berbeda dengan das sollen (seharusnya). Meski tidak semua ideal, mudah-mudahan reshuffle pertama Jokowi ini membawa angin segar.

Refly Harun
Pengajar dan Praktisi Hukum Tatanegara,
Mengajar di Program Pascasarjana UGM     
    
     (nrl/nrl)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads