Β
Hanya, kebijakanΒ iniΒ pada dasarnya tidaklah menyelesaikan masalah. Sebab, waktu perpanjangan yang demikian sempit hanya dapat dimanfaatkan pasangan calon yang akan diusung partai politik, bukan untuk calon dari jalur perseorangan. Dengan ruang yang hanya terbatas bagi partai politik, perpanjangan pendaftaran tak lebih sekadar menyediakan waktu bagi transaksi politik pragmatis parpol agar tetap mempertahankan pilkada terselenggara pada 2015.Β Hal ini rawanΒ munculnya calon boneka sebagai hasil transaksi politik. Mengapa demikian?
Β
Munculnya fenomena calon tunggal di sejumlah daerah lebih disebabkan faktor begitu kuatnya figur calon petahana. Partai politik yang berhak mengajukan calon tetapi tidak berkenan bergabung dengan petahana lebih memilih untuk tidak mengajukan calon. Sebab, petahana merupakan lawan politik, sementara mereka pun tidak memiliki figur kuat yang dapat mengimbangi. Pilihan realistis sekaligus pragmatisnya adalah tidak mengajukan calon.
Β
Bila ketidaktersediaan figur yang menjadi masalah, lalu bagaimana mungkin hal ini dapat dijawab dengan hanya memperpanjangΒ waktu pendaftaran? Bagaimana mungkin waktu 3 hari dapat dipergunakan untuk menemukan atau menciptakan figur yang secara mengejutkan mampu mengimbangi calon tunggal yang amat potensial untuk menang? Β
Β
Hal yang hampir mustahil ini sesungguhnya menuntun logika pada kepastian hadirnya calon boneka. Calon yang lahir dari pesanan, bukan muncul dari sebuah proses kaderisasi ataupun kontestasi yang terjadi secara alamiah dan sehat.
Β
Lebih jauh,Β bagi partai politik pengusung calon tunggal dengan figur kuat, hadirnya lawan tanding tentu menjadi harapan. Sebaliknya, parpol yang berhadapan dengannya akan memanfaatkan situasi guna menaikkan posisi tawar. Β
Β
Lebih-lebih, adanya ketentuan penundaan pilkada jika hanya terdapat satu pasangan calon dijadikan senjata guna memaksa parpol pengusung calon kuat untuk melakukan negosiasi terlarang. Dalam konteks itu, parpol pendukung calon kuat akan terus meyakinkan lawannya agar dapat mengajukan calon, termasuk dengan cara "membeli" lawan tanding demi untuk tidak terundurnya pilkada. Pada gilirannya, yang akan muncul tetap saja calon "ayam sayur", di mana kehadirannya pun dibumbui pula dengan keterpaksaan membayar "mahar haram" pencalonan.
Β
Dengan demikian, apakah kebijakan perpanjangan pendaftaran masih dapat dinilai sebagai solusi? Untuk jangka pendek, mungkin memang demikian, tetapi pilihan ini amat potensial menghadirkan pilkada yang penuh kepalsuan. Pura-pura pilkada. Sebab, pilkada tidak lagi sebagai kontestasi politik, melainkan main pilih-pilihan dalam rangka mengisi jabatan kepala daerah. Dalam konteks ini, perpanjangan pendaftaran menjadi sebuah ironi, bukan?
Β
Oleh karena itu, mengkonkretkan wacana melaksanakan pilkada dengan calon tunggal sesungguhnya jauh lebih tepat dan solutif. Terlepas apakah pelaksanaan pilkada calon tunggal tersebut dengan sistem kotak kosong atau tanpa pemilihan, yang pasti pilihan tetap melanjutkan pilkada tidak akan menimbulkan efek negatif yang demikian buruk. Pilkada calon tunggal diyakini tidak akan menghadirkan boneka-boneka politik. Jalan demikian tentunya akan jauh lebih terhormat dibanding menyelenggarakan pilkada yang diikuti pasangan calon pesanan yang penuh kepura-puraan.
Β
Dalam konteks itu, merealisasikan rencana perpu untuk mengakomodasi pelaksanaan pilkada menggunakan kotak kosong atau tanpa pemilihan sebetulnya jauh lebih tepat. Lagi pula, pilihan kebijakan seperti ini diyakini juga dapat menjadi hukuman bagi partai politik yang tidak mau mengajukan calon hanya karena takut kalah dalam pilkada. Tersebab hadirnya calon tunggal adalah ulah mereka yang tidak mau berpartisipasi dalam pencalonan, maka perilaku tersebut harus dihukum dengan tetap melaksanakan pilkada menggunakan sistem bumbung kosong atau calon yang memenuhi syarat langsung ditetapkan sebagai calon kepala daerah terpilih.
Β
Pada saat yang sama, kehadiran perpu tersebut amat penting guna mengeliminasi ketentuan penundaan pilkada jika hanya diikuti satu pasangan calon. Bagaimanapun, penundaan pilkada hingga 2017 bagi daerah dengan calon tunggal bukanlah solusi yang menguntungkan bagi rakyat daerah. Pilihan kebijakan tersebut justru mengandung mudarat yang lebih banyak dibanding manfaatnya.
Β
Oleh karena itu, jika kelak di pengujung masa perpanjangan pendaftaran tahap kedua masih terdapat daerah dengan satu pasangan calon, opsi tetap melaksanakan pilkada calon tunggal haruslah diambil. Pilihan ini akan jauh lebih bijak dan menguntungkan bagi daerah. Β
Β
Sekurang-kurangnya, melalui kebijakan tersebut, kepada rakyat dipermaklumkan bahwa partai politik sebagai jangkar antara mereka dan suprastruktur kekuasaan negara telah gagal melaksanakan fungsinya. Atas kegagalan tersebut, biarlah rakyat yang kelak menghukum partai politik pada pemilu berikutnya. Β
Β
*) Khairul Fahmi adalah Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Andalas
***
Tulisan selengkapnya bisa dibaca gratis di edisi terbaru Majalah Detik (Edisi 193, 10 Agustus 2015). Edisi ini mengupas tuntas "Borok Priok". Juga ikuti artikel lainnya yang tidak kalah menarik, seperti rubrik Nasional "Bidikan Lain untuk Dahlan", Internasional "515 Hari Mencari MH-370", Ekonomi "Datangnya Hantu El Nino", Gaya Hidup "Cuci Otak, Harapan untuk Penderita Stroke", rubrik Seni Hiburan dan review Film "Mission: ImpossibleβRogue Nation", serta masih banyak artikel menarik lainnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
(nwk/nwk)











































